Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Kesalahpahaman
Malam telah benar-benar larut saat Clara kembali ke kamarnya, digandeng oleh Herald yang berjalan dengan tenang di sisinya. Cahaya obor yang tergantung di sepanjang koridor memantulkan bayangan mereka di dinding, menyiratkan kedekatan yang sederhana namun nyata.
“Besok pagi, kita akan mulai lebih awal,” ucap Herald pelan saat mereka tiba di depan pintu kamar Clara.
Clara mengangguk, lalu berkata dengan suara kecil, “Terima kasih karena sudah bersedia membantuku... meskipun kamu sedikit menyebalkan.”
Herald terkekeh. “Aku ambil itu sebagai pujian.”
Sesudah itu, Herald membantu Clara masuk ke dalam kamar dan memastikan semuanya telah siap. Setelah memberi salam selamat malam, ia meninggalkan kamar tersebut dan berjalan kembali ke kamarnya sendiri. Semua tampak tenang di bagian rumah itu.
Namun tidak demikian di sisi rumah yang lain.
***
Di kamar Olivia, suasana berbeda. Ia duduk tegak di depan cermin rias, mengenakan gaun malam tipis berwarna merah anggur. Wajahnya tampak tenang, namun pandangan matanya tajam dan penuh gejolak. Bayangan di cermin menampakkan sosok wanita muda yang cantik, namun ekspresinya menyiratkan amarah yang tak terucapkan.
Ia memandang pantulan dirinya sendiri, lalu menyentuh bibir bawahnya, pelan-pelan.
[Clara… kamu…]
Kilas balik makan malam tadi terus berputar di dalam kepalanya—sorak tawa, senyum lepas Clara, dan cara Herald memperlakukannya. Terlalu akrab. Terlalu hangat. Terlalu mesra untuk seorang pengawal dan majikannya.
“Kenapa kamu bisa tertawa seperti itu?” bisiknya pada bayangan dirinya sendiri di cermin. “Kamu tak berhak mendapatkan itu...”
Kemarahan bercampur luka. Luka lama yang belum pernah sembuh sejak kematian ibu mereka.
[Ibu meninggal karena kamu. Karena kamu lahir.]
Itu adalah kalimat yang pernah ditanamkan ke dalam pikirannya sejak kecil. Dan meski Clara tidak pernah menjawab atau membela diri, Olivia telah menerima kebenaran versi itu tanpa pernah memeriksa ulang.
Namun kini... Clara terlihat bahagia. Dan itu membuat Olivia muak.
“Laki-laki itu... Herald...” desisnya, nadanya meruncing.
Dia-lah yang menyebabkan semuanya terasa berbeda. Sejak Herald hadir, Clara bukan lagi gadis buta yang lemah dan terpinggirkan. Dia mulai berbicara, tertawa, bahkan menunjukkan kehendaknya sendiri. Itu semua, bagi Olivia, adalah kesalahan.
[Herald membuatmu hidup kembali… dan aku tidak akan membiarkannya.]
Tangan Olivia menggenggam kain bajunya sendiri, kuku-kuku jari menusuk kulit tangannya. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak yang meluap dalam dadanya. Tapi yang muncul hanyalah tekad yang semakin membeku.
“Aku akan awasi dia… dari dekat.”
Mulai besok, dia akan memperhatikan setiap gerak-gerik Herald. Tidak peduli seberapa kecil—ia akan mencari celah, kesalahan, bahkan alasan sekecil apapun untuk menyingkirkan pria itu dari kehidupan Clara.
[Ya, aku akan melakukannya.]
Dan dengan keputusan itu, Olivia berdiri. Langkahnya pelan menuju tempat tidur, namun wajahnya masih tegang dengan pikiran-pikiran gelap. Tidur mungkin akan menyambut tubuhnya malam ini, tapi pikirannya sudah tertambat pada rencana untuk hari esok.
***
Keesokan harinya.
Pagi merekah dengan lembut di langit timur. Mentari menyembul perlahan dari balik perbukitan, sinarnya menari-nari menembus celah-celah dedaunan dan jendela-jendela besar di Mansion keluarga Enthart, hingga akhirnya sampai ke kamar Olivia. Kilau keemasan itu menyentuh wajahnya yang masih lelap, menghadirkan kehangatan yang membangunkannya dari dunia mimpi.
Mata Olivia perlahan membuka, kelopak matanya bergetar sebelum ia benar-benar tersadar. Ia mengerjap beberapa kali, membiarkan cahaya pagi mengusir sisa kantuk di pelupuknya.
"Hah... sudah pagi, ya..."
Suara itu lirih, nyaris seperti gumaman kepada dirinya sendiri. Masih setengah sadar, Olivia duduk di atas ranjang. Namun diamnya tak berlangsung lama—sekelebat ingatan dari malam sebelumnya kembali memenuhi pikirannya, membuatnya terlonjak.
