NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sketsa sampah!

Reyhan duduk sofa, jari-jarinya mengetuk meja dengan gelisah. Sejak tadi, pikirannya tak bisa fokus. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Di hadapannya, ada sebuah map cokelat. Tanpa sadar, ia meraih map itu dan membukanya.

Matanya sedikit menyipit saat melihat isinya. Bukan dokumen perusahaan, bukan surat-surat penting.

Melainkan… sketsa.

Napas Reyhan tercekat.

Itu adalah gambarnya.

Sketsa wajahnya yang digambar dengan begitu detail. Setiap garis wajahnya tergambar dengan sempurna, seperti seseorang yang benar-benar mengenalnya dengan baik.

Reyhan ingat.

Mira yang menggambar ini.

Tenggorokannya terasa kering. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh permukaan kertas, seolah mencoba merasakan kembali jejak tangan Mira di sana.

Mendadak, suara lembut yang dulu sering ia dengar kembali terngiang di kepalanya.

"Cuma di gambar aku bisa melihatmu sesuka hati… Bagus nggak?" Mira dulu bertanya dengan senyum yang menggantung penuh harap. 

Reyhan ingat saat itu, matanya menatap sketsa yang ia buat tanpa emosi apa-apa. Bukannya menghargai usaha itu, ia malah membentak kecil, sinis. 

"Jelek sekali," kata Reyhan begitu saja, seakan kata-katanya tidak memiliki konsekuensi. 

Masih jelas di ingatannya bagaimana senyum Mira saat itu perlahan memudar. Bibirnya tetap melengkung seolah tertawa, tapi matanya, yang sebelumnya berbinar dengan semangat, tiba-tiba tampak redup, seakan cahayanya dirampas oleh kata-kataku. 

Namun, yang aneh, Mira malah tertawa pelan. "Ah, masa sih? Padahal aku menggambar ini dengan sepenuh hati." 

Reyhan dengan entengnya, kembali menyerangnya. "Apa waktumu sangat luang sampai bisa buat gambar sejelek itu?" 

Dia terdiam sejenak, senyum getir menghiasi wajahnya sebelum ia menjawab, "Reyhan, aku akan tetap menunggu kamu cinta padaku. Selama yang ada di samping kamu adalah aku, selama apapun itu, aku akan tetap menunggu kamu membuka hatimu untukku."

"Aku nggak peduli berapa lama harus menunggu," tambahnya sambil mencoba menahan tangis.

Suaranya sedikit gemetar, tapi dia tetap berusaha tegar. Dan apa yang  Reyhan lakukan? Ia dengan dinginnya menepis tangannya yang mencoba menyentuh, lalu berjalan pergi begitu saja tanpa sekalipun menoleh ke belakang. 

Hanya suara lirih Mira yang terus membuntuti, nyaris tak terdengar tapi terukir jelas di pikiranku sampai sekarang. 

"Aku akan tetap menunggu kamu, Rey... sampai kapanpun." 

Saat itu Reyhan tidak peduli. Tidak sekalipun ia berpikir apa arti ucapannya atau bagaimana dia bisa begitu sabar terhadapnya. 

Tapi sekarang, kenangan itu terasa menghantui. Wajahnya, kata-katanya, semuanya tetap tinggal dalam ingatan, meskipun ia tahu aku mungkin sudah terlalu terlambat untuk kembali.

Reyhan menutup mata, merasakan sesuatu yang menyesakkan di dadanya.

Dulu, dia tidak pernah peduli.

Dia bahkan tidak pernah bertanya kenapa Mira begitu mencintainya.

Tapi sekarang, saat semua sudah terlambat… saat Mira sudah tidak ada lagi…

Dia baru menyadari betapa berharganya wanita itu.

Tangannya mengepal. Sketsa itu masih tergenggam di tangannya, kertasnya sedikit bergetar.

“Mira…”

Suara itu hampir tidak terdengar.

Saat ia membuka matanya lagi, dadanya semakin terasa kosong.

Dia pikir, dengan menghancurkan keluarga Sindu, Mira akan keluar dari persembunyiannya.

