Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI PULANG
Adza menatap wajah suaminya yang sudah melepaskan ciumannya. Dia tersenyum walau sesak napas, sebelum akhirnya memejamkan mata karena dia malu. Masih terasa bagaimana Azka mengecup dahinya dengan lembut tanpa batasan antara masker dan bibir, itu semua dilakukan oleh Azka secara nyata seolah memberikan ucapan terima kasih dengan tindakan.
Malam itu dia tidur sambil memeluk Adza, mereka menikmati malam yang terasa tenang dan hangat di kota Madinah yang memang sangat tenang jika sudah malam hari. Seluruh kelelahan mereka hari ini terasa hilang setelah melakukan apa yang tadi mereka kerjakan. Adza memejamkan matanya dan benar-benar seperti mendapatkan obat tidur hingga dia tidur sampai subuh menjelang shalat tahajud tanpa ada terbangun sama sekali.
***
Seharian itu mereka habiskan dengan mengelilingi beberapa tempat-tempat bersejarah dan tak terasa sudah seminggu adza dan keluarga Firdaus di sini. Malam ini dia kembali packing dan merapikan kopernya sementara Azka membantunya.
Tak ada satupun yang mereka bicarakan, seolah sama-sama tidak mau berpisah padahal baru saja bertemu. Tentu saja yang namanya menikah adalah berharap untuk hidup dan tinggal bersama tapi mereka tidak bisa sebab ini bukan negara mereka dan Azka ada kuliah di sini. Hanya dalam rentang setengah tahun maka mereka sudah kembali bertemu karena harus melakukan LDR selama itu.
"Sudah semuanya, lebih baik tidur karena besok pagi kamu sudah melakukan perjalanan pulang." Azka berkata membuat adza menatap suaminya itu.
"Perjalanannya pagi?"
Azka mengangguk. "Aku sengaja memesan rute perjalanan pagi agar sampai di sana kamu bisa istirahat. Dua hari lagi akan ada ujian terakhir jadi lebih baik kamu istirahat sehari agar bisa fokus pada ujian. Kalau sudah sampai nanti jangan lupa kabari," ujarnya membuat adza menghela napas dan mengangguk.
Mereka memutuskan untuk membersihkan diri dan adza sudah menyiapkan pakaian yang akan dia pakai besok sementara kopernya sudah dia letakkan di dekat pintu. Wajahnya terlihat agak murung tapi dia juga tahu kalau akan tiba saatnya dia berpisah sebentar seperti ini dengan suaminya dan bertemu lagi nanti.
Azka datang ke atas ranjang dan melihatnya yang sedang duduk. Pria itu mematikan lampu utama, lalu masuk ke dalam selimut dan menatap wajah adza yang sedang menunduk.
"Sedih besok mau pulang?"
Adza mengangguk lalu menghela napas. "Tetapi mau tak mau aku harus tetap pulang, aku harus mengambil raport dan juga menyelesaikan ujian terakhir sebelum masuk universitas. Setengah tahun kedepan baru kita bertemu lagi," gumamnya membuat Azka tersenyum dan mengambil tangan adza untuk digenggam.
"Itu tidak lama kalau kita menghabiskannya dengan kesibukan yang kita punya. Aku akan mengusahakan setiap malam menghubungimu agar kamu tidak kesepian. Tinggal di apartemen pasti sangat sepi, 'kan?" ujarnya seraya menatap wajah adza yang cantik dan teduh dihadapannya.
"Selama ini aku juga kesepian, aku memesan kamar khusus bersama intan yang kukatakan menjadi calon istri dari Ustadz Farel. Kami hanya tinggal di kamar itu berdua dan Kyai mengerti keadaanku karena aku tidak mau bergabung dengan yang lain sebab aku terpuruk di dalam hatiku sendiri. Aku memang suka tempat-tempat yang sunyi, aku sudah tidak sama lagi dengan adza yang dulu, sepertinya tempat ramai yang paling kusuka adalah tempat ini," gumamnya membuat Azka mengusap kepalanya.
"Nanti kalau aku sudah pulang kamu tidak akan tinggal sendiri dan kesepian lagi," balasnya membuat adza tersenyum dan mengangguk.
"Aku juga tidak mau berpisah denganmu kalau kamu bertanya hal itu di dalam hatimu. Aku ingin kamu tetap di sini dan bersamaku tapi aku tidak bisa janji apakah aku akan meluangkan waktu denganmu atau tidak karena setelah ini aku akan sangat sibuk. Jadi lebih baik kamu pulang agar kita bisa sama-sama konsentrasi dalam pendidikan. Walaupun aku lulus tahun ini dan kamu baru memulai semester pertama, tapi aku akan bertemu dengan kamu setelah semester ini selesai."
