Jinwoo seorang prajurit bermasalah dari Korea Selatan, di kirim ke sebuah negara yang sangat kacau, dan banyak hal hal yang tidak terjadi terjadi di sana, negara yang kacau tidak hanya memerlukan tentara, tetapi mereka juga perlu tenaga medis, dan Renata yang merupakan seorang dokter, juga ikut ke sana, dan disanalah, benih benih cinta mereka berdua tumbuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apakah aku salah?
Renata menatap wanita paruh baya itu. Kesedihan begitu jelas tergambar di wajahnya. Jemarinya yang bergetar menggenggam erat tangan Naya, sementara air matanya jatuh satu per satu, menciptakan jejak luka yang tak terlihat. Ia tampak begitu terpukul melihat kondisi gadis kecil itu. Sejak operasi terakhirnya, Naya tidak pernah mengalami penurunan kondisi. Namun kini, tubuh kecilnya kembali melemah, dan tak seorang pun tahu penyebabnya.
"Aku tak pernah menyangka dia akan kembali ke sini, Dokter," suara wanita itu lirih, nyaris tenggelam dalam gelombang kepedihan.
Renata meraih punggungnya, memberikan usapan lembut yang sarat ketulusan. "Segalanya bisa terjadi, Bu. Tapi satu hal yang harus kita yakini bersama, Naya akan melawan penyakitnya. Dia anak yang kuat."
Wanita itu menatap Renata, matanya mengandung harapan yang nyaris padam. "Maaf, Dokter, apakah rumah sakit bisa memberi kami waktu lebih lama untuk membayar biaya pengobatan? Setahu saya, rumah sakit hanya menanggung sebagian biayanya."
Renata tersenyum tipis. "Sebelumnya, bolehkah saya tahu nama Ibu?"
Wanita itu mengulurkan tangannya. "Saya Ibu Ratna, pengurus panti asuhan dan juga ibu bagi anak-anak di sana."
Renata menyambut uluran itu dengan hangat. "Saya Renata, Bu. Senang berkenalan dengan Ibu. Bolehkah kita berbicara di luar sebentar?"
Ibu Ratna mengernyit bingung, tetapi ia tetap mengikuti langkah Renata keluar dari ruangan Naya.
"Ada apa, Dokter? Apakah ini menyangkut kondisi Naya?" Nada khawatir begitu jelas terdengar dalam suaranya.
Renata menatap wajah wanita itu. Sejak pertama kali bertemu Naya, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik—sebuah kenangan lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Lima tahun lalu, Renata memiliki seorang adik perempuan, namun takdir merenggutnya lebih cepat. Naya, dengan sorot mata dan kelembutan suaranya, mengingatkannya pada sosok yang telah pergi. Ia ingin berada di sisi gadis kecil itu, melindunginya, memberinya cinta yang mungkin tak pernah ia rasakan lagi setelah kepergian sang adik.
"Bolehkah saya mengadopsi Naya?" tanya Renata tiba-tiba, tanpa basa-basi.
Ibu Ratna tampak terkejut. "Tentu saja boleh, Dokter. Tapi di panti asuhan kami, ada satu syarat utama. Mereka yang ingin mengadopsi haruslah pasangan yang sudah menikah. Apakah Dokter sudah menikah?"
Renata terdiam.
"Dokter?" panggil Ibu Ratna, saat keheningan mulai menggantung di antara mereka.
Renata menarik napas dalam. Dalam benaknya, satu rencana mulai terbentuk. Jika dirinya tak bisa mengadopsi Naya, mungkin ia bisa meminta ayah dan ibunya melakukannya secara formalitas. Ia yang akan merawat gadis itu, bukan mereka.
"Saya belum menikah, Bu. Tapi saya punya cara agar Naya bisa tetap bersama saya," jawabnya mantap.
Ibu Ratna menatapnya penuh perhatian. "Baiklah, Dokter. Saya tidak pernah melarang siapa pun yang ingin mengadopsi anak-anak dari panti kami, selama semua persyaratan terpenuhi."
Renata mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya pamit dulu."
Ia melangkah pergi, menuju rumah Direktur Rumah Sakit. Ia harus memastikan semua prosedur, dan yang lebih penting, ia harus membujuk kedua orang tuanya.
---
Malam menjelang saat Renata tiba di rumah. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh. Dari balik pintu, ia bisa mendengar gelak tawa yang menghangatkan suasana meja makan. Namun saat ia membuka pintu, kehangatan itu seketika memudar.
