Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Dia cucuku
Malam itu, suasana rumah keluarga Prasetya terasa hangat namun tegang. Meja makan besar dipenuhi aroma masakan yang menggugah, namun hanya Mawar yang terlihat benar-benar menikmati suasananya. Perempuan itu terus menatap Ethan dengan senyum bahagia, sesekali menyuapi bocah kecil itu dengan lembut.
“Anak ini … matanya mirip sekali,” bisiknya pada Kinara yang duduk di seberangnya.
Kinara hanya menunduk, jari-jarinya menggenggam erat sendok. Ia merasa canggung, apalagi sejak tiba di rumah itu Arvino nyaris tak mengalihkan pandangan darinya.
Setelah makan malam selesai, pelayan mulai membereskan meja. Arvino menatap Kinara lama, lalu berkata pelan, “Ikut aku ke ruang keluarga. Ada hal yang harus kamu tahu.”
Kinara mengangguk ragu, mengikuti langkah pria itu. Di ruang keluarga yang dipenuhi foto-foto tua, Arvino berdiri membelakanginya sejenak sebelum akhirnya menatap langsung ke arah perempuan itu.
“Aku pria itu, Kinara,” katanya akhirnya, suara berat namun pasti. “Pria yang kamu temui enam tahun lalu.”
Kinara membeku di tempatnya. Napasnya tersangkut di tenggorokan, matanya membulat tak percaya. “Kamu bohong … sudah banyak yang mencoba bilang hal yang sama, Aku nggak mau tertipu lagi.”
Arvino tidak membalas, ia hanya memberi isyarat pada pelayan. Tak lama kemudian, pelayan datang membawa sebuah amplop cokelat besar.
“Ini hasil tes DNA yang kulakukan,” ujarnya sambil menyerahkannya langsung ke tangan Kinara. Dengan tangan bergetar, Kinara membuka amplop itu. Matanya menelusuri lembaran hasil laboratorium, dan ketika melihat nama Ethan disandingkan dengan nama Arvino Prasetya dan hasil “99,99% cocok”air matanya langsung jatuh tanpa bisa ditahan.
“Jadi … Anda benar-benar Daddy Ethan?” suaranya nyaris tak terdengar. Arvino hanya mengangguk, mendekat lalu berlutut di hadapan mereka berdua.
“Selama ini aku mencarimu. Dan kalung yang Ethan pakai … bukan sekadar perhiasan, itu kunci.”
Kinara menatap kalung di leher anaknya, kalung kecil berbentuk puzzle itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu.
“Itu kunci untuk membuka brankas di ruang bawah,” lanjut Arvino pelan. “Brankas yang hanya bisa dibuka kalau potongan kuncinya lengkap. Dan satu-satunya potongan itu … ada di kalung Ethan.”
Kinara tertegun, menatap Arvino penuh campuran emosi marah, sedih, dan rindu yang menyesak. Namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, pelayan berlari tergesa masuk.
“Tuan Muda! Nyonya! Tuan Besar … Tuan Besar sudah sadar!”
Suasana mendadak hening. Mawar menutup mulutnya, nyaris tak percaya. “Kamu bilang … Ayah sudah...”
Pelayan mengangguk cepat. “Iya, Nyonya. Beliau membuka mata barusan.”
Arvino dan Kinara saling berpandangan. Wajah mereka sama-sama pucat. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka bergegas menuju kamar utama. Dan di sana, di atas ranjang besar yang selama enam tahun hanya diisi keheningan, Tuan Besar Prasetya menatap mereka dengan mata yang kini terbuka penuh menyimpan rahasia yang selama ini terkubur bersama tubuhnya yang tak sadarkan diri.
Begitu pintu kamar besar itu terbuka, udara dingin bercampur aroma obat langsung menyambut mereka. Semua orang berdiri terpaku. Di ranjang besar berlapis selimut putih, Tuan Besar Prasetya yang selama enam tahun tak pernah membuka mata kini menatap ke arah mereka dengan pandangan tajam namun lemah.
“Ka ... kakek…” suara Arvino bergetar, langkahnya maju beberapa tapak sebelum benar-benar mendekat ke sisi ranjang. Pria tua itu berusaha tersenyum, tangannya yang kurus bergetar saat mencoba meraih tangan cucunya.
“Arvino … kamu akhirnya pulang.”
Mawar langsung menangis pelan, menutupi mulutnya dengan tangan.
“Ya Tuhan … Ayah benar-benar sadar,” ucapnya lirih sambil menatap suaminya tak percaya. Kinara berdiri di sisi lain, masih memeluk Ethan yang bersembunyi di balik tubuhnya, takut melihat begitu banyak orang. Namun, pandangan Tuan Besar tiba-tiba beralih ke arah mereka berdua. Sorot matanya tajam, seperti sedang menelusuri sesuatu yang lama ia cari.
“Itu…” suaranya pelan, nyaris berbisik, “anak siapa?”
Semua mata langsung tertuju pada Kinara. Arvino menatap kakeknya dengan gugup tapi tegas. “Dia … Ethan, Kek. Anakku cucu Kakek.”
