Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad yang Tumbuh di Kegelapan
Ryan kembali ke rumahnya dengan tubuh lemah dan penuh luka setelah pertarungan sengit dengan Hery. Malam itu, ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang dipenuhi keraguan. Napasnya berat, dan rasa sakit di sekujur tubuhnya seperti mengingatkannya pada kekalahan yang baru saja ia alami. Bayangan Hery, dengan kekuatan Dark Dominator yang mendominasi, terus terngiang di pikirannya.
“Aku hampir kalah,” gumam Ryan pelan. “Jika bukan karena pria itu... mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang.”
Pria berjubah hitam muncul dari bayangan di sudut ruangan. “Kau benar. Jika aku tidak menghentikan Hery, kau mungkin sudah hancur. Dan ini adalah peringatan terakhirku, Ryan. Kau tidak punya waktu lagi untuk ragu.”
Ryan menoleh dengan ekspresi marah dan putus asa. “Bagaimana aku bisa melawan dia? Kekuatan ini… aku bahkan tidak bisa mengendalikannya sepenuhnya. Setiap kali aku mencoba, kegelapan ini malah mencoba mengambil alih diriku.”
Pria itu melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kegelapan tidak akan tunduk pada yang lemah. Kau harus lebih kuat, Ryan. Mulai sekarang, tidak ada waktu untuk ragu atau takut. Kau akan berlatih lebih keras dari sebelumnya.”
Latihan Ryan dimulai di malam hari, ketika taman tempat ia biasa berlatih kosong dan diselimuti kabut tipis. Pria berjubah hitam berdiri di hadapannya, matanya memancarkan ketegasan.
“Kali ini, kita tidak akan hanya melatih kekuatanmu,” kata pria itu. “Kita akan melatih pikiranmu. Tanpa kendali, kau hanya akan menjadi budak bagi kegelapan dalam dirimu.”
Pria itu melayangkan tangannya, dan bayangan di sekeliling taman bergerak seperti makhluk hidup. Mereka membentuk sosok-sosok menyeramkan yang melingkari Ryan, mendekatinya dengan langkah perlahan.
“Ini adalah ilusi, tetapi rasa takutmu akan membuatnya nyata. Hadapi mereka, atau mereka akan menenggelamkanmu.”
Ryan menatap bayangan itu dengan keringat dingin mengalir di dahinya. Mereka tampak seperti monster, dengan mata merah menyala dan cakar tajam. Ketika salah satu dari mereka melompat ke arahnya, Ryan mengangkat tangannya, melepaskan gelombang energi gelap untuk menghancurkannya. Namun, setiap kali ia menyerang, dua bayangan baru muncul untuk menggantikannya.
“Kau tidak bisa hanya menyerang tanpa berpikir,” seru pria itu. “Kau harus mengendalikan rasa takutmu. Fokus pada inti kekuatanmu.”
Ryan mencoba bernapas dalam-dalam, meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia memusatkan pikirannya, membayangkan energi gelap dalam dirinya sebagai aliran yang bisa ia kendalikan. Perlahan, ia mulai membentuk perisai gelap di sekelilingnya, mencegah bayangan itu mendekat.
Pria berjubah hitam tersenyum tipis. “Bagus. Tapi ini baru permulaan. Kau harus bisa menyerang dan bertahan secara bersamaan. Sekarang, lanjutkan.”
Latihan itu berlangsung selama berjam-jam. Setiap kali Ryan berhasil menghancurkan bayangan, pria berjubah hitam meningkatkan kesulitan. Bayangan-bayangan itu menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih menakutkan. Ryan jatuh berkali-kali, tubuhnya memar dan penuh keringat. Tetapi setiap kali ia terjatuh, ia memaksa dirinya untuk bangkit kembali.
“Tidak cukup hanya bangkit,” kata pria itu tegas. “Kau harus melampaui batasmu. Jika kau berhenti di sini, kau tidak akan pernah bisa melawan Hery.”
Ryan mengertakkan giginya, rasa sakit di tubuhnya semakin hebat. Namun, dalam pikirannya, ia melihat wajah Elma, ibunya, dan semua orang yang ia ingin lindungi. Ia mengepalkan tangannya, memanggil kekuatan gelap yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan teriakan penuh tekad, ia meluncurkan gelombang energi yang menghancurkan semua bayangan di sekitarnya.