Adza tersenyum dan bergerak menyandar di dada Azka. "Janji, ya? Kita benar-benar harus bertemu setengah tahun ke depan."
Azka suka ketika adza melakukan pendekatan lebih dulu dengannya, itu artinya dia bisa membuat adza nyaman dengannya dan tidak tertekan sama sekali. Membalas pelukan istrinya itu, Azka mengangguk dan tersenyum.
"InsyaAllah, kita tidak bisa berjanji tanpa menyebut InsyaAllah. Karena segala kehendak dan upaya kita harus melibatkan Allah supaya semuanya benar-benar terjadi." Azka berkata membuat adza menghela napas dan tersenyum pelan.
"Istirahatlah, sudah terlalu malam."
Tak ada lagi yang harus mereka bicarakan dan Adza juga tidak mau semakin banyak berbicara karena ini adalah malam terakhir dia dan Azka tidur bersama. Dia memejamkan matanya dan membiarkan pria itu memeluknya malam ini untuk yang terakhir kalinya sebelum dia pulang.
Mereka baru bisa kembali melakukan tidur berpelukan seperti ini setengah tahun lagi, makanya dia tahu kalau ini adalah kesempatan yang harus dia gunakan hingga dia memutuskan untuk langsung tidur tanpa banyak bicara.
"Ya Allah, jagakan dia setelah kembali nanti ke Tanah air kami, doa hamba masih sama karena sekarang hamba belum bisa menyertainya di sana." Azka bergumam sambil mengusap kepala Adza yang masih dilapisi hijab.
Dia menatap wajah istrinya yang terlihat tenang itu, sebelum kemudian dia mulai tidur karena tahu kalau dia harus bangun besok untuk mengurus semua penerbangan istri dan keluarganya.
***
Adza menatap keluarga Kyai Firdaus yang sudah berpamitan dengan Azka. Saat ini mereka sudah ada di bandara internasional Mekkah dan akan mulai melakukan penerbangan pulang ke negara mereka.
Saat adza mendekat dan memeluk Azka lagi, pria itu membisikkan beberapa kata yang membuat adza tersenyum dan mengurai pelukan mereka. Dia separuh berjinjit karena tubuh Azka lebih tinggi 20 centi daripada dirinya yang hanya sekitar 155 centi.
Keluarga Firdaus yang sudah tahu kalau hubungan mereka dekat hanya bisa tersenyum satu sama lain melihat Adza dan Azka yang berpelukan. Lagi pula mereka sudah sah jadi tidak ada masalah apapun kalau mereka mau berpelukan seperti ini.
Mereka semua tersenyum kecuali Faiz, tentu saja. Walaupun dia tahu kalau Adza dan Azka terlihat cukup mesra dan serasi, tapi dia tidak akan mau mengakuinya.
"Aku ada sesuatu yang mau aku berikan padamu," ujarnya lalu mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya pada Adza.
Gadis itu melihatnya lalu tersenyum dan mengambil kartu itu.
"Karena kita berpisah jadi aku hanya bisa memberikan nafkah dalam bentuk transfer ke dalam kartu itu setiap bulan. Aku tahu penghasilan kamu bisa lebih banyak setelah ini, tapi aku akan tetap menjalankan kodratku karena aku ingin menafkahi istriku." Azka berkata membuat adza tersenyum dan mengangguk semangat.
"Sebanyak-banyaknya uang wanita dia akan tetap senang kalau dia dinafkahi. Terima kasih, Gus," ujarnya tulus membuat Azka tersenyum.
"Isinya mungkin tidak banyak tapi jangan sungkan untuk membeli apapun. Kalau habis atau kalau tidak cukup kamu bisa menghubungi aku, oke?" Adza tersenyum dan mengangguk.
Mereka berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya adza harus masuk ke dalam pesawat karena sudah waktunya mereka meninggalkan ruangan tunggu.
Sebenarnya perpisahan ini cukup menyedihkan tapi karena Adza tidak mau membuat Azka merasa bersalah, dia akhirnya hanya bisa tersenyum dan melambaikan tangannya dengan wajah riang pada Azka, suaminya yang terlihat semakin menjauh.
Ayo! Jangan sedih lagi. Cepat atau lambat bahagia sedang menantimu di depan.
mungkin/Joyful/