Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Seminggu di Perancis berasa seperti seminggu di Swiss. Seminggu di tempat asing dengan suasana yang sama, terkurung di dalam rumah dengan rutinitas yang sama setiap hari. Hanya makanannya yang membuatku tetap tersadar kalau aku sedang berada di Perancis. Dan setiap kali aku menghidupkan televisi, bahasa yang begitu elegan itu menyapa kupingku. Aku sangat menyukainya meskipun aku tidak bisa menirunya ketika aku mencoba.
Semalam aku melihat sebuah iklan di televisi dengan latar belakang menara Eiffel. Ingin sekali rasanya aku pergi ke sana. Tapi, itu hanya sebuah mimpi. Benar, kan? Aku menghabiskan hari ini dengan belajar online di pagi hari, yang terasa jauh lebih membosankan. Lalu, setelah makan siang, aku menghabiskan waktu dengan duduk termenung di kursi ruang tamu memandangi rumah depan yang ditempati Assis. Aku tidak melihat pergerakan sama sekali di sana. Apakah dia sedang di rumah, bekerja? Ataukah dia sedang keluar?
Tiba-tiba aku mendengar suara sesuatu jatuh, ringan. Sepertinya dari pintu depan. Aku beranjak ke pintu depan dan melihat sebuah surat di lantai. Kenapa aku tidak melihat tukang pos lewat? Aku baru akan memungut surat tersebut ketika terdengar ketukan di pintu. Aku melihat dari lubang intip dan melihat seorang pria sedang menatapku balik dengan wajah galak. Siapa dia?
“Siapa?” aku bertanya dalam bahasa Inggris.
“Tolong buka pintunya, Nyonya.” jawab suara tersebut dalam bahasa Jerman. Siapa dia, kenapa dia berbicara dalam bahasa Jerman denganku?
Sebelum aku bertanya lagi ke pria di depan pintu, ponselku berdering dari ruang tamu. Sejak berada di Perancis aku menghidupkan nada deringnya juga, selain getarnya. Aku menggunakan nada standar yang mudah dikenali, tidak menarik, kan?
Aku bergegas ke ruang tamu dan tidak menghiraukan di pria di depan pintu yang diam mematung masih sambil memandangi pintu.
“Halo.”
“Pria itu bekerja untuk saya, tolong bukakan pintunya, Nyonya.” Suara Assis terdengar terburu-buru, namun dipaksakan untuk tenang. Terdengar berbeda dengan nada bicaranya yang biasa.
“Siapa dia?” aku tidak puas dengan penjelasannya.
“Seseorang yang bisa dipercaya. Dia juga dari Swiss.” Katanya masih dengan nada memburu.
Aku diam sejenak. Ada sesuatu yang salah.
“Tolong buka pintunya, Nyonya.”
“Untuk apa?”
“Ada sesuatu yang harus diperiksa.”
“Apa? Katakan padaku.”
“Tolonglah, Nyonya.”
“Jelaskan padaku.” Mulai habis kesabaranku, dia tidak ingin mengungkapkan apapun. Ini memicu kecurigaanku.
“Dia harus memeriksa surat yang baru saja dikirimkan kepada Nyonya.”
Apa selama ini dia sedang di dalam rumah di depan, mengawasiku, sehingga dia tahu apa yang terjadi kepadaku?
Karena keheninganku yang sedang memikirkan apa yang sedang terjadi, dia langsung menyela, “Tidak ada yang mengetahui keberadaan Nyonya di sini, mustahil jika ada yang mengirimkan Nyonya surat.”
“Mungkin saja itu surat untuk pemilik rumah ini.” bantahku, padahal aku tidak mengetahui siapa pemilik rumah ini, bisa saja rumah ini milik suamiku.
“Tolong dimengerti, Nyonya. Tidak akan ada yang mengirimkan surat ke rumah itu, bahkan surat tagihan atau iklan penawaran sekalipun.”
Kenapa? Jangan-jangan benar dugaanku. Tapi, aku tidak sempat menanyakan pertanyaan itu, karena pintu depan sudah berbunyi terbuka.
Masih dengan ponsel di genggaman, aku bergegas ke pintu depan dan mendapati pria tadi sedang memegang surat yang tadinya di lantai.
“Apa-apaan kamu?” serbuku.
“Maaf, Nyonya, saya harus memeriksa surat ini segera.”
Tanpa menunggu reaksiku selanjutnya, dia merobek bagian pinggir surat dan mengeluarkan isinya.