"Aku pulang," ucapnya, berdiri di ambang pintu, menatap keluarganya yang sedang menikmati makan malam.
Maria, ibunya, menoleh sekilas. "Masuklah, Nak," katanya, sebelum kembali melanjutkan kegiatannya.
Aldo, adik laki-lakinya, menatapnya heran. "Tumben Kakak pulang?"
Renata mengedarkan pandangan ke sekeliling meja makan. Tidak ada kursi untuknya. "Aku pulang karena ada urusan, juga ingin mengambil beberapa barang," jawabnya datar.
Viola, kakak perempuannya, menatapnya sambil tersenyum tipis. "Oh, aku lupa. Kamar lamamu sudah jadi kamar Kakak sekarang. Semua barangmu sudah dipindahkan ke gudang."
Renata terdiam sejenak. Maria, seakan merasa bersalah, segera menyiapkan makanan untuk dibungkus. "Ibu kira kau tidak akan kembali lagi ke sini, Nak. Bukankah kau sudah punya kontrakan sendiri?"
Renata menatap rantang berisi makanan yang disiapkan ibunya. "Aku ingin menginap di sini malam ini."
Aldo tertawa kecil. "Kakak mau tidur di mana? Di gudang?"
Renata menarik napas panjang. Ia meraih koper yang ia bawa. "Iya, aku akan tidur di gudang. Lagipula, gudang kita cukup bersih dan nyaman, bukan?"
Maria menghentikan tangannya yang sedang membungkus makanan. "Bagaimana dengan lauk yang sudah Ibu siapkan? Kau akan membawanya besok pagi?"
Renata tidak menjawab. Ia melangkah menuju gudang. Saat melewati kamar lamanya, ia berhenti sejenak. Ruangan yang dulu penuh dengan kenangan kini telah menjadi milik orang lain.
Begitulah keluarganya. Di saat semua orang berkumpul, tertawa, dan berbagi cerita, ia hanya bisa menjadi bayangan. Hadir, tetapi tidak dianggap ada.
Renata duduk di sudut gudang, memeluk lututnya. Suara tawa dari ruang makan masih terdengar, namun baginya, suara itu terasa begitu jauh.
"Apakah aku memang sudah tidak layak kembali ke sini?" bisiknya pada dirinya sendiri.
*
*
*
Lima belas menit berlalu. Renata keluar dari gudang. Ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Di meja makan, hanya ibunya yang tersisa. Aldo dan Viola telah masuk ke kamar masing-masing.
"Ibu, aku ingin minta tolong," ucapnya perlahan.
Maria menatapnya, "Apa itu?" tatapan Maria sama sekali tidak pernah terlihat nyaman atau senang saat menatap Renata
Renata menghela napas, meyakinkan dirinya bahwa dia harus mengatakan ini, apapun yang terjadi harus ia katakan
"Aku ingin mengadopsi seorang anak. Tapi karena aku belum menikah, aku ingin meminta Ayah dan Ibu untuk mengadopsinya secara resmi. kalian tidak perlu khawatir, aku yang akan merawatnya."
Maria terdiam sejenak, lalu menatap putrinya tajam. "Renata, kau saja sudah cukup membuat kami merasa berat menanggung semuanya. Sekarang kau ingin menambah beban keluarga dengan mengadopsi anak? Aldo adalah adikmu, cukup sayangi dia, jangan menjadi pahlawan untuk orang lain Renata " menatap tidak suka
"Tapi, mu, aku merasa sangat sepi, Aku tinggal sendiri di rumah ku, rumah itu punya cukup kamar dan juga ruangan untuk menambah satu orang lain kan ma, Salahkah jika aku" ucapan nya terputus, Maria langsung menyela
"Kalau kau ingin punya anak, menikahlah! Pergilah dari sini, bawa semua barangmu, dan hiduplah dengan bahagia," potong Maria tajam sebelum berlalu,
" Ma aku cuman mau ada teman di rumah, di sini aku juga tidak merasa ada kehangatan, masalah Aldo tentu saja aku akan sayang sama dia, dia adalah adik ku kan? " mencoba untuk membujuk mama nya lagi,
" Cukup Renata " membentak Renata lalu pergi dari sana
Di meja makan yang sepi, hanya ada piring-piring kosong dan hati yang tersisa dalam keheningan. Renata menunduk, menahan rasa sakit yang kembali menyelinap dalam dadanya.