Aku hanya sesekali berpapasan dengannya, di lift, di koridor. Ya, dia tampak seperti pria biasa. Hanya sedikit aneh. Wajahnya dingin, tanpa senyum, bahkan nyaris tanpa ekspresi. Walaupun kuakui sebenarnya dia sangat tampan, dengan rambut cokelat berantakan dan mata birunya. Aku baru melihatnya beberapa hari ini. Sepertinya dia baru pindah ke gedung apartemen ini. Dan sepertinya, dia tinggal tepat di samping flatku. Kupikir dia semacam nerd atau apalah itu - Kirana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady Magnifica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Park 23
GAS WORKS PARK, NORTHLAKE, SEATTLE.
"Hei!"
Kirana menepuk bahu Sandra yang tengah duduk di kursi panjang sembari menatap lurus ke arah danau dengan air berwarna biru yang terbentang di hadapannya.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Kirana sembari duduk di samping Sandra dan memeriksa wajahnya yang terlihat sendu.
"Aku kesal sekali." Sandra mencebikkan bibirnya.
"What now (ada apa lagi sekarang)?"
Sandra menghela nafas dalam - dalam. "Ini tentang Alex."
Kirana memutar kedua bola matanya. "Kenapa dia?"
"Aku rasa dia hanya menganggapku sebagai teman." Sandra menoleh ke arah Kirana. "Dan aku benci terjebak di zona pertemanan!"
"Hei, kau hanya bertemu dengannya beberapa kali. Don't be so desperate like this. Relax (jangan putus asa seperti ini. Santai saja)."
Sandra kembali menghela nafas. "Menurutmu aku terlalu berlebihan?"
Kirana mengangguk dengan mantap. Membuat Sandra mendesis dan memukul puncak kepala gadis itu pelan.
"Aku lebih dipusingkan dengan masalah pekerjaan." Kirana menatap lurus ke depan. "Bagaimana kalau Keemo menutup tokonya untuk selamanya?"
Sandra menggaruk kepalanya. Kemudian dia meringis. "Itulah salah satu alasan kenapa aku mau Alex jadi pacarku. Selain sangat tampan, dia juga kaya raya. Aku yakin nantinya aku tidak perlu susah payah bekerja menjadi pelayan toko."
Kini giliran Kirana yang mendesis dan memukul puncak kepala Sandra.
"Hei, sebagai wanita kita harus cerdas, Kira," protes Sandra.
"Kalau begitu cari saja pengusaha kaya raya tua hidung belang dan ambil uangnya sebanyak - banyaknya."
"Kenapa harus pengusaha tua?"
"Karena mereka mudah untuk ditemukan." Kirana terbahak. "Kau mau mencari pengusaha muda, tampan dan kaya raya? Mimpi saja. Lihat Alex, apa kau pikir tidak banyak wanita yang mengantri untuk menjadi pacarnya? Wake up, Silly (bangun, Bodoh)!"
Sandra mencebik. "Kita adalah dua gadis menyedihkan dengan masa depan yang suram."
"Yep .. benar - benar suram."
***
RUMAH BORDIL THE DEVIL'S TRIANGLE, SEATTLE.
Matthew menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Dilihatnya beberapa pasangan lalu lalang naik turun tangga, dari dan menuju ke lantai dua.
Seorang wanita cantik dengan pakaian minim yang hampir membuat bagian - bagian pribadi miliknya terlihat begitu saja, menghampiri dengan memasang wajah genitnya.
"Hei, Tampan." Si wanita mengelus dadanya dan membuat pola - pola tak jelas dengan jarinya di sana. "I'm available tonight (aku bisa dipakai malam ini).
"Okay." Matthew menatap wanita itu tajam. Berpura - pura tertarik padanya.
"Kau sudah mengurus registrasinya di depan?"
"Of course, Sweety (tentu saja, Manis)."
"Tipsku cukup besar, asal kau tahu." Si Wanita mengedipkan sebelah matanya pada Matthew.
"Aku akan memberikan tips yang besar padamu."
Si Wanita terlonjak senang. Kemudian menggandeng tangan Matthew menaiki tangga menuju lantai dua.
Dia menarik dasi setengah lepas yang menggantung di kerah kemeja Matthew, dan menuntun pria itu bak kerbau yang dicocok hidungnya, masuk ke dalam sebuah kamar.
Dia mendorong dada Matthew pelan hingga terduduk di sebuah sofa empuk. Kemudian dengan gerakan erotis dia menaiki paha Matthew dan mulai melepaskan kancing baju yang membungkus tubuh kokohnya.
"Hei, hei, kau buru - buru sekali, Nona."
Matthew menahan kedua bahu wanita itu dan mendorongnya pelan. "Aku lebih suka kita mengobrol terlebih dahulu."
Si wanita merengut. Namun perlahan dia turun dari pangkuan Matthew dan duduk di sampingnya.
"Cigarette?" tawar Matthew seraya menyodorkan satu bungkus rokok padanya.
Matthew buru - buru menyalakan sebatang rokok yang kini telah berpindah ke bibir merah wanita itu.
"Siapa namamu?" tanya Matthew sembari menyalakan rokoknya sendiri.
"Soledad."
"Okay, Soledad, aku akan memberimu tips yang banyak kalau kau mau menjawab beberapa pertanyaan dariku."
Wanita yang dipanggil dengan nama Soledad itu terkekeh. "Is it some kind of game (apa ini semacam permainan)?"
