seorang gadis kecil yang saat itu hendak pergi bersama orang tua ayah dan ibunya
namun kecelakaan merenggut nyawa mereka, dan anak itu meninggal sambil memeluk bonekanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bruno datang menyerang anak Arsy dan Lita
Yoga tersentak, langkahnya mundur teratur, mata tetap terpaku pada Boneka Bruno yang semakin mendekat. Bayangan gelap boneka itu membesar di matanya, menghantui setiap inci ruang yang tersisa di sekitarnya. Napasnya tersengal, dada terasa sesak, detak jantungnya berdebar-debar seperti drum perang yang semakin cepat. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, suasana mencekam mencengkeramnya erat-erat. Setiap langkah mundur terasa berat, seperti terseret ke dalam lubang gelap yang tak berujung. Ia berusaha mencari jalan keluar, namun Boneka Bruno terus mendekati, menutup semua jalur pelarian. Ketakutan yang nyata mengancam menelan hidupnya. Ia merasa terjebak dalam permainan maut yang diatur oleh sesuatu yang jauh lebih kuat darinya.
Bayangan Boneka Bruno membesar, menutupi hampir seluruh pandangan Yoga. Langkah kaki boneka itu, meski tak terdengar, merupakan ancaman nyata yang semakin dekat. Wajah boneka itu, yang seharusnya ekspresi polos, kini tampak mengerikan, menunjukkan sinar kegelapan yang menyeramkan. Yoga merasakan hawa jahat yang menyengat kulitnya, menciptakan rasa takut yang menggelegar di dalam jiwanya. Ia tahu, serangan itu tak terelakkan. Boneka itu akan menyerangnya.
Detik-detik berlalu dengan lambat, seperti abad yang tak berujung. Yoga mencoba mencari cara untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya terpaku di tempat, terikat oleh rasa takut yang mencengkeram jiwanya. Ia merasa lemah, tak berdaya di hadapan ancaman yang semakin dekat. Aroma mistik yang menusuk hidungnya menambah ketakutannya. Ia tahu ini bukan yang hanya sebuah boneka biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan serangan itu akan menjadi akhir dari segalanya
"AAAAAAA!!!" teriakan Yoga menggema, pecah memecah kesunyian mencekam. Suaranya parau, penuh ketakutan dan keputusasaan. Ia berteriak sekencang-kencang yang ia mampu, suara itu bergetar karena adanya campuran antara rasa takut dan harapan yang sangat tipis. Boneka Bruno, dengan wajahnya yang mengerikan, terus mendekati, jaraknya hanya beberapa inci saja. Yoga menutup matanya erat-erat, menunggu sentuhan maut yang akan mengakhiri hidupnya. Namun, di dalam teriakan itu, tersimpan seutas benang harapan yang masih menyala. Sebuah mimpi yang sangat tipis, bahwa ada seseorang yang akan mendengar teriakannya, seseorang yang akan menyelamatkannya dari ancaman boneka maut itu. Ia berharap, seseorang akan datang. Ia berharap, ada yang mendengar teriakan putus asanya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya bergetar tak terkendali. Di dalam hati yang penuh ketakutan, seberkas kecil harapan masih berkibar.
Hana tersentak bangun. Suara teriakan yang menggema di dalam rumah itu bukan suara biasa. Itu adalah teriakan Yoga, kakaknya, teriakan yang dipenuhi dengan ketakutan yang amat dalam. Tanpa berpikir panjang, Hana meloncat dari kasurnya, jantungnya berdebar keras. Ia segera berlari keluar kamar, langkah kakinya tergesa-gesa, dipenuhi oleh kecemasan yang mengunjungi.
Saat ia mengintip dari balik pintu, pandangannya tertuju pada Yoga yang terduduk di lantai, tubuhnya bergetar tak terkendali, wajahnya pucat seperti mayat. Di hadapannya, Boneka Bruno berdiri tegak, menunjukkan wajah yang mengerikan dan mengancam. Hawa dingin yang menyeramkan terasa menyelimuti ruangan.
"Yoga!" Hana berteriak, suaranya bergetar karena ketakutan dan kekhawatiran. Ia bergegas mendekati kakaknya, memeluknya erat. "Ada apa? Siapa itu?"
Yoga menatap Hana dengan mata yang masih dipenuhi ketakutan. Ia menunjuk Boneka Bruno dengan jari yang gemetar. "Hana... itu... itu Boneka Bruno... ia... ia mau menyerangku!" Suaranya masih bergetar, namun ada sedikit kelegaan karena ia sudah tidak sendiri.
Hana menatap Boneka Bruno dengan tatapan penuh ketakutan. Boneka itu terlihat mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan. Ia merasa bulu kuduknya merinding. Ia belum pernah melihat sesuatu yang semengerikan itu. Ia merasa takut, namun ia harus kuat untuk kakaknya. Ia harus melindungi Yoga.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Hana, suaranya tegas, mencoba mengatasi rasa takutnya. Ia melirik Yoga, memberikan isyarat untuk bersembunyi di belakangnya. Ia akan melindungi kakaknya, walaupun ia juga takut. Pertempuran antara mereka dan Boneka Bruno baru saja mulai.
