Revisi PUEBI
Diminta oleh orang tuanya untuk menyelesaikan persoalan hutang keluarga serta harus mengganti rugi dari kerusakan mobil yang Aruna tabrak.
Manakah takdir yang dipilih untuk menyelesaikan persoalannya. Menjadi istri muda Broto sebagai pelunasan hutang atau menjalani One Night Stand dengan Ben agar urusan ganti rugi mobil selesai. Juga cinta Alan pada Aruna yang terhalang status sosial.
Manakah pilihan yang diambil Aruna ? Dengan siapakah Aruna akan menjalani hidup bahagia penuh cinta. Ben atau Alan ? Ikuti terus kisah Aruna
Cerita ini hanya kehaluan author untuk hiburan para pembaca. Silahkan ambil pesan yang baik dan tinggalkan yang buruk.
ig : dtyas_dtyas
fb : dtyas auliah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Ben
"Laki-laki itu bernama Alan, dia mantan kekasih nona Aruna. Sepertinya menemui nona Aruna karena ingin menjalin hubungan kembali, tetapi ditolak. Sempat terjadi adu mulut hingga nona Aruna mendapat tamparan."
Ben menghela nafas setelah mendengarkan hasil penyelidikan orang suruhannya. Memperhatikan foto-foto Aruna saat bertengkar dengan Alan termasuk kejadian penamparan yang dilakukan Alan.
"Anak kecil yang ku lihat sebelumnya, siapa dia?"
"Ini masih saya selidiki pak, nona Aruna tinggal di kost-kostan khusus wanita. Keluarganya tinggal di Bandung, kecuali kakak tirinya masih tinggal di Jakarta dengan istrinya"
"Lanjutkan penyelidikan mu," titah Ben
"Baik pak, saya permisi."
Ben bersandar pada sandaran sofa ruang tamu apartemennya, menatap langit-langit.
'Kalau anak itu adalah putri Aruna apa mungkin dia darah dagingku. Kalau dihitung kisaran umurnya sesuai dengan waktu aku dan dia....' batin Ben
Kembali menatap foto Aruna, "Aruna, kau tinggal sampaikan ingin diapakan si laki-laki pengecut yang berani memukul wanita." Ben bermonolog.
Di waktu yang sama namun tempat yang berbeda, tepatnya di kamar Una. Gadis itu terduduk di ranjang sambil menghapus air matanya. Pipinya agak sedikit memar dengan sudut bibir meninggalkan luka, sepertinya tamparan Alan cukup keras.
'Apa aku pergi aja ya dari Jakarta, ke Bandung aja kali biar dekat kalau nengok Ayah' batin Una.
...____...
Aruna berangkat lebih pagi dari biasanya, pipinya masih agak bengkak dan matanya jelas terlihat kalau semalam dia kurang tidur dan menangis. Sampai kantor lebih dulu dari rekan yang lain, dia enggan jika ada yang berpapasan dengannya dan melihat bentuk wajahnya saat ini.
Menatap pada layar di depannya, sudah mulai mengerjakan transaksi dan pembuatan laporan. Tidak menyadari rekan-rekannya sudah hadir. Abil menghampiri meja Una, "Good morning," sapa Abil, membuat Una menolehkan kepalanya
"Morning, AA Abil anu kasep," jawab Una lalu kembali fokus pada layarnya
"Wait, wajah loe kenapa Na," ujar Abil.
"Enggak apa-apa."
"Pacar loe yang bikin wajah loe begitu ya"
"Mantan."
"Pengecut banget dia."
Drt drt
Aruna membuka ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk
081xxxx : ke ruangan ku sekarang
Aruna : Siapa ya
081xxxx : Ckk, atau mau aku yang ke ruanganmu
Aruna : Kalau ada yang tanya mau apa ke lantai khusus direksi, aku jawab apa
081xxxx : Cepat
Menghela nafas, lalu Una meninggalkan mejanya keluar dari divisi keuangan dan menuju lift.
Ting
Pintu lift terbuka di lantai 10, berjalan menyusuri koridor sambil memandang interior khusus ruangan-ruangan disana. Lantai khusus direksi itu terdapat beberapa ruangan yang pasti sangat luas, untuk para direktur dan CEO. Juga ada 2 ruang briefing yang disekat dengan dinding kaca. Setiap ruangan direksi, diluarnya terdapat kubikel khusus sektetaris. Una menganggukan kepala melewati kubikel sekretaris dari Pak Bian.
Menuju ruangan CEO seakan dia mengenal area ini, tapi saat keluar dari lift ada petunjuk ruangan-ruangan yang ada di lantai tersebut.
"Selamat siang mbak" sapa Una pada wanita yang sudah pasti sekretaris dari Ben. Dengan tubuh tinggi mengenakan suit khusus sekretaris yang pas di badan, rambut dicempol rapih dan polesan make up sederhana.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu."
"Hmm, saya mau bertemu Pak Ben."
"Sudah janji sebelumnya," tanya Nora nama sekretaris tersebut sesuai table name di mejanya. Una menggelengkan kepalanya. "Namanya siapa mbak ? Biar saya sambungkan dengan Pak Ben."
"Aruna"
Nora menekan ext ruangan Ben melalui pesawat telpon di mejanya, tampak Nora mengangguk dan beberapa kali menjawab baik pak, iya pak, dan terakhir siap pak lalu mengakhiri panggilan.
Nora berdiri lalu mempersilahkan Aruna duduk di ruang tunggu yang ada di depan ruangan Ben. Sofa-sofa yang tampak elegan dan sudah pasti sangat nyaman ketika duduk di sana.
