Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01 - Hari yang buruk.
Musim gugur baru saja memasuki minggu ketiga. Namun, entah mengapa sejak dua hari yang lalu udara sudah terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Angin juga bertiup semakin kencang hingga menembus ke permukaan kulit. Meski begitu, rutinitasku tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Aku segera menghabiskan semua makanan yang ada di piringku dengan cepat. Hari ini sekolah kembali dimulai karena liburan musim panas telah berakhir.
“Kathleen, kau masih mau tambah sosisnya?” Mom menghampiriku sembari menawarkan lagi sosis bakar buatannya yang baru matang.
“Tidak. Sudah cukup, Mom. Terima kasih.” Aku bangkit berdiri, menaruh piring kotor di dapur dan segera melilitkan syal rajut merah yang kudapatkan dari hadiah perayaan Natal tahun kemarin ke leher. “Di mana Dad? Dia berjanji akan mengantarku ke sekolah pagi ini.”
“Oh, tadi kulihat masih ada di kamar. Mungkin sedang bersiap-siap.” Ia mengulas senyum lembut lalu tiba-tiba menengok ke belakang bahuku. “Nah, itu ayahmu. Pagi, Sayang!” sapanya seraya membantu memakaikan dasi.
Dad membalas sapaan Mom dengan sebuah kecupan manis.
Yeah, harus kuakui. Selama delapan belas tahun hidup di keluarga ini, mereka adalah pasangan paling harmonis yang pernah aku temui. Ibuku sangat penyabar, begitu juga ayahku-meski ia lumayan cerewet dan sering mencurigaiku yang aneh-aneh, seperti masalah cowok contohnya. Ia tidak percaya kalau aku belum pernah berpacaran dengan siapa pun. Serius, aku tidak bohong.
Kenapa? Alasannya karena sebagian besar cowok di sekolahku rata-rata playboy dan badboy. Jadi, aku tidak ingin membuang-buang waktuku yang berharga hanya untuk berurusan dengan cowok semacam itu. Biarpun kehidupan remajaku terbilang biasa-biasa saja, aku tetap bersyukur dapat hidup damai sebagai seorang gadis remaja nan manis menggemaskan bernama Kathleen Watson.
“Kau sudah siap, Kathleen?” tanya ayahku.
Aku menganggukkan kepala. “Ya. Ayo cepat, Dad! Lihat ini sudah jam berapa? Nanti kita bisa terlambat,” ajakku seraya berjalan ke ambang pintu.
“Oke, tunggu sebentar.” Ia menyahut sambil merogoh kedua saku celananya. “Sayang, apa kau melihat kunci mobilku?”
“Entahlah,” balas Mom yang kini tengah membereskan sisa sarapan di meja makan. “Coba periksa di dalam tasmu. Barangkali ada di sana.”
“Tidak ada.”
“Ingat baik-baik. Terakhir kali kau taruh di mana?”
Dad berpikir sejenak sembari menggosok pelan dagunya. “Bukankah kemarin sore kutitipkan padamu?”
“Aku tidak merasa menyimpannya. Habis pulang berkunjung dari rumah ibuku kemarin kau langsung tidur.”
“Benarkah?”
Aku menghela napas panjang. Ternyata benar kata pepatah, jodoh takkan ke mana. Sifat Dad juga sangat mirip dengan Mom yang pelupa. Kalau tahu begini, mendingan tadi aku naik bus saja ke sekolah. Rencanaku buat berangkat pagi malah menjadi sia-sia.
Setelah membongkar seluruh isi laci nakas, akhirnya kami justru menemukan kunci mobil itu di dalam saku mantel kasmir miliknya yang tergantung di hanger ruang tamu. Sudah tidak mengherankan lagi. Kunci mobilnya seperti punya kaki yang dapat berjalan-jalan sendiri.
“Maaf, kau harus bisa maklum. Umurku sudah menginjak kepala empat,” kelitnya. Ia selalu membela diri ketika aku memprotes.
Wah, pagi yang mengesankan! Sepertinya aku bakal dihukum membersihkan toilet gara-gara terlambat.
Dad lekas menyalakan mesin mobilnya dan mengantarku pergi ke sekolah, Wellington High School. Butuh waktu sekitar sepuluh menit berkendara dari kompleks perumahanku yang berada di Cambria Street. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Namun, jika berjalan kaki cukup melelahkan, apalagi belakangan ini cuaca sedang kurang bagus.
Di sepanjang jalan daun-daun Maple yang berwarna kuning keemasan tampak berguguran menghiasi setiap sudut kota. Hewan-hewan mamalia kecil seperti tupai sibuk berlompatan ke sana-kemari di antara ranting pohon demi mengumpulkan cadangan makanan untuk musim dingin nanti.