Pria berjubah hitam mengangguk pelan. “Kau mulai mengerti. Tetapi ini baru awal. Kita belum selesai.”
Di sisi lain, Elma berdiri di padang luas yang diterangi cahaya putih. Wanita berjubah putih berdiri di depannya, memanggil pilar-pilar cahaya yang berputar mengelilingi Elma.
“Kekuatanmu adalah harapan terakhir kita. Tetapi untuk menguasainya, kau harus memahami bahwa cahaya bukan hanya alat, melainkan bagian dari dirimu,” kata wanita itu.
Elma mengangguk, meskipun rasa lelah sudah mulai terasa di tubuhnya. Ia mengangkat tangannya, mencoba memanggil cahaya yang ada di dalam dirinya. Namun, cahaya itu tampak redup, seperti lilin yang hampir padam.
“Kau ragu,” kata wanita itu. “Kegelapan di sekitarmu membuatmu meragukan dirimu sendiri. Jika kau tidak percaya pada cahayamu, bagaimana kau bisa menggunakannya untuk melawan?”
Elma mengepalkan tangannya. “Aku tidak ragu. Aku hanya… aku hanya takut gagal.”
Wanita itu mendekat, meletakkan tangannya di bahu Elma. “Rasa takut adalah hal yang wajar. Tetapi kau harus menghadapinya. Sekarang, fokuslah pada apa yang ingin kau lindungi. Apa yang membuatmu ingin menjadi lebih kuat?”
Elma memejamkan matanya, membayangkan Ryan, senyumannya yang jarang terlihat tetapi penuh arti. Ia membayangkan keinginannya untuk melindungi Ryan dari kegelapan yang mengelilinginya. Perlahan, cahaya di tangannya mulai bersinar lebih terang.
“Bagus,” kata wanita itu. “Sekarang, gunakan cahayamu untuk membentuk perisai. Kau harus belajar melindungi dirimu sendiri sebelum melindungi orang lain.”
Elma mengangkat tangannya, dan cahaya itu membentuk lingkaran di sekelilingnya. Ia bisa merasakan energi itu, hangat dan menenangkan. Tetapi ujian belum selesai. Pilar-pilar cahaya di sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi sosok bayangan yang menyerangnya dari berbagai arah.
“Ini adalah ujianmu,” kata wanita itu. “Jika kau gagal, kau harus memulai dari awal lagi.” Elma melompat ke samping, menghindari serangan pertama. Ia menggunakan perisainya untuk menangkis serangan berikutnya, tetapi bayangan itu terus menyerangnya tanpa henti. Napasnya semakin berat, tetapi ia tidak berhenti. Ia tahu bahwa Ryan membutuhkan cahayanya, dan itu memberinya kekuatan untuk terus bertarung.
Latihan itu berlangsung hingga tubuh Elma terasa hampir tak mampu bergerak. Namun, ia terus memaksa dirinya, menarik kekuatan dari keyakinannya untuk melindungi Ryan. Ketika serangan terakhir dari bayangan itu datang, Elma berhasil menciptakan gelombang cahaya yang menghancurkan semua bayangan di sekelilingnya.
Wanita berjubah putih tersenyum puas. “Kau telah membuktikan dirimu, Elma. Tetapi perjalananmu baru saja dimulai. Kau akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari ini.”
Elma mengangguk, meskipun tubuhnya penuh dengan rasa sakit. “Aku siap. Apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan Ryan.”
Ketika latihan mereka masing-masing selesai, Ryan dan Elma berjalan keluar dari tempat latihan mereka. Tanpa sengaja, keduanya bertemu di jalan menuju taman kecil yang sepi. Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dalam keheningan.
“Ryan,” kata Elma akhirnya, suaranya lembut tetapi penuh keprihatinan. “Apa kau baik-baik saja?”
Ryan mengangguk pelan. “Aku... berusaha. Bagaimana denganmu? Kau terlihat... berbeda.”
Elma tersenyum tipis, cahaya kecil tampak di tangannya sebelum ia menutupinya. “Aku juga berusaha. Kita berdua memiliki jalan yang berat, ya?”
Ryan mengangguk lagi, lalu berkata, “Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu.”
Elma merasa jantungnya berdebar, tetapi ia menahan perasaannya. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Ryan.
Malam itu, di bawah sinar bulan, mereka berdua menyadari bahwa meskipun jalan yang mereka tempuh berbeda, tujuan mereka tetap sama: menghentikan kegelapan yang semakin mendekat.