"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
...****************...
Aku terkesiap, lalu buru-buru menarik ponsel dari telinga.
Ketemu? Serius? Setelah bertahun-tahun dia ngilang, tiba-tiba muncul lagi dan minta ketemu?
Gila aja!
"Nggak," sahutku cepat. "Aku nggak ada urusan sama kamu lagi."
"Si, please—"
Aku nggak nunggu dia selesai bicara. Jari telunjukku langsung menekan tombol merah di layar, memutuskan panggilan itu tanpa ragu.
Sial!
Aku melempar ponsel ke kasur dan mengusap wajahku dengan kasar. Jantungku masih berdebar kencang, bukan karena rindu atau perasaan bodoh semacam itu, tapi karena marah. Marah karena dia berani muncul lagi setelah semuanya.
Kenapa sekarang? Kenapa setelah aku mulai tenang dan menjalani hidupku dengan baik, dia tiba-tiba datang dan bikin semuanya kacau lagi?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aku nggak boleh terpengaruh. Dia bukan siapa-siapa lagi. Masa lalu harus tetap jadi masa lalu.
Aku nggak akan membiarkan Rizky mengacaukan hidupku lagi.
...****************...
Ponsel masih tergeletak di kasur, tapi aku nggak berniat menyentuhnya lagi. Napasku berat, kepalaku berdenyut, dan suasana hati langsung anjlok.
Sialan. Kenapa harus dia?
Aku meremas rambutku frustasi. Sudah bertahun-tahun aku berusaha melupakan semua itu, tapi hanya mendengar suaranya lagi saja cukup untuk membuka luka lama.
Rizky.
Nama yang seharusnya sudah jadi bagian dari masa lalu.
Dulu, aku pernah benar-benar percaya kalau dia adalah orang yang baik. Kami bertemu di sebuah kafe secara nggak sengaja. Waktu itu, aku lagi nunggu Maya yang telat, sementara dia duduk di meja sebelah, menatapku sejak awal aku masuk.
"Aku Rizky," katanya sambil tersenyum, berani-beraninya langsung ngajak kenalan padahal aku nggak ngeliat ke arahnya sama sekali.
Aku hanya mengangguk kecil, malas meladeni.
Tapi dia nggak nyerah.
Setiap aku ke kafe itu, dia selalu ada, selalu ngajak ngobrol, selalu nyari alasan buat duduk di meja yang sama. Aku yang awalnya risih lama-lama mulai terbiasa, bahkan tanpa sadar mulai menikmati obrolan dengannya.
Dan bodohnya, aku juga jatuh cinta.
Kami pacaran. Rizky adalah pria pertama yang benar-benar serius mengejarku. Dia perhatian, selalu ada, selalu tahu apa yang aku butuhkan. Tapi aku nggak sadar kalau semua itu bukan bentuk cinta, melainkan obsesi.
Pelan-pelan, dia mulai menunjukkan sisi gelapnya.
Dia gampang cemburu, posesif, dan selalu menuntut aku buat menuruti semua keinginannya. Aku nggak boleh terlalu dekat dengan teman cowok, aku nggak boleh pergi sendirian, aku harus selalu melapor ke mana pun aku pergi.
Awalnya aku pikir itu karena dia sayang. Aku terlalu naif untuk sadar kalau itu adalah bentuk pengendalian.
Sampai akhirnya… malam itu terjadi.
Dia ngajak aku makan malam di restoran mahal, bilang mau merayakan anniversary kami. Aku yang polos datang dengan senang hati. Kami makan, ngobrol, dan aku sama sekali nggak sadar kalau dia sudah menyiapkan sesuatu.
"Ayo kita ke apartemenku sebentar," ajaknya waktu itu.
Aku mengernyit, agak ragu.
"Buat apa?"
"Ada hadiah buat kamu. Aku sengaja nyiapin sesuatu yang spesial."
Aku masih ingat betapa manisnya senyumnya malam itu. Senyum yang berhasil meyakinkanku untuk ikut.
Dan itulah kesalahan terbesarku.
Begitu sampai di apartemennya, dia menyuruhku duduk dan menawarkanku minuman. Aku nggak curiga sama sekali, karena sejak awal, dia memang selalu perhatian dan nggak pernah berbuat macam-macam.
Tapi begitu aku meminumnya, kepalaku langsung pusing.
Aku nggak tahu berapa lama aku kehilangan kesadaran, tapi saat aku tersadar, aku sudah tergeletak di kasur dengan Rizky di atas tubuhku.