Sesampainya di depan pintu gerbang sekolahku, aku pun cepat-cepat melepas sabuk pengaman dan turun. “Terima kasih atas tumpangan gratismu, Dad.”
“Sama-sama,” balasnya antusias. “Selamat belajar ... ingat, jadilah gadis yang baik.”
“Yeah, doakan saja semoga minggu ini tidak ada yang mengajakku pergi berkencan,” ledekku sambil nyengir. Lalu, melompat turun dan berlari masuk ke area pelataran parkir.
Tahun ajaran baru kini telah menanti di depan mata. Begitu tiba di koridor, aku segera menghampiri papan besar yang terlihat sedang dikerumuni oleh banyak siswa. Suasana gaduh bukan karena ada pengumuman hasil nilai ujian semester, melainkan pembagian kelas yang sedikit merepotkan dan menyebalkan.
Metode pembelajaran di sekolahku ini memang agak berbeda dari kebanyakan high school lain yang ada di Kota Boston. Mata pelajaran wajib seperti matematika, sains, ilmu sosial, dan Bahasa Inggris membutuhkan kelas pokok. Sedangkan untuk mata pelajaran pilihan, barulah siswa bersangkutan yang akan pindah mencari kelasnya-sering disebut sistem moving class.
Di kesempatan kali ini, aku cuma berharap bisa sekelas lagi dengan kedua sahabat karibku, Arlene dan Natalie. Kami bertiga sudah berteman cukup lama. Lebih tepatnya, sejak tahun pertama hingga tingkat senior. Mereka adalah gadis yang menyenangkan serta tidak suka terlibat masalah seperti anak-anak lain.
Karena tinggi badanku yang agak pendek-hanya sekitar 160 cm-aku betul-betul kesulitan untuk mencari namaku sendiri. Semua siswa terus berdesak-desakan dan saling berebut ingin melihat, alhasil badanku jadi susah bergerak gara-gara terhimpit.
“Minggir, aku dulu!” teriak salah satu anak dengan suara lantang.
“Hei!” Aku memekik waktu ia tak sengaja menginjak kakiku. Dan apesnya, saat aku ingin kembali mendongak ke atas ada adik kelas bertubuh gempal yang tahu-tahu menyikut wajahku. Sikutannya lumayan kencang hingga membuatku nyaris terjengkang.
Empat cewek tukang gosip yang sedang asyik bergerombol di belakangku malah tertawa. “Uh, pasti sakit!” ejek mereka sambil bisik-bisik.
Aku memutar bola mata sembari memegangi hidungku yang merah. Menyebalkan sekali rasanya.
Seorang cowok berbadan tinggi tegap, mengenakan hoodie dengan paduan celana jeans serba hitam tiba-tiba datang kemudian berdiri di sebelahku. Separuh wajahnya yang tertutup tudung hoodie membuat dirinya tampak misterius. Ia langsung melihat daftar nama yang ada di papan besar itu dengan mudah berkat kaki jenjangnya.
Sebelum ia pergi, aku pun buru-buru menggeser posisi dari tempat semulaku berdiri menuju ke hadapannya.
“Permisi, apa aku boleh meminta bantuanmu sebentar?” tanyaku sambil menghalangi jalan sempit yang akan dilaluinya.
Cowok itu menghentikan langkah lalu sedikit menunduk ketika menengok ke arahku akibat perbedaan tinggi badan yang drastis.
“Apakah kau bisa membantu mencarikan namaku di sana?” pintaku seraya menunjuk ke arah papan.
Ia pun membuka tudung hoodie yang dikenakannya dan bertanya, “Nama?”
“Umm ... Watson. Bukan. Maksudku, Kathleen Watson. Kau bisa mencari namaku di huruf depan K,” jawabku yang mendadak gugup ketika menatapnya. Kugelengkan kepala untuk menyadarkan diriku yang sempat terpana melihat wajah tampan cowok itu.
Matanya berwarna kelabu dan teduh bagaikan langit musim salju. Rambutnya hitam sedikit ikal dengan rahang tegas berikut hidung mancung yang hampir sempurna. Lalu saat ia berbicara tadi, suara lembutnya yang agak berat terdengar mengalun merdu di telingaku.
Aku terlalu sibuk mendeskripsikan ketampanannya sampai tidak fokus dengan apa yang telah ia ucapkan. “Sori, kau tadi bilang apa?”
“Ruang satu lantai tiga.”
“Oh, oke. Terima ka—” balasku yang belum selesai mengucapkan kata terima kasih, namun ia sudah pergi melewatiku begitu saja.
Pikiranku langsung bertanya-tanya. Siapa cowok itu? Apakah dia murid baru di sini?