Elora percaya bahwa cinta adalah segalanya, dan ia telah memberikan hatinya sepenuhnya kepada Nolan, pria penuh pesona yang telah memenangkan hatinya dengan kehangatan dan perhatian. Hidup mereka terasa sempurna, hingga suatu hari, Nolan memperkenalkan seorang teman lamanya, kepada Elora. Dari pertemuan itu, segalanya mulai berubah.
Ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka bersikap. Perhatian yang terlalu berlebihan, dan senyuman yang terasa ganjil. Perlahan, Elora mulai mempertanyakan kebenaran hubungan mereka.
Apakah cinta Nolan kepadanya tulus, atau ada rahasia yang ia sembunyikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Skyler, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Goyah
Nolan membuka pintu kamar hotelnya dengan langkah lesu, berharap bisa menikmati sedikit waktu sendiri setelah malam yang melelahkan. Namun, suara langkah yang mengikuti di belakangnya membuatnya berbalik.
"Celine?" tanyanya, nada suaranya mengandung kelelahan dan sedikit jengkel.
Celine hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh ekspresi Nolan. "Aku masih ingin bersamamu lebih lama Nolan.."
"Celine, ini sudah malam. Aku benar-benar butuh waktu istirahat. Lebih baik kau pulang saja," ucap Nolan tegas
"Kau mengusirku? tega sekali kau menyuruhku pulang malam-malam begini!," Celine menatapnya dengan tatapan seolah memohon untuk menahannya
Tiba-tiba suara kenop pintu kamar sebelah terdengar berputar. Dengan cepat, Nolan meraih pergelangan tangan Celine dan menariknya masuk ke kamar, menutup pintu dengan lembut namun tergesa.
"Akhirnya kau berubah pikiran," ujar Celine sembari tersenyum lebar
Nolan mengisyaratkan padanya untuk menutup mulut. "Jangan sampai mereka melihatmu di sini," bisiknya tajam, sementara telinganya terfokus pada suara langkah yang terdengar dari luar.
"Baiklah,"
Ia berjalan santai ke arah ranjang, meletakkan tasnya di meja samping, dan tanpa banyak bicara, berbaring di atasnya, menatap langit-langit kamar hotel.
"Kalau kau takut mereka melihatku, lebih baik aku tetap di sini," ucapnya datar, tanpa menoleh ke arah Nolan.
Nolan menghela napas panjang, dan mengunci pintunya dengan pelan. Ia berbalik, menatap Celine yang kini terlihat begitu nyaman di tempat tidur, seolah tidak ada beban.
"Cel, kau tidak bisa terus seperti ini," ujarnya sambil berjalan ke arah sofa. "Sudah cukup! Aku sudah sangat lelah, aku harap kau jangan mengusikku lagi."
Celine lantas bangkit menghampiri Nolan, "apa kau yakin ingin mendorongku pergi? Kalau kau melakukan itu, jangan salahkan aku jika menceritakan semuanya kepada pacarmu itu," ujarnya sambil tersenyum menyeringai
Celine kini duduk di atas pangkuannya, dan menatapnya, wajahnya begitu dekat dengan wajah Nolan, sehingga ia bisa merasakan napasnya.
"Sekarang kau mengancam ku," ujar Nolan pelan
Celine menghela napas, kemudian menyentuh pipinya, memaksa Nolan menatapnya kembali.
"Tidak masalah kalaupun aku harus jadi yang kedua, asalkan aku tetap bisa bersamamu, aku tidak ingin menjauh darimu Nolan."
Tanpa memberikan Nolan kesempatan untuk menjawab, Celine menunduk dan melumat bibirnya dengan lembut namun penuh dorongan. Nolan terkejut, tubuhnya membeku di tempat. Ia merasakan tekanan lembut namun pasti dari bibir Celine, penuh dengan emosi yang selama ini terpendam.
Nolan memegang bahu Celine, dan mendorongnya sedikit menjauh.
"Celine, hentikan," bisiknya, suaranya serak dan rendah.
Celine menatapnya dengan mata yang mulai basah. "Aku mencintaimu Nolan," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Nolan menatap Celine yang kini berdiri dengan air mata mengalir di pipinya. Hatinya terasa berat melihat wanita yang pernah sangat dicintainya menangis seperti ini.
Nolan bangkit dari sofa dan meraih tubuh Celine ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu erat, penuh emosi yang tertahan.
Celine terkejut, tapi tidak menolak. Sebaliknya, ia merangkul lengan Nolan, menenggelamkan wajahnya ke dadanya. Tangisnya pecah, dan Nolan hanya bisa membiarkan dirinya menjadi tempat Celine bersandar, meskipun ia tahu ini salah.