"Mungkin."
"Baiklah ...." Soledad menyilangkan kakinya. Lalu menghisap rokoknya dalam - dalam. "Untuk pria setampan kau, aku akan ikuti permainanmu."
Matthew mengeluarkan dua lembar seratus dollar dan menyelipkannya di balik dada Soledad. Membuat wanita itu kegirangan.
"Aku ingin tahu tentang penembakan yang terjadi di sini beberapa waktu yang lalu."
Soledad terlihat kaget. "Apa yang ingin kau tahu?"
"Aku ingin tahu siapa yang melakukannya."
"Semua orang tahu kalau Morales yang melakukannya. Dia rival Mr. Malvori."
"Ya, aku tahu .. tapi aku ingin tahu siapa yang Morales suruh. Apa kau melihatnya di malam penembakan itu terjadi?"
Soledad mengelus dagunya. Dia berpikir sejenak mencoba mengingat sesuatu.
"Penembakan terjadi di ruang belakang. Itu ruang pribadi Mr. Malvori, dekat dengan ruang private yang diisi oleh gadis - gadis baru," ujar Soledad. "Tapi aku melihat seseorang datang melewati lobi dan diantar oleh dua orang pengawal Mr. Malvori."
"Hmmm ...." Matthew menggumam. "Kau ingat seperti apa wajahnya?"
Soledad tak langsung menjawab. Dia memberi tanda dengan menunjuk dadanya, agar Matthew menambahkan tips lagi untuknya.
Matthew kembali mengambil dua lembar seratus dollar dari dompetnya. Soledad dengan cekatan menyambarnya.
"Tubuhnya atletis, tinggi, rambutnya kecoklatan, matanya .. emm .. biru. Dan wajahnya, sangat dingin. Walaupun aku akui dia sangat tampan."
Matthew mengangguk - angguk.
"Apa kau sedang melakukan investigasi?" seloroh Soledad seraya bergelanyut manja di bahu Matthew.
"Nah (tidak)."
Soledad terbahak. "Whatever (terserahlah), yang penting kau memberiku tips yang besar."
"Okay, aku rasa aku sudah selesai menanyaimu." Matthew mencecak rokoknya ke dalam asbak. "Bagaimana kalau kita minum - minum dan mengobrol sebentar, malam ini aku tidak punya banyak waktu," ujarnya seraya melirik jam di pergelangan tangannya.
"Kau tidak ingin bercin ta denganku terlebih dahulu?" tanya Soledad heran. "It will only take few minutes (hanya memakan waktu beberapa menit saja).
"Mungkin lain kali. Aku bukan tipe pria yang bercin ta dengan singkat." Matthew menyunggingkan senyum miringnya.
"Ah, sayang sekali."
Soledad bangkit dari duduknya dan menggandeng lengan Matthew keluar dari dalam kamar.
***
"Semuanya menjadi 70 bucks 25 cents."
Si kasir menyebutkan jumlah uang yang harus dibayarkan Kirana untuk bahan - bahan makanan yang dibelinya.
"It's on me (aku yang bayar)."
Kirana yang tengah sibuk mencari uang pas di dompetnya dikejutkan oleh suara seseorang di belakangnya.
"Hayden?" ucapnya.
Hayden tersenyum. Dia menyerahkan dua lembar pecahan lima puluhan dolar pada kasir ketika wanita paruh baya berbadan tambun itu menyebutkan total jumlah yang harus dibayarnya. Termasuk beberapa botol bir yang dibawanya.
"You don't have to do that (tidak usah repot - repot)." Kirana menyela.
"It's nothing (bukan apa - apa)." Hayden menyahut. "Biar aku bawakan."
Hayden mengambil satu tote bag yang berisi barang belanjaan Kirana dan juga botol - botol birnya.
Kirana tak sempat mengatakan apapun ketika Hayden melangkah keluar dari pintu swalayan.
"Hayden, thank you."
Kirana mensejajarkan langkahnya di samping Hayden.
"Aku merasa tidak enak," ujar Kirana.
Hayden menoleh. "Hei, that's what neighbors are for, okay (itulah gunanya tetangga, okay)?"
Kirana tersenyum mendengar perkataan Hayden.
Sidewalk tempat mereka berjalan di sekitar area Georgetown tampak lengang. Kirana berjalan mengikuti langkah panjang Hayden.
"Bagaimana makan siangnya dengan temanmu?" tanya Hayden memecah keheningan di antara mereka.
"Huh?"
"Was it fun (menyenangkan)?"
"Emm .. yeah, kind-of (semacam itu)."
"Good, happy for you (bagus, aku senang untukmu)."
Kirana mengerenyitkan keningnya. "What do you mean by that (maksudnya bagaimana)?"
"Yeah, makan siang dengan pria .. emm .. maksudku teman lama, pasti membuatmu senang .. emm .. maksudku .. menyenangkan."
"Yeah? I .. guess .. so (aku .. rasa .. begitu)," sahut Kirana, keheranan.
"Okay."
Kirana mengedikkan bahunya. Dia berusaha tidak terlalu ambil pusing dengan perkataan Hayden.
Keduanya kembali melangkahkan kaki dalam diam.
Mereka tidak menyadari, ada seseorang di dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di seberang jalan, memperhatikan mereka dengan seringai yang tersungging di bibirnya.
***
***
intinya cerita kak lady selalu T O P B A N G E T👍👍