Suasana kamar mendadak senyap. Pelayan yang berdiri di sudut ruangan menunduk, tak berani menatap siapa pun. Tuan Besar terdiam lama. Matanya bergerak ke arah Ethan dan bocah kecil itu, tanpa sadar, menatap balik. Ada sesuatu di sana entah apa, tapi wajah pria tua itu perlahan melunak.
“Dekatkan dia padaku,” katanya akhirnya.
Kinara ragu, namun Arvino menatapnya menenangkan. Ia mengangguk pelan, lalu membawa Ethan ke sisi ranjang. Bocah itu menatap kakek tua itu dengan mata besar dan polosnya. Tuan Besar tersenyum samar, jemarinya menyentuh pipi Ethan pelan. “Matanya … seperti ibunya. Tapi garis wajahnya...” ia berhenti sejenak, menatap Arvino dalam-dalam, “jelas keturunan Prasetya.”
Kinara menggigit bibirnya, air matanya menetes tanpa ia sadari. Namun sebelum suasana bisa mereda, tiba-tiba detak monitor jantung di sisi ranjang berbunyi cepat,
semua orang panik.
“Dokter Zhao!” teriak Mawar.
Kinara langsung sigap, refleks mengambil alat pemeriksaan yang ada di meja. Namun di tengah kepanikan itu, Tuan Besar berusaha berbicara, suaranya lemah tapi tegas.
“Vin … jaga … dia … dan anak itu. Jangan biarkan mereka disentuh … siapa pun…” Lalu napasnya melemah, tangannya yang menggenggam jari Arvino perlahan terlepas. Monitor kembali berbunyi beep panjang.
“Ayah!” teriak Mawar histeris. Kinara menunduk cepat, mencoba memberikan pertolongan medis, sepertinya belum terlambat, Tuan Besar hanya syok, Kinara tahu itu.
Arvino berdiri mematung, air matanya jatuh tanpa suara. Di tangan kirinya, ia masih menggenggam erat tangan kakeknya yang kini dingin.
Namun, Kinara yang refleks bergerak cepat. Ia segera menurunkan Ethan dari sisi ranjang.
“Sayang, berdiri di sini dulu, jangan bergerak ya,” katanya tegas tapi lembut.
Dia meraih tas medisnya yang tadi ia bawa dari lantai bawah, lalu membuka kotak kecil berisi ampul transparan dan jarum suntik khusus. Tangannya bergerak cekatan meski wajahnya pucat.
“Semua menjauh,” katanya datar namun mantap. “Aku akan coba stabilkan detaknya lagi.”
Arvino spontan menahan bahunya. “Kinara, kakek sudah...”
“Belum,” potong Kinara cepat. “Aku masih bisa!”
Suasana kamar berubah sunyi. Hanya suara alat medis dan helaan napas terdengar. Kinara menekan plunger suntikan itu perlahan ke pembuluh di lengan Tuan Besar Prasetya, memijat pelan untuk memastikan cairan masuk sempurna. Beberapa detik hening lalu bunyi monitor kembali berbunyi pelan, semua mata langsung menatap layar alat itu detak jantungnya kembali.
Arvino terkejut, hampir tak percaya. “Kau ... kau berhasil?”
Kinara menarik napas panjang, menatap monitor yang mulai stabil. “Aku mencampur sendiri dosis adrenalin dengan obat anti-koagulasi ringan. Berisiko, tapi cukup untuk menstimulasi jantungnya kembali,” katanya, suaranya bergetar antara lega dan lelah.
"Tuan Besar harus dirawat di rumah sakit, di sana akan ada banyak dokter yang memeriksanya setiap hari," kata Kinara.
Mawar yang tadi menangis kini memeluk Arvino dengan gemetar.
“Ya Tuhan … kalau bukan karena Dokter Zhao, Ayah mungkin..."
Namun Kinara menatap tubuh tua di depannya dengan ekspresi rumit. Ia menyentuh pergelangan tangan Tuan Besar, memeriksa denyutnya.
“Beliau masih lemah. Tapi … sadar, beliau masih mendengar kita.”
Dan benar saja, bibir Tuan Besar bergerak pelan.
“Ka … kau … penyelamat keluarga ini,” katanya nyaris berbisik, lalu menatap Arvino. “Jagalah … dia … dan anak itu.”
Kinara menunduk, tak mampu berkata apa-apa. Arvino menatapnya lama sorot matanya penuh campuran rasa kagum dan keharuan. Dalam hati ia tahu, bukan hanya kakeknya yang baru saja diselamatkan malam itu tapi juga ikatan yang selama ini terputus di antara mereka.
"Aku akan menikahinya segera, Kakek!" kata itu mantap keluar dari mulut Arvino membuat Kinara menoleh cepat, air mata menetes pelan. Sudah lama sejak enam tahun akhirnya dia bisa memberikan gelar ayah untuk anaknya.
tp lbih bgus skr lgsg d pecat
udah salah belaga playing victim lagi
Zaki.... segera urus semua berkas pernikahan Arvino dan Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan Arvino harus pantau terus Kinara dan Ethan di manapun mereka berada . karena Savira dan Andrian selalu mengikuti mereka dan mencari celah untuk menghasut Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
up LG Thor 😍