"Aku tidak tahan melihatmu menangis," bisik Nolan, suaranya bergetar.
Celine mendongak, matanya yang basah menatap Nolan dengan sorot penuh kerinduan. "Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, Nolan. Jangan lagi membuatku merasa seperti ini," pintanya dengan suara yang hampir patah.
Nolan mengusap punggung Celine dengan lembut, mencoba menenangkan wanita di pelukannya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ia telah melangkah terlalu jauh. Perasaan bersalah terhadap Elora mulai menghantuinya, namun ia tidak bisa memaksa dirinya untuk melepaskan Celine saat ini.
***
Elora berdiri di depan cermin, mengenakan gaun berwarna hitam yang memeluk tubuhnya dengan elegan. Rambutnya yang biasa ia biarkan terurai kini ditata rapi, membuatnya tampak lebih anggun dari biasanya.
Malam ini, Nolan mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah di pusat kota, alasan yang ia sebut sebagai “kencan untuk menebus waktu.”
Nolan telah sampai di apartemennya, senyumnya terbit saat melihat Elora membuka pintu.
“Kau cantik sekali malam ini,” ucap Nolan, matanya memperhatikan setiap detail penampilan Elora.
Elora tersenyum tipis. "Terima kasih. Kak Nolan juga terlihat... cukup rapi malam ini," jawabnya ringan.
Tidak lama, mereka sampai di sebuah restoran. Tempat itu dipenuhi cahaya lilin dan alunan musik jazz yang tenang. Pelayan membawa mereka ke meja yang telah dipesan di dekat jendela, dengan pemandangan kota yang indah.
Nolan menyuapi Elora sesekali, membuat suasana makan malam terasa semakin hangat dan intim.
“Kapan terakhir kali kita punya waktu seperti ini?” tanya Nolan sambil memandang Elora lekat.
Elora tersenyum kecil. “Sepertinya sudah cukup lama. Karena kak Nolan terlalu sibuk dengan pekerjaan," gerutunya sambil menyandarkan dagu di tangannya.
"Iya, aku tahu. Maafkan aku soal itu."
Malam itu, untuk sesaat, Elora merasa hubungan mereka kembali seperti dulu, hangat dan penuh perhatian.
Namun, suasana yang hangat dan menyenangkan itu mendadak berubah ketika Celine tiba-tiba muncul di restoran. Ia berjalan dengan anggun ke arah meja mereka, diiringi Alden yang tampak dingin di belakangnya.
“Celine?” tanyanya, setengah tidak percaya.
Celine tersenyum manis, tanpa ragu menarik kursi dan duduk di meja mereka.
"Hai, aku tidak tahu kalian juga makan di sini. Kebetulan sekali," ucapnya dengan nada ringan, seolah-olah tidak ada hal yang aneh.
Nolan tampak terkejut, tangannya yang semula menggenggam tangan Elora perlahan terlepas. Ia meneguk anggur di depannya untuk menutupi kegugupannya. Sementara itu, Alden hanya berdiri di samping meja, pandangannya tertuju pada Elora.
"Duduklah Al.." ujar Celine, menarik paksa tangan Alden, agar duduk di sebelahnya
"Kalian.. makan berdua?" tanya El
"Iya, aku bosan di rumah. Jadi aku mengajaknya keluar, dan dia yang merekomendasikan tempat ini. Katanya tempatnya bagus dan makanannya enak. Eh, nggak tau nya malah ketemu kalian." ucap Celine panjang lebar, dan penuh percaya diri
Nolan, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya membuka suara.
“El, aku rasa kita harus pergi sekarang,” ucapnya tiba-tiba, nada suaranya tegas namun lembut.
Elora mengangkat alis, sedikit terkejut dengan ajakan mendadak itu.
“Pergi? Bukannya kita baru selesai makan?” tanyanya sambil menatap Nolan
Nolan menundukkan sedikit kepalanya, mendekat ke telinga Elora dan berbisik.
“Aku ingin menghabiskan waktu hanya denganmu.”
"Sepertinya kedatanganku membuatmu terganggu," sela Celine dengan nada menyindir, matanya menatap Nolan lekat
"Aku tidak terganggu. Hanya saja, malam ini aku ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan kekasihku." Nolan meraih tangan El, dan langsung membawanya pergi
Celine duduk terdiam, menatap kepergian Elora dan Nolan. Ia menggertakkan giginya, menahan kekesalan yang meluap di dalam dada.
"Apa mereka benar-benar harus pergi begitu saja?" gumam Celine pelan
Alden lantas tersenyum miring, "kau tahu, Cel," ujarnya dengan suara pelan namun penuh perhitungan, "kadang terlalu banyak keinginan hanya akan membebani diri sendiri."
*
*