Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Dendam di Atas Lumpur
Cengkeraman tangan Bagas pada pergelangan kaki Kirana terasa sangat dingin dan licin karena darah yang bercampur dengan lumpur muara. Kirana terjatuh dengan wajah nyaris menghantam akar bakau yang tajam, sementara dadanya sesak oleh rasa takut yang luar biasa. Ia melihat wajah Bagas yang sudah hancur akibat ledakan tadi, kini dihiasi oleh seringai iblis yang sangat mengerikan di bawah cahaya bulan yang pucat.
"Kamu pikir bisa lari setelah menghancurkan segalanya, Gadis Sialan!" geram Bagas dengan suara yang parau dan penuh dengan kebencian.
Kirana meronta dengan sisa tenaga yang ia miliki, kakinya menendang liar ke arah dada Bagas yang terluka parah. Lumpur hitam menciprat ke mana-mana, mengotori wajah dan seragam sekolahnya yang sudah tidak lagi berbentuk rapi. Ia mencari-cari benda apa pun di sekitarnya yang bisa digunakan untuk membela diri dari serangan maut pria yang sudah kehilangan akal sehatnya tersebut.
"Lepaskan saya! Anda sudah kalah, Bagas! Jangan tambah lagi dosa Anda dengan membunuh saya!" teriak Kirana sambil terus berusaha melepaskan diri.
Bagas justru semakin mempererat tarikannya, ia mengangkat belati kecilnya tinggi-tinggi dengan tangan yang gemetar hebat namun tetap bertenaga. Mata pisaunya berkilat tajam, memantulkan sisa-sisa kobaran api dari dermaga yang masih menyala di kejauhan. Kirana memejamkan matanya, pasrah akan takdir yang seolah ingin menjemputnya di tempat yang sangat sunyi dan menyeramkan ini.
"Dosa tidak lagi berarti bagi orang yang sudah kehilangan segalanya seperti saya!" sahut Bagas sambil mengarahkan pisaunya tepat ke arah dada Kirana.
Tiba-tiba, sebuah suara desingan peluru membelah keheningan malam dan mengenai bahu Bagas hingga belati itu terlepas dari genggamannya. Bagas melolong kesakitan, tubuhnya terjungkal ke belakang dan masuk ke dalam genangan air sungai yang cukup dalam. Kirana segera bangkit berdiri dengan napas yang memburu sangat kencang, ia melihat ke arah datangnya peluru tersebut dengan penuh harapan.
"Tuan Arkan? Apakah itu Anda?" tanya Kirana dengan suara yang sangat bergetar karena rasa haru.
Arkananta muncul dari balik kabut asap yang masih tebal, tubuhnya terlihat sangat lemas dan kemeja putihnya sudah berubah menjadi merah pekat karena darah. Ia memegang sebuah pistol dengan kedua tangannya yang masih bergetar, tatapannya tetap tajam meskipun matanya terlihat sangat sayu. Indra berdiri di belakangnya, membantu menopang tubuh Arkananta yang tampaknya sudah mencapai batas kemampuannya untuk bertahan.
"Jangan mendekat ke arah air, Kirana, tetaplah berada di tempatmu sekarang juga!" perintah Arkananta dengan nada suara yang tetap berwibawa meski terdengar sangat lemah.
Indra segera berlari mendekati Kirana untuk memastikan gadis itu tidak mengalami luka yang membahayakan nyawanya. Sementara itu, permukaan air sungai yang tadi tenang tiba-tiba bergejolak hebat saat Bagas mencoba bangkit kembali dengan sisa tenaganya yang terakhir. Bagas menatap mereka bertiga dengan pandangan yang penuh dengan kegelapan, seolah ia sudah benar-benar dirasuki oleh kekuatan hitam yang sangat jahat.
"Kalian semua akan ikut bersama saya ke dasar neraka malam ini juga!" teriak Bagas sambil menarik sebuah tuas kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya.
Suara alarm peringatan yang sangat nyaring tiba-tiba terdengar dari arah hutan bakau, menandakan ada sesuatu yang jauh lebih besar yang akan terjadi. Arkananta segera menyadari bahwa Bagas telah mengaktifkan sistem penghancur diri pada gudang rahasia yang terkubur di bawah muara ini. Tanah yang mereka pijak mulai bergetar hebat, retakan-retakan besar muncul dan mulai menelan akar-akar pohon bakau ke dalam perut bumi.
"Cepat lari ke arah bukit! Tempat ini akan segera runtuh sepenuhnya!" teriak Indra sambil menarik tangan Kirana dengan sangat kuat.
Kirana menolak untuk lari sebelum Arkananta ikut bersamanya, ia memegang tangan Arkananta yang terasa sangat dingin dan mulai membiru. Arkananta tersenyum tipis, sebuah senyuman yang terlihat sangat tulus namun menyimpan sebuah perpisahan yang sangat menyayat hati Kirana. Ia melepaskan genggaman tangan Kirana dan mendorong gadis itu ke arah Indra agar mereka bisa segera menyelamatkan diri dari bencana tersebut.
"Pergilah, Kirana, bawa buku catatan itu dan ungkapkan kebenarannya kepada dunia," bisik Arkananta dengan suara yang sangat lirih dan lembut.
Kirana menjerit sekuat-tenaga saat melihat Arkananta justru melangkah menuju ke arah Bagas yang sedang tertawa kegirangan di tengah reruntuhan. Tanah di bawah kaki Arkananta amblas, menciptakan lubang raksasa yang langsung menelan tubuh sang bos muda beserta musuh bebuyutannya tersebut. Ledakan susulan yang sangat dahsyat terjadi di bawah permukaan tanah, menyemburkan lumpur dan api yang membubung tinggi ke arah langit malam.
"Tuan Arkaaaan!" jerit Kirana hingga suaranya menghilang ditelan oleh gemuruh ledakan yang sangat memekakkan telinga.
Indra terus menarik Kirana menjauh dari area yang runtuh, mengabaikan tangisan dan rontaan gadis itu yang ingin kembali ke tempat kejadian. Mereka sampai di puncak bukit jati tepat saat seluruh muara tersebut tenggelam dan berubah menjadi danau lumpur yang sangat luas dan sangat sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat dari sana, hanya sisa-sisa asap hitam yang menari-nari ditiup oleh angin malam yang sangat dingin.
Kirana jatuh terduduk di atas rumput yang basah, ia memeluk buku catatan ibunya dengan sangat erat seolah benda itu adalah bagian dari jiwa Arkananta. Ia menatap ke bawah, ke arah danau lumpur yang kini telah menjadi kuburan bagi pria yang baru saja ia sadari adalah pemilik hatinya yang sebenarnya. Namun, di tengah kesunyian tersebut, sebuah benda berkilau di atas lumpur menarik perhatian mata Kirana yang masih basah oleh air mata.
Cincin perak milik ibunya yang tadi dibawa oleh Arkananta terlihat tersangkut di atas sebuah dahan pohon yang terapung di tengah danau lumpur. Kirana bangkit berdiri dengan tatapan mata yang tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin dan penuh dengan tekad yang membara untuk melakukan pembalasan. Ia menyadari bahwa perjuangannya baru saja dimulai, dan siapa pun yang terlibat dalam rencana jahat ini harus membayar semuanya dengan harga yang sangat mahal.