"Pak Ben sedang briefing dengan Pak Bian, Mbak Aruna diminta tunggu sebentar disini. Mau minum apa mbak ?"
"Baik mbak, tidak usah repot mbak"
Mendudukan dirinya pada salah satu sofa, mengusir jenuh dengan membuka ponselnya. Berselancar dengan media sosialnya, sampai pintu ruangan Ben terbuka lalu keluarlah Pak Bian. Refleks Aruna berdiri lalu mengangguk pada Bian, Bian sempat tercengang melihat wajah Aruna. Masih jelas bengkak di pipinya, lalu ia tersenyum dan berlalu menuju ruangannya. Saat hendak duduk kembali duduk Nora sudah mempersilahkannya masuk ke ruangan Ben, dengan membukakan pintu.
"Terima kasih mbak," ucap Una, dijawab dengan anggukan dan senyum lalu pintu tersebut di tutup kembali.
Una masih berdiri tidak jauh dari pintu menatap ruangan tersebut, sangat mewah dan cocok untuk seorang petinggi perusahaan.
"Mau terus berdiri disitu ?" Tanya Ben dari meja kerjanya. Pria itu sedang fokus pada berkas-berkas di mejanya.
Una lalu berjalan menuju sofa ruangan Ben saat hendak duduk "Siapa yang menyuruhmu duduk di sana ?"
'What! Lalu aku harus duduk dimana, di lantai. Aneh bener ini orang' batin Una
"Jangan suka memaki apalagi merutuk," sahut Ben
"Tau dari mana kali," lirih Una namun masih terdengar.
"Kemarilah!"
Una berjalan menuju meja kerja Ben. "Wow," ucap Una menuju jendela yang dibelakang Ben. Jendela tersebut sangat besar namun pemandangan keluar sangat menarik bagi Una. Dari lantai 10 dia bisa melihat pemandangan jalan raya yang ramai dengan kendaraan dan gedung-gedung sekitarnya yang tampak lebih tinggi.
Ben menarik tangan Una, hingga gadis itu terduduk pada pangkuan Ben. Hendak berdiri namun Ben menahannya. Wajah Ben sangat dekat dengan wajah Una, harum parfum Ben menyeruak di hidung Una. Pria itu mengenakan kemeja berwarna abu muda, bawahan hitam dan dasi dengan warna lebih gelap dari kemeja yang digunakan Ben. Jas pria itu tersampir pada sandaran kursi Ben.
Pipi Una diusap oleh Ben "Masih sakit kah ?"
"Sudah enggak."
"Kamu mau aku apakan orang yang melakukan ini," ucapnya dengan tangannya masih berada pada pipi Una.
"Apaan sih, emangnya Bapak tau ini kenapa ?"
Ben mengernyitkan dahinya, kedua tangannya kini memeluk pinggang Una.
"Ini tuh kejedot pintu kamar mandi," ucap Una berbohong
"Ck, siapa yang menamparmu, di mana dan kapan juga aku tau," jawab Ben
"Hah, loh Bapak ada di cafe yang sama waktu Kak Alan tampar aku?" Tanya Una
"Tidak."
"Ishhh, terus tau dari mana kali," ujar Una sambil memukul pelan lengan Ben.
"Kamu mau aku apakan laki-laki itu"
"Enggak usah ikut campur ya pak, aku bisa handle kok."
Ben kembali berdecak, "Bisa handle tapi kena tampar."
"Refleks pak, jadi saya enggak bisa ngeles," ujar Una lalu hendak bangkit namun Ben kembali menahannya.
"Diam, jangan gerak-gerak nanti ada yang bangun."
Una berfikir maksud dari Ben, lalu setelah paham dia memukul dada Ben "Lagian ngapain suruh aku duduk di sini, dasar mesum."
"Apa kamu bilang, mesum ?"
"Hehe, maaf pak. Bercanda," jawab Una sambil cengengesan.
"Jangan temui lagi mantanmu."
"Enggak usah disuruh juga aku malas ketemu dia, terus saya diminta kesini ada apa pak, kerjaan saya numpuk nih. Nanti Pak Bara ngomel."
"Aku kangen," ucap Ben mengeratkan pelukannya.
"Ih lepas pak,"
"Serius, aku sayang kamu Na," ucap Ben lalu mencium kening Una.
"Enggak usah bercanda deh."
"Apa aku kelihatan sedang bercanda?" Una menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Ben lalu memainkan dasi Ben.
"Bibir kamu kondisikan, apa sengaja menggoda aku ya," ucap Ben dengan wajah datar.
"Apaan sih, aku balik ke ruangan ya pak."
"Nanti."
"Ishhh, ngapain juga di sini."
"Kamu maunya ngapain."
Lalu telepon di meja Ben berdering,
"Iya"
....
"Hmmm"
....
"Sebentar lagi ada pertemuan dengan klien, nanti sore jangan pulang dulu tunggu kabar dariku," kata Ben
"Hmmm," jawab Una lalu berdiri, saat hendak beranjak Ben menarik tubuh Una dan memeluknya, melepaskannya lalu mengusap pelan bibir Una dengan jarinya.
Una terkejut saat keluar dari ruangan Ben ada Bian disana. Menganggukan kepalanya lalu menyapa "Permisi pak."
"Silahkan nona Aruna," jawab Bian sambil tersenyum.
Perjodohan Arini
Suami absurd
Suami rupa madu mulut racun