Tapi kenyataannya, Mira memang tidak akan pernah kembali.

Dan dia, dia adalah penyebab semua ini.

Reyhan menunduk, sketsa di tangannya bergetar semakin hebat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa benar-benar kalah.

BRAK! 

Suara dentuman keras terdengar di ruang kerja.

Reyhan membanting map cokelat ke lantai dengan suara menggelegar, membuat kertas-kertas di dalamnya beterbangan tak beraturan. 

Sketsa-sketsa wajahnya, hasil tangan Mira, berserakan di sana, beberapa sudah terlipat, beberapa lainnya terkusut parah akibat hentakan tangannya yang penuh amarah. 

Matanya terpaku pada salah satu gambar yang meluncur ke dekat kaki, namun ia menahan diri untuk tidak mengambilnya. 

"Kenapa aku harus peduli?' pikir Reyhan dengan rahang yang kian mengeras. Matanya menyala, memancarkan kilatan yang entah berisi kebencian atau sesuatu yang jauh lebih kompleks, sesuatu yang bahkan aku sendiri sulit pahami.

"Orangnya sudah mati. Buat apa sampah ini ada di sini?" ucap Reyhan pelan, hampir seperti bisikan dingin yang memotong udara. 

Tapi di dalam hatinya, perkataan itu menggema jauh lebih dalam daripada yang ia sangka. 

Tangannya mencengkeram kuat permukaan meja, berusaha menciptakan pelampiasan atas perasaan yang menyayat. 

'Aku tak mau mengingat lagi. Tidak sekarang, tidak selamanya. Tidak ada alasan lagi.'

Namun, semakin keras ia memaksa, semakin kuat cengkraman sketsa itu di pikirannya. Garis-garis wajah itu, tatapan yang seolah berbicara dari kertas, membuat dadanya semakin sesak. 

'Kenapa sekarang? Kenapa aku tidak bisa melepaskan ini? Bukankah aku sudah selesai dengannya?'

Di sisi lain dinding, ada keheningan lain yang penuh kesedihan. 

Mira.

Reyhan tidak tahu dia ada di sana, atau barangkali ia terlalu larut dalam pertarungannya sendiri untuk menyadarinya. 

Ia tidak bisa melihat tubuhnya yang bergetar, atau bagaimana dia menutup mulut dengan tangan agar tidak menangis lebih keras. 

Tapi suara Reyhan sampai padanya, tajam dan tidak termaafkan. 

"Kamu benar-benar benci padaku, Rey? Apa kematianku sama sekali tidak mengubah apapun untukmu? Harusnya kamu tahu, Mira…" kata-kata itu meloncat dari pikiran Mira, hampir seperti bayangan dirinya yang diam-diam menatap Reyhan dari balik sketsa itu. 

Tapi Reyhan tahu apa jawabannya. Entah ia mengatakannya untuk diriny sendiri atau untuknya yang kini hanya menjadi kenangan; jawabannya tetap sama. 

Reyhan membenci dirinya. Bukan hanya Mira. Dan seberapapun ia membencinya, Mira selalu tahu... luka yang ia bawa tidak pernah tentang dirinya saja.

Bahkan setelah semua yang terjadi, setelah ia menghilang dari kehidupan pria itu, tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di hati Reyhan.

Yang ada hanya kebencian.

Dadanya terasa sesak, seolah ada pisau yang menghunjam tanpa ampun. Ia memang tidak pernah berharap Reyhan mencintainya.

Tapi mendengar sendiri bahwa keberadaannya dianggap sebagai "sampah"…

Itu lebih menyakitkan dari apapun.

Ia tidak boleh menangis. Tidak sekarang.

Mira berbalik, mengendap-endap ke arah pintu belakang rumah. Syukurlah tidak ada penjaga. Ia harus pergi, sebelum Reyhan menyadari keberadaannya di sini.

Tangannya membuka pintu dengan hati-hati. Udara malam menyapa kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan beku yang kini menguasai hatinya.

Tanpa menoleh ke belakang, Mira melangkah pergi.

Selamanya.

Tanpa mereka sadari, ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhir Reyhan untuk melihat Mira.