"Astaga! Aku harus cepat-cepat!"
Tergesa, ia bergegas mandi, lalu memilih pakaian dengan tangan yang sedikit gemetar karena terburu-buru. Hanya dalam beberapa menit, Olivia sudah siap. Tak ingin kehilangan momentum, ia langsung melangkah keluar kamar, langkahnya cepat namun tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian.
Tak butuh waktu lama hingga ia tiba di dekat kamar Clara. Menyembunyikan diri di balik dinding, Olivia mengintip ke arah ruangan dengan napas yang ditahan.
[Baiklah, mari kita lihat... apa yang akan kalian lakukan hari ini.]
Matanya menangkap sosok Herald, berdiri tegap di depan pintu kamar seperti prajurit setia yang sedang berjaga. Sebuah pemandangan yang tampak wajar—terlalu wajar.
[Sampai saat ini, semuanya tampak normal. Ini akan jadi sulit kalau dia terus bersikap seperti ini.]
Raut wajah Olivia mengernyit. Ia datang dengan niat untuk menangkap kesalahan Herald, menjadikannya celah agar bisa menyingkirkannya dari sisi Clara. Tapi jika Herald terus bertindak profesional seperti ini, usahanya bisa sia-sia.
Namun saat Olivia mulai merasa kesal, suara dari balik pintu menarik perhatiannya. Clara sedang berbicara, meskipun dari tempatnya berdiri, Olivia tak bisa menangkap jelas kata-katanya. Yang ia lihat, Herald membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
[Dia masuk? Hmm... ini bisa jadi peluang.]
Senyum kecil muncul di wajah Olivia. Ini bisa jadi kesempatan emas untuk menguping langsung. Perlahan, dengan langkah pelan dan penuh kehati-hatian, ia mendekati pintu kamar dan menempelkan telinganya di sana.
“Herald, bisakah kau membantuku? Aku kesulitan memasukkannya...”
“Heh?! Clara, apa yang sedang kamu lakukan!?”
“Kenapa? Aku cuma ingin kamu membantu memasukkan ini ke dalam. Kenapa kamu terkejut begitu?”
“Iyalah! Gaya dudukmu tiba-tiba berubah, aku jadi kaget.”
“Ah kamu ini… sudah, sekarang masukkan saja. Cepat, aku ingin selesai sekarang.”
“Iya, iya. Baiklah. Bersiaplah, Clara. Aku akan memasukkannya.”
Lalu, suara-suara samar mulai terdengar. Ada bunyi berdesis, seperti gesekan sesuatu yang dipaksakan untuk masuk ke ruang sempit. Disusul gumaman protes dari Clara.
“Herald, pelan-pelan... jangan terburu-buru seperti itu.”
“Kamu juga jangan terlalu banyak gerak. Aku malah kesulitan memasukkannya.”
“Ya ampun, kamu terlalu agresif... pelan sedikit, ini terlalu sempit!”
“Yah, tahanlah sebentar lagi. Aku akan memasukkannya lebih dalam...”
“Ahhh~”
Warna merah muda menjalar cepat di pipi Olivia. Wajahnya memanas, matanya membelalak penuh rasa tak percaya.
[A-a-apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana?! Ini... ini kedengarannya seperti... hubungan terlarang?!]
Pikiran Olivia langsung melesat liar, membayangkan adegan-adegan dramatis yang biasanya hanya ada di novel-novel romansa murahan yang diam-diam ia baca. Dalam benaknya, muncul gambaran Herald dan Clara saling berpelukan mesra, dengan kelopak bunga beterbangan mengelilingi mereka seolah dunia berhenti berputar demi romansa mereka.
**
“Oh Clara tersayang... bersiaplah, aku akan memasukkannya sekarang.”
“Yang lembut saja, Pengawalku... aku ingin kenangan pertama ini terasa indah.”
“Tenanglah. Rasa sakit ini hanya sebentar. Setelahnya... kau akan merasakan kenikmatan yang tak tergambarkan.”
“Oh, Herald~”
“Clara~”
Olivia terduduk lemas di lantai koridor, bersandar di dinding dingin dengan wajah merah padam. Kepalanya tertunduk, sementara pikirannya kacau oleh gelombang imajinasi cabul yang tak bisa ia bendung.
[Tidak... tidak mungkin... ini pasti salah paham. Tidak mungkin mereka benar-benar melakukan itu... bukan?]
Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara-suara dari balik pintu terus bergema dalam kepalanya. Tidak puas dengan penilaian sepihak, Olivia memutuskan untuk sekali lagi menyandarkan telinganya ke pintu.
“Herald, kamu terlalu kasar. Pelan-pelan dong.”
“Eh, kamu ini… tahan saja. Aku akan lakukan ini secepat mungkin.”
