Cantik, kaya, muda, sopan, baik hati, cerdas, itulah Soraya Syifa Dewiana. Gadis berjilbab ini amat diminati banyak orang, khususnya laki-laki. Bahkan gangster pria terkenal di kota saja, The Bloodhound dan White Fangs, bersaing ketat untuk mendapatkan gadis yatim-piatu agamis ini.
Namun siapa sangka, dibalik semua itu, ia harus menikahi pemimpin gangster dari White Fangs, Justin, yang telah menggigitnya dengan ganas di malam Jum'at Kliwon bulan purnama. Satu-satunya cara agar Soraya tidak jadi manusia serigala seperti Justin adalah dengan menikahinya.
Hingga membuat Boss mafia sekaligus CEO untuk Soraya, Hugh, terkadang cemburu buta padanya. Belum lagi asistennya Hugh, Carson, yang juga menaruh hati padanya. Selain itu, ada rahasia lain dari gadis cantik yang suka warna hijau ini. Cukup psikopat pada 2 geng siluman serigala itu dan tangguh.
Lantas, siapa sesungguhnya yang akan Soraya pilih jadi suami sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Soraya Shifa Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 : Balai Seni Violetta Center (Part 2)
Fokusnya Soraya ke kelas piano, membuat Justin terheran-heran. Serasa ada yang menghipnotis istrinya untuk terus melihat kelas itu.
"Nyonya Soraya mau masuk ke kelas piano?" tanya Serina.
Soraya sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Dan malah balik bertanya, "Benarkah boleh?"
Serina mengangguk sambil tersenyum dan menjawab, "Tentu saja boleh. Ayo, silahkan masuk! Tuan Justin jika berkenan juga silahkan."
Justin ikut saja keinginan Soraya. Mereka pun masuk ke kelas piano. Sebagian belajar dengan gurunya, sebagian belajar sendiri. Terdengar suara tuts-tuts pada keyboard piano menggema di ruangan ini. Semuanya memainkan lagu atau musik yang sama. Yang belum bisa, masih dengan arahan guru. Sedangkan yang sudah bisa, tentunya latihan sendiri.
"Gurunya ada 3 orang. 2 perempuan dan 1 laki-laki," ucap Serina.
Soraya teringat, seorang wanita cantik yang menjadi guru pianonya. Bukan dari ibunya, tapi dari guru sekolah seni ini. Di pikirannya, ia berusaha mengingat momen dan siapa nama guru yang pernah mengajarinya bermain piano di sini.
"Kau pernah tahu guru piano di sini, yang bernama Firda kalau tidak salah?" tanya Soraya hati-hati takutnya salah.
"Ibu Firda?" Serina bertanya-tanya.
"Iya. Ibu Firda. Lebih tepatnya Ibu Firdausita. Pernah dengar? Atau mungkin, kamu pernah kenal juga?"
Serina mengingat-ingat. Hingga ia teringat, "Oh, iya! Saya tahu dan sangat kenal beliau. Beliau sahabat ibu saya sewaktu masih jadi kepala sekolah di sini."
"Tepat sekali! Kemana beliau? Aku ingin bertemu."
Mendengar keinginan Soraya ini, tiba-tiba mimik muka Serina jadi sedih. Ia menjawab, "Ibu Firda...sudah wafat satu tahun yang lalu. Karena sakit yang parah."
Soraya mengucapkan kalimat istirja'. Mimik wajahnya yang semula ceria jadi sedih juga. Segera ia memeluk Justin dengan tangisnya juga. Justin bisa merasakan kesedihan istrinya.
Justin menenangkan Soraya, meskipun tidak ikut sedih. Dengan wajah yang dingin, namun tetap menjadi suami yang menghibur Soraya.
...***...
Ketiganya menuju kelas biola. Begitu masuk, sama seperti anak-anak yang belajar piano. Jika masih ada murid yang belum bisa, masih diasah dengan bantuan guru. Tapi jika sudah bisa, maka harus belajar berlatih sendiri.
Sampai pada saat melihat salah satu murid pemain biola, Justin melihat ada seorang anak kecil perempuan yang usianya sekitar masih sekitar anak SD kelas 2. Sekitar 7 atau 8 tahun. Ia melihat rasanya ada yang aneh atau beda dengan gadis itu.