Aku menjerit, memberontak sekuat tenaga. Aku ingat bagaimana aku menendangnya, memukulnya, bahkan mencakar wajahnya. Aku beruntung masih cukup sadar untuk melawan, dan akhirnya berhasil kabur.
Dan setelah semua yang dia lakukan…
Dia malah menghilang.
Nggak ada permintaan maaf, nggak ada penjelasan, nggak ada kabar.
Aku baru tahu dari orang lain kalau dia menikah dengan perempuan lain, perempuan yang ternyata sudah lama jadi selingkuhannya.
Dan sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, dia muncul lagi?
Untuk apa?
Aku mengeratkan genggaman di selimut, berusaha mengendalikan emosiku.
Aku nggak akan jatuh ke lubang yang sama.
Nggak akan pernah lagi.
...****************...
Aku menarik napas panjang, berusaha mengusir semua kenangan buruk itu dari kepalaku. Tapi tetap saja, tubuhku masih sedikit gemetar. Sial, bahkan setelah bertahun-tahun, efeknya masih terasa.
Aku menatap layar ponsel yang masih menyala. Nama "Nomor Tidak Dikenal" masih terpampang di sana.
Apa yang dia mau? Kenapa setelah sekian lama, dia tiba-tiba muncul lagi?
Sial, aku nggak boleh kepikiran ini. Aku harus tidur. Aku harus istirahat.
Tapi sialnya, semakin aku memaksa mataku terpejam, semakin banyak suara Rizky yang menggema di kepalaku. Kata-kata manisnya, janji-janji palsunya, dan… malam itu.
Aku meremas rambutku frustasi.
Nggak, Sienna. Jangan terpengaruh. Jangan biarkan dia masuk lagi ke hidupmu.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur dan membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku. Tapi yang kudapat hanya botol air dingin. Aku meneguknya perlahan, berharap bisa sedikit lebih tenang.
Dan di saat itulah, ponselku bergetar lagi.
Aku melirik layar dengan jantung berdebar.
Nomor yang sama.
Sial.
Tangan kiriku mencengkeram meja dapur. Aku nggak boleh panik. Aku nggak boleh kelihatan lemah, bahkan untuk diriku sendiri.
Aku meraih ponsel, menatap layar itu beberapa detik, lalu tanpa pikir panjang…
Aku memblokir nomornya.
Terkesan pengecut? Mungkin.
Tapi aku nggak peduli.
Aku nggak akan membiarkan dia punya celah lagi.
Setelah itu, aku melempar ponsel ke sofa dan berjalan ke balkon, menghirup udara malam yang dingin. Aku merapatkan jubah tidurku, menatap langit yang dipenuhi bintang.
Sienna yang dulu mungkin akan panik, menangis, atau ketakutan setengah mati.
Tapi aku yang sekarang?
Aku bukan gadis lemah yang bisa dia permainkan lagi.
Aku sudah cukup menderita karena dia. Dan aku nggak akan membiarkan itu terulang lagi.
Inilah alasanku belum menikah.
Tujuh tahun lalu, hidupku berantakan karena satu orang. Sejak saat itu, aku membangun tembok tinggi di sekelilingku, memastikan nggak ada pria lain yang bisa masuk atau bahkan menyentuhku.
Itulah kenapa aku memilih jadi atlet figure skating tanpa pasangan pria.
Aku lebih nyaman sendiri. Lebih tenang. Nggak ada yang menyentuh tubuhku, nggak ada yang mengendalikan langkahku. Aku bebas bergerak sesuai dengan keinginanku, tanpa perlu takut seseorang akan menyakiti atau mengkhianatiku lagi.
Buatku, es adalah satu-satunya tempat yang bisa benar-benar kupercayai.
Aku menutup mata, mencoba mengusir bayangan masa lalu. Rizky, senyum palsunya, kata-kata manisnya yang penuh kebohongan… semuanya ingin kutinggalkan di belakang.
Dan aku harus meninggalkannya.
Aku bukan Sienna yang dulu lagi. Aku nggak boleh membiarkan ketakutanku menghalangi hidupku.
Aku mengembuskan napas pelan, menatap langit malam sekali lagi sebelum kembali masuk ke apartemen.
Aku harus fokus. Latihan. Pertandingan. Masa depanku.
Bukan pria yang sudah mengkhianatiku.
Dan bukan pria mana pun.
.
.
.
Next 👉🏻
Cung dulu yang punya mantan namanya rizky😭☝🏻