“T-tapi nanti bisa lecet... atau bahkan berdarah... pasti sakit…”
“Jangan manja begitu. Ini kan memang kemauanmu. Jadi, kamu harus menanggungnya. Sekarang, bersiaplah. Aku akan memasukkannya lagi.”
“Ahhh, Herald~”
Olivia tersentak mundur. Kepalanya kini benar-benar dipenuhi oleh asap imajinasi liar. Wajahnya seakan dipanggang, merah membara seperti tomat yang kelamaan direbus. Ia kembali duduk, kali ini dengan ekspresi kosong seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah hidup.
[Mereka benar-benar melakukannya… di pagi hari pula…]
Tapi tiba-tiba matanya menyala dengan tekad. Ia mengepalkan tangan, mencoba bangkit dari keterpurukan.
[Aku harus menghentikan mereka! Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut...!]
Namun, niat mulia itu langsung runtuh begitu suara dari dalam kamar berubah.
“Tunggu… tunggu sebentar. Kurasa ada orang di luar…”
“Eh? Orang di luar?” sahut Clara.
“Ya. Aku mendengar suara aneh dari balik pintu… tunggu sebentar, Clara. Aku akan cek.”
Tubuh Olivia langsung membeku. Napasnya tercekat, tubuhnya menegang seperti kucing yang baru saja menginjak genangan air dingin.
[Sial! Aku ketahuan! Tidak, dia tidak boleh tahu kalau aku yang menguping...!]
Panik menyerang. Ia langsung bangkit dan berlari menjauh dari pintu dengan langkah secepat mungkin namun tetap ringan agar tidak terdengar. Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka perlahan, dan kepala Herald mengintip keluar. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak menemukan siapa pun.
[Aneh… tadi jelas-jelas seperti ada suara…]
Hidungnya berkedut. Ada aroma samar yang tertinggal di udara. Herald mengernyit dan mengendus pelan.
[Parfum? Ini... bukan aroma yang kukenal. Siapa yang ada di sini barusan?]
“Herald, ada orang di luar?” suara Clara terdengar lagi dari dalam beritanya kepadanya.
“Tidak ada… tapi tadi aku benar-benar merasa ada seseorang di sini…”
“Kalau tidak ada, ya sudah! Kembali ke sini dan bantu aku lagi!”
“Iya, iya...”
Herald menutup pintu dan kembali masuk. Di dalam kamar, Clara masih duduk di tepi ranjang, satu sepatunya terpasang, sementara yang satunya lagi belum.
“Cepat, masukkan lagi. Dan kali ini, pelan-pelan. Ini terlalu sempit,” ucapnya sambil menunjuk sepatu yang tersisa.
Herald menghela napas panjang, lalu berlutut dan mengambil sepatu itu. Dengan sabar, ia mulai memasukkannya ke kaki Clara, pelan-pelan agar tidak membuat gadis itu kesakitan.
“Kalau sepatu ini terlalu sesak, kenapa kamu tetap ingin memakainya?” tanyanya, sedikit penasaran.
Clara tersenyum tipis. “Ini hadiah dari ayahku. Aku belum pernah memakainya sebelumnya. Jadi, kupikir ini saat yang tepat.”
Herald menatap sepatu itu sejenak. “Hm… ya sudah. Tapi jangan paksakan diri. Kalau terasa sakit, bilang saja, nanti aku carikan yang lain.”
“Iya, iyaaAAHH!!” Clara mendadak menjerit. “Herald!! Sudah kubilang pelan-pelan!! Kenapa kamu malah makin kasar?!”
Teriakan itu begitu nyaring hingga membuat Herald mengangkat bahu kaget. “Ow! Astaga, gendang telingaku! Maaf! Aku enggak sengaja! Kupikir kakimu sudah menyesuaikan—tahan sedikit!”
“Cih! Dasar pengawal bodoh!” bentak Clara dengan wajah merah karena kesal.
“Hah?! Apa yang kamu bilang, putri kerdil?!” balas Herald tak mau kalah.
“Aww! Sakit! Jangan tarik seperti itu! A—AAHH! Itu makin sakit! HENTIKAN!!”
“Hehe, sekarang rasakan ini! Ini akibatmu merendahkanku barusan!” ujar Herald, sengaja sedikit menggeser sepatu ke arah yang membuat Clara meringis.
“KURANG AJAR!! RASAKAN INI!”
BUK!
Tendangan mendarat tepat di wajah Herald. Tubuhnya terpental dan jatuh ke lantai dengan bunyi keras.
“Aduh! Aduh! Sakitnya…! Hidungku, aaah…!”
Dan seperti biasa—lagi dan lagi—pagi mereka dimulai dengan keributan, jeritan, dan suara gaduh yang mungkin sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Di luar, Olivia yang kini bersembunyi di balik pilar masih memegangi dadanya yang berdegup kencang.