Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mabuk
Suara deru mobil terdengar samar di telinga Hana, meski ia masih tenggelam dalam ketidaksadarannya. Kepalanya bersandar di jendela, napasnya teratur, sementara pria yang membawanya duduk di kursi kemudi dengan ekspresi bingung.
"Aduh, pusing banget!"
Dia tidak tahu harus membawanya ke mana.
Saat tadi mencoba mencari kartu identitas di tas kecil Hana, dia tidak menemukan apa pun yang bisa memberi petunjuk ke mana gadis ini harus dipulangkan.
Tidak ada KTP, tidak ada SIM, bahkan tidak ada kontak darurat di ponselnya yang masih terkunci.
“Kamu ini sebenarnya siapa, sih?” gumam pria itu sambil melirik Hana yang masih tertidur lemas.
Dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan. Klub malam bukan tempat yang aman, apalagi bagi wanita mabuk yang tak sadarkan diri seperti ini. Membawanya ke rumah sakit juga terasa berlebihan, Hana tidak dalam kondisi kritis, hanya mabuk berat.
Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah membawanya ke apartemennya sendiri.
Pria itu menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar setir dan melaju ke arah apartemennya.
—
Begitu sampai di apartemen, pria itu dengan hati-hati mengangkat Hana keluar dari mobil.
Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi ada sesuatu dalam ekspresi tidurnya yang membuat pria itu merasa sedikit tidak nyaman, bukan karena Hana mengganggunya, melainkan karena ekspresi itu terlihat terlalu lelah, terlalu hancur.
Seakan beban dunia terlalu berat untuknya.
Saat masuk ke dalam apartemen, dia menutup pintu dengan kakinya, lalu membawa Hana ke sofa. Dengan hati-hati, dia merebahkan tubuh gadis itu di sana.
Pria itu berjongkok, menatap wajah Hana dengan ekspresi campuran antara bingung dan penasaran.
Siapa dia?
Apa yang membuatnya mabuk seperti ini?
Siapa yang sudah menyakitinya?
Dia menggeleng pelan, mencoba menepis rasa ingin tahunya sendiri. Ini bukan urusannya. Dia hanya membantu seseorang yang kebetulan dia temui dalam keadaan buruk. Setelah gadis ini sadar, dia bisa pergi, dan mereka tidak perlu bertemu lagi.
Namun, saat dia hendak berdiri, tiba-tiba tangan Hana bergerak, meraih lengan bajunya dengan lemah.
“Jangan pergi…” Suara itu lirih, hampir tak terdengar, tetapi pria itu bisa menangkap ketakutan di dalamnya.
Hana masih dalam keadaan setengah sadar, mungkin bahkan tidak menyadari apa yang baru saja dia katakan. Namun, genggamannya pada lengan pria itu cukup erat untuk membuatnya terdiam.
Pria itu menatap gadis itu sekali lagi, lalu menghela napas panjang.
“Tenang aja, saya nggak bakal ninggalin kamu,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia akhirnya duduk di lantai, bersandar pada sofa tempat Hana terbaring, sementara pikirannya mencoba mencari tahu kenapa dia begitu peduli pada seseorang yang bahkan belum dia kenal namanya.
Hana menggeliat dalam tidurnya, tubuhnya terasa panas, napasnya sedikit berat. Wajahnya masih terlihat kacau, sisa-sisa air mata yang mengering di pipinya, bibirnya sedikit bergetar, seolah masih tenggelam dalam kepedihan yang belum benar-benar hilang.
Pria itu masih duduk di lantai, bersandar pada sofa, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan keadaannya. Dia bukan siapa-siapa bagi gadis ini. Dia bahkan tidak tahu namanya. Tapi melihat Hana dalam kondisi seperti ini, dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Tiba-tiba, dalam tidurnya, Hana bergerak dan meraih pria itu.
Dengan mata terpejam, dia memeluknya erat, tubuhnya yang panas menempel pada punggung pria itu.
Pria itu terkejut sejenak, tubuhnya menegang.
“Hei, kamu…”
Suara itu tertahan di tenggorokan saat mendengar gumaman lirih dari bibir Hana.
“Jangan pergi…” suaranya terdengar bergetar, seperti angin yang membawa kepedihan.
Pria terdiam, mendengarkan getaran emosinya.
“Ak… aku nggak bisa sendiri…” kata-katanya membuatnya terhenti, seolah waktu ikut membeku bersama nada putus asanya.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidup gadis ini? Apa yang dia coba sembunyikan di balik setiap tetes air mata dan wajah lusuhnya?" Matanya menelusuri wajahnya, memerhatikan setiap inci emosi yang terpancar.
Saat ia kembali meracau dalam tidurnya, tubuhnya menggigil, dan ia merasakan suhu tubuhnya yang memanas.
“Kita… kita harusnya… tunangan hari ini…” suaranya perlahan pecah di tengah gumamnya.
Kalimat itu seperti jarum yang menghujam pikiran. Sekarang ia paham, kenapa ia berakhir di klub malam, terjebak di lingkaran mabuk dan kehancuran.
Hari yang seharusnya menjadi awal baru baginya kini berubah menjadi luka yang mungkin akan lama terobati.
Seharusnya dia berbahagia, mengenakan cincin yang menyimbolkan janji dan harapan. Tapi di sini dia berada, sendirian, terluka lebih dalam dari apa yang mampu ia tebak.
Ia menarik napas panjang, membiarkan beban yang tak kasat mata ini menggantung di antara kami.
“Hei…” gumamnya, tapi kata itu tidak cukup untuk meredakan kesedihan yang ia tanggung.
Jadi pria itu memilih diam, memberi bahunya untuk bersandar.
Terkadang, keheningan adalah bahasa yang paling bisa dipahami dalam kepedihan.
Dia hanya bisa menunggu sampai gadis ini bangun, sampai dia bisa menghadapi dunia lagi, entah dengan kekuatan baru, atau dengan luka yang semakin dalam.
"Aku sayang kamu...." Hana semakin erat memeluk pria itu, tubuhnya terasa panas karena demam yang perlahan makin tinggi. Bibirnya terus bergerak, meracau tidak jelas, menyebut-nyebut sesuatu tentang pengkhianatan, kehilangan, dan kebencian yang bercampur dalam suara lirihnya.
Pria itu terdiam, membiarkan Hana tetap dalam posisinya. Napasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia seharusnya tidak ada di sini. Dia seharusnya tidak peduli.
Tapi di sisi lain, dia tidak bisa begitu saja melepaskan gadis yang tengah hancur ini.
Hana masih menggenggam erat kausnya, seolah pria itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa dalam hidupnya. Hingga tanpa sadar, pria itu mulai melonggarkan tubuhnya, membiarkan Hana bersandar lebih nyaman.
Sampai akhirnya, tanpa bisa menghindar, kantuk mulai menyerangnya juga.
Dinginnya malam, suara detak jam yang samar, dan kelelahan yang sama-sama mereka rasakan membawa mereka berdua ke dalam tidur yang tak direncanakan.
Hana masih memeluk pria asing itu. Dan tanpa dia sadari, pria itu tetap di sana, tak berniat pergi.
Malam ini, dua orang asing berbagi luka tanpa kata. Tanpa alasan. Hanya ada kesunyian yang memahami mereka lebih dari siapa pun.
Bersambung...