Aku merampas surat di tangannya dan melihat sebuah emotikon tersenyum di sebuah kertas putih kosong. Aku memandang pria di depanku yangmengulurkan tangan kanannya, “Tolong berikan surat itu kepada saya.”
“Surat apa ini?”
Tidak ada nama dan alamat pengirim maupun nama dan alamat tujuan. Pasti ulah orang iseng atau anak-anak nakal.
“Iseng sekali.” kataku menyerahkan surat itu kepada pria di depanku yang masih mengulurkan tangannya.
"Terima kasih. Saya permisi.”
Cepat sekali dia berlalu,meninggalkanku melongo dengan pintu yang ditutupnya. Aku masuk ke ruang tamu dan melihat pria tadi masuk ke rumah di depanku. Aku melihat Assis berdiri di jendela lantai 2 memandangku sambil tersenyum.
Aku ingin bertanya kepadanya tentang kejadian baru saja, tapi aku tahu tidak akan mendapatkan jawaban. Jadi, aku menyimpan semua pertanyaan ini sendirian. Tapi, satu hal yang tidak bisa aku hilangkan dari pikiran bahkan ketika aku akan tidur, kenapa aku sangat diproteksi? Dari apa?
Dua hari berlalu sejak kejadian surat iseng itu. Assis tidak mengatakan apapun kepadaku dan aku tidak ingin menanyakan apapun kepadanya. Aku ingin sebenarnya, tapi tidak akan mendapatkan jawabannya, jadi aku diam saja. Aku memikirkan berbagai cara untuk memancing dia membuka mulutnya, tapi tidak terpikir satupun yang kreatif dan efektif. Aku bahkan bertanya ke Mbak Google, tapi hasilnya aneh-aneh.
Pagi ini aku terbangun karena bunyi telepon dari lantai bawah. Malas sekali rasanya untuk bangun. Aku tidur lagi. Telepon sudah berhenti. Syukurlah.
Kriing… kriing… kriiiing… kriiiiiiing…. Semakin lama rasanya telepon semakin panjang berdering seolah memaksaku untuk menjawabnya, kalau tidak dia akan semakin berisik. Aku bangun dan keluar dari kamar. Baru saja kakiku menapak tangga ke dua, telepon berhenti. Aku menunggu.
Kriing….
Lambat aku turun ke bawah, berharap teleponnya berhenti berbunyi, tapi, tidak.
“Halo.” Aku bahkan tidak mengucapkan salam.
Hening. Tidak ada bunyi apapun di seberang, tapi aku tahu telepon belum ditutup, samar-samar terdengar bunyi sesuatu yang tidak jelas di latar belakang.
“Halo. Ini siapa?”
Tidak ada jawaban. Ketika aku ingin mengucapkan ‘halo’ ketigaku, telepon ditutup.
Siapa yang iseng sepagi ini? Tidak mungkin Assis, kan? Dia selalu meneleponku lewat ponsel. Lagipula Assis bukan orang kurang kerjaan yang akan berbuat usil kepadaku.
Kakiku melangkah menuju ke tangga untuk kembali ke kamar dan tidur.
Langkahku terhenti. Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan surat waktu itu? Aku merinding. Jangan-jangan ini bukan ulah orang iseng? Jangan-jangan ini ulah seorang pengagum rahasia?
Hahahahaha…. Percaya diri sekali kamu, Embun? Siapa yang akan menjadi pengagum rahasia kamu di Perancis yang baru saja kamu tinggali selama seminggu lebih? Itupun kamu baru sekali keluar rumah. Siapa yang tahu tentang kamu?
Pelajaran hari ini berlangsung cepat, karena pikiranku tidak fokus ke pelajaran online. Aku terus teringat kejadian dua hari ini, terus berulang. Saat makan siang pun begitu, membuatku kurang berselera makan. Insting Sherlock-ku membara. Ada sesuatu yang sedang terjadi di sini. Sesuatu yang ada kaitannya dengan kedatanganku ke Perancis dan sikap protektif Assis. Haruskah aku menceritakan apa yang terjadi tadi pagi pada Assis?
Tidak. Kalau aku menceritakannya, bisa saja dia membuat situasi menjadi semakin rumit bagiku. Bisa-bisa dia menempatkan seorang bodyguard di dalam rumah yang akan mengikutiku setiap kali aku melangkah. Tidak, tidak. Lagipula tidak ada hal buruk yang terjadi. Bisa saja itu benar-benar ulah orang iseng.
mampir juga ya di karyaku
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