Hana, dengan semangat untuk melindungi Yoga, memandang sekitar dengan mata yang memicu adrenalin. Ketakutan masih mencengkeramnya, namun semangat untuk bertahan lebih kuat. Ia melihat vas bunga porselen kecil di meja dekatnya. Tanpa ragu-ragu, ia meraihnya, dan dengan sekuat tenaga, melemparkannya ke arah Boneka Bruno yang masih mengerikan di hadapannya.
Vas itu menghantam punggung Boneka Bruno, pecah berserakan menjadi serpihan-serpihan kecil. Namun, Boneka Bruno hanya bergoyang sedikit, tanpa menunjukkan tanda-tanda rusak. Hana tersentak kaget. Ia tidak menyangka Boneka Bruno sekuat itu. Ia kemudian berusaha mencari benda lain yang bisa digunakan untuk menyerang. Matanya melihat sebuah patung kecil dari kayu di rak dekat sofa. Ia segera berlari menuju rak itu, meraih patung tersebut, dan kembali melemparkannya ke arah Boneka Bruno.
Kali ini, patung kayu itu menghantam kepala Boneka Bruno. Suara benturan yang keras terdengar, dan serpihan kayu berterbangan. Namun, Boneka Bruno masih tetap berdiri tegak, tanpa menunjukkan tanda-tanda rusak yang signifikan. Hana merasa putus asa. Ia telah mencoba menyerang Boneka Bruno dengan dua benda, namun Boneka itu terlalu kuat. Ia melihat sekitar, mencari benda lain yang mungkin bisa digunakan, namun tak ada sesuatu pun yang terlihat bisa mengalahkan Boneka Bruno. Ia merasa takut, namun ia harus tetap kuat untuk Yoga. Ia harus menemukan cara lain untuk mengalahkan Boneka Bruno itu.
Boneka Bruno, yang sebelumnya menatap Yoga dengan tatapan mengancam, tiba-tiba berbalik. Gerakannya cepat dan tak terduga, seperti kilat yang menyambar. Ia merasakan ancaman dari belakang. Insting yang tajam, yang tak seharusnya dimiliki oleh sebuah boneka, memberikan peringatan bahaya. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan lancar, Bruno berputar dengan halus, menghindari serpihan vas dan patung yang berhamburan di lantai. Matanya, yang sebelumnya menunjukkan kegelapan, kini berubah menjadi tatapan yang lebih tajam dan mematikan. Ia menemukan sumber ancaman itu: Hana.
Dengan langkah yang agak terhuyung-huyung, namun tidak kurang mengancam, Boneka Bruno mulai mengejar Hana. Langkah kakinya tidak lagi halus dan sunyi. Suara langkah itu menciptakan suara yang menyeramkan, seperti langkah kaki hantu yang mendekati mangsa. Hana, yang masih terkejut dengan kecepatan dan kekuatan Boneka Bruno, berteriak ketakutan dan berlari sekencang-kencang untuk menyelamatkan diri. Ia merasakan napas Boneka Bruno — atau apapun yang menggerakkan Boneka itu — semakin dekat. Kejar-kejaran maut di antara Hana dan Boneka Bruno mulai.
Napas Hana memburu, dada terasa sesak. Langkah kakinya tergesa-gesa, hampir tersandung oleh serpihan vas dan patung yang berhamburan di lantai. Ia mendengar suara langkah Boneka Bruno di belakangnya, suara yang semakin dekat, semakin mengancam. Ketakutan yang amat dalam mencengkeram hatinya. Ia merasa terjebak dalam permainan maut yang tak berujung.
"Tolong... tolong..." Hana berbisik, suaranya gemetar karena ketakutan. Ia mencoba berlari lebih cepat, namun kakinya terasa lemah. Ia merasa bahwa ia tidak akan bisa lolos dari Boneka Bruno.
"Kau tidak akan bisa melarikan diri," suara serak dan mengerikan terdengar dari belakang. Itu adalah suara Boneka Bruno, suara yang menambah rasa takut Hana.
Hana berhenti berlari, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia berbalik perlahan, menatap Boneka Bruno dengan mata yang dipenuhi ketakutan. Wajah Boneka Bruno tampak sangat mengerikan, menunjukkan tatapan yang mematikan.
"Jangan... jangan mendekatiku," Hana berkata, suaranya hampir tak terdengar. Ia mencoba mencari cara untuk mempertahankan diri, namun ia tak berdaya. Ia hanya seorang gadis muda yang tak berdaya di hadapan boneka maut itu.
Boneka Bruno terus mendekati, langkah kakinya menciptakan suara yang menyeramkan. Hana menutup matanya erat-erat, menunggu akhir yang tak terelakkan. Ia berharap ada keajaiban yang akan menyelamatkannya. Namun, ia tahu, harapan itu sangat tipis.