Bab XX: Andai Bisa Kembali

Ruangan itu hening.

Hanya terdengar napas Reyhan yang tersengal. Kedua tangannya mengepal erat di atas meja, matanya menatap kosong ke arah lantai, ke arah lembaran sketsa wajahnya yang berantakan.

Baru saja, ia membuangnya.

Baru saja, ia menyebutnya sampah.

Tapi sekarang, kenapa dadanya terasa sesak?

Reyhan jatuh terduduk di lantai, tangannya terulur, satu per satu mengambil kembali sketsa yang berserakan. Jemarinya menyentuh kertas itu dengan gemetar, seolah benda rapuh yang akan hancur jika ia terlalu keras menggenggamnya.

Matanya menangkap satu sketsa yang paling familiar.

Wajahnya.

Tersenyum tipis, tidak berlebihan, hanya sekadar lengkungan kecil di bibirnya. Senyuman yang bahkan ia sendiri tidak tahu kapan terakhir kali ia lakukan.

Tepat di bawahnya, ada tulisan tangan kecil yang ia kenali betul:

"Cuma di gambar aku bisa melihatmu sesuka hati. Bagus nggak?"

Mira.

Suara Mira seolah menggema di kepalanya, suara lembutnya yang selalu terdengar penuh harapan.

"Jelek sekali," dulu ia berkata begitu.

Dan Mira hanya tertawa. Tertawa, tanpa tersinggung sedikit pun.

Reyhan menelan ludah, rasa bersalah menghantamnya seperti ombak besar yang tak tertahankan.

Ia menyesal.

Ia menyesal telah menghancurkan satu-satunya orang yang benar-benar mencintainya.

Ia menyesal telah mendorong Mira hingga sejauh ini.

Tapi semua sudah terlambat.

"Miranda Sindu sudah mati."

Begitu kata Hendi.

Reyhan menunduk, menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak yang menyeruak dari dadanya. 

Namun, semua itu sia-sia. Pertahanannya akhirnya runtuh juga. Air mata yang selama ini ia sembunyikan kini mengalir tanpa ampun, membasahi wajahku. 

Reyhan menangis. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Miranda, ia benar-benar menangis. Bukan karena kebencian. 

Ia tahu, Reyhan tak pernah membenci Mira. Ia juga tak bisa menyalahkannya atas keputusannya. Bukan pula karena dendam. 

Apa gunanya? 

Semua yang terjadi adalah akibat dari tindakannya sendiri. Ia menangis karena penyesalan, penyesalan yang begitu dalam hingga terasa menusuk jiwa. 

Kepergiannya meninggalkan lubang di hati, dan lubang itu semakin melebar setiap Reyhan mengingatnya. 

"Mira…" Suara Reyhan gemetar.

"Kita ulang dari awal, ya?" 

Tapi Reyhan tahu, itu hanya sebuah harapan kosong. Bahkan suara di kepalanya seolah mengejek tanpa ampun. 

Miranda tak akan pernah kembali. Apa gunanya mengucapkan itu sekarang? Semua ini, semua luka ini, ia rasa memang pantas untuknya. 

Reyhan telah gagal menjaga dia, gagal menjadi seseorang yang pantas untuk dicintai oleh wanita sebaik dirinya. 

Tangannya gemetar saat mengambil satu per satu sketsa wajahnya yang berserakan di atas meja. Ia menatap gambar-gambar itu dalam keheningan, seolah berharap dapat menemukan potongan kehadirannya di sana. 

Gambar-gambar itu masih setia merekam senyum yang pernah menjadi pusat dunianya. Tapi senyum itu, Mira yang ada di sana, sekarang hanyalah bayangan yang terus menghantui.

Sementara Reyhan terus tenggelam dalam emosi, ia tidak menyadari bahwa di kejauhan, seseorang tengah memperhatikan. 

Dengan tatapan dingin, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Hallo," suara itu lirih namun penuh ketegasan. 

"Bunuh Miranda Sindu. Uang bukan masalah bagiku."

Bersambung... 

1
Serani Waruwu
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!