Penasarannya mulai meninggi, Justin bertanya pada Serina, "Maaf! Itu muridnya kelihatan agak lain dari yang lain? Terlihat sedikit...berbeda."
Serina dan Soraya melihat gadis cantik yang tengah memainkan biola kecil biasa di bahu itu. Dan ia gesek dengan perlahan. Tapi ia belajar sendiri. Tanpa ada arahan guru.
Melihat gadis itu, Serina tersenyum dan menjawab, "Oh! Iya, dia yang paling jenius cerdas di sini. Dia yang paling cepat tanggap dan berkembang memainkan biolanya. Sayangnya, dia tunanetra."
"Apa?! Tunanetra?! Tidak bisa melihat?!" Soraya tak percaya.
"Iya. Dari orang tuanya yang memberikan informasi pada kami, dia buta sejak lahir. Namanya Ferisa," jawab Serina dengan nada iba.
Tidak hanya Soraya yang jadi tersentuh hatinya. Justin juga ikut merasa kasihan pada murid yang bernama Ferisa itu. Namun jika di dengar nada dari biola yang ia mainkan, kedengarannya sangat mengagumkan dan benar-benar terasa sampai ke hati.
"Menakjubkan!" seru Justin. Benar-benar tersentuh dengan alunan musik dari biolanya Ferisa.
"Benar. Bisa panggil dia ke sini?" tanya Soraya.
Serina mengangguk patuh. Dengan lembut ia mendekati dan mengajak Ferisa pada Soraya dan Justin.
Setelah di dekat Ferisa, Soraya berjongkok dan bertanya baik-baik dengan senyuman, "Hai, Ferisa manis! Aku sudah tahu namamu dari Serina. Salam kenal, ya!"
Ferisa tersenyum. Ia mencoba meraba tangan Soraya yang mengajaknya berjabat tangan. Lalu berkata, "Akhirnya, aku bisa bertemu Kak Soraya. Aku sudah menyukai Kakak sejak dulu. Mengidolakan Kakak, meskipun Kakak bukan pemain biola."
"Ahahaha! Iya, Sayang. Dan kamu sangat luar biasa memainkan biolanya. Teruslah belajar, meskipun kau tidak bisa melihat!"
"Siap, Boss Cantik! Aku janji, akan selalu berusaha keras untuk jadi pemain biola terbaik, meskipun tidak terkenal karena kekuranganku."
"Kamu bisa jadi tenar! Biarpun kamu tidak bisa melihat, tapi setidaknya kamu bisa dengar nada musik dari biola yang kau mainkan."
"Aku akan semangat dan berusaha semaksimal mungkin!"
Soraya memeluk erat Ferisa. Gadis kecil itu berusaha membalas pelukan hangat Soraya, dengan meraba. Menebak dimana tubuh orang yang memeluknya.
Justin yang melihat, sesungguhnya merasa ingin menangis. Menangis karena terharu, bangga. Bangga mempunyai istri yang sebegitu baiknya pada orang yang cacat seperti Ferisa.
...***...
Dalam perjalanan pulang...
Justin menyetir mobil dengan kecepatan biasa. Sesekali ia melihat Soraya. Nampaknya bahagia sekali. Apalagi dalam pikirannya, terlintas betapa baiknya wanita di sebelah kanannya ini pada orang seperti Ferisa. Seperti sebelum pulang dari balai seni itu, Soraya memberikan sebuah hadiah berupa sebuah sapu tangan merah muda.
Sapu tangan bergambar bunga mawar merah, yang pernah Soraya beli sewaktu kecil. Dan ia memberikannya sebagai kenang-kenangan untuk Ferisa. Katanya, sebagai penyemangat bagi Ferisa agar terus berjuang. Membuktikan pada siapapun, bahwa orang cacat pun bisa jadi yang terbaik.
{Tambahan: Soraya pernah belajar seni tari, drama teater, musik piano, dan bela diri di balai seni ini. Namun karena belajar seni tari dan piano sama-sama di hari Minggu, jadi Soraya memutuskan keluar seni tari dan memilih belajar piano. Sedangkan belajar bela diri, dipelajari pada hari Sabtu. Dan seni drama teater dipelajari pada hari Jum'at.}