Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAWARAN ADZADINA
"Besok sudah harus pergi dari pesantren, besok hari pamitan dan bahkan beberapa santri sudah ada yang keluar hari ini."
"Aku sedang bersiap-siap untuk mempacking semua pakaian dan perlengkapanku agar aku bisa meninggalkan kamar ini."
Adza berkata seraya menatap wajah Gus Azka yang ada di layar laptopnya.
Walaupun pria itu menggunakan masker mereka melakukan panggilan video call, apalagi adza sudah diizinkan untuk membawa laptopnya ke dalam kamar ini sejak dia menikah dengan Azka.
"Kenapa tidak tinggal di kamarku dulu? Kenapa harus langsung ke apartemen?"
adza tersenyum seraya melipat pakaiannya sementara intan tidak ada di kamar saat ini.
Sahabatnya itu sedang ada di luar dan bicara dengan orang tuanya yang datang untuk menerima raportnya tadi. Mereka ada di ruangan Ustadz Farel karena mereka akan membahas tentang pernikahan.
Makanya intan belum kembali sejak acara pembagian raport selesai.
"Aku sungkan saja tinggal disini, Gus," balasnya pelan membuat Azka mengerutkan dahinya.
"Bagaimanapun juga, Gus tidak ada dan aku sungkan. Nanti malah merepotkan mereka, jadinya aku lebih nyaman di apartemen." Azka diam di layar laptop, menatap teduh wajah istrinya yang begitu jauh saat ini.
"Besok jangan lupa ambil paketannya. Masih di pesantren besok, 'kan? Aku kirimnya ke alamat pesantren, kirimkan juga alamat apartemen kamu, biar kalau aku mau kirim sesuatu ke kamu jadi gampang," ujar Azka membuat adza tersenyum.
"Nanti aku kirim alamat pastinya, sekarang belum begitu hapal."
Azka mengangguk dan tersenyum pada adza yang menatapnya.
"Kamu rindu aku tidak?" tanyanya tiba-tiba membuat adza menatapnya kaget.
Untuk sesaat mereka diam, tampak menatap wajah satu sama lain. adza jadi teringat tentang apa yang dikatakan intan, mungkinkah pria ini sudah cinta duluan padanya?
"Za..." tuntut Azka membuat adza tersenyum dan menahan malunya seraya mengangguk pelan.
"Rindu, sudah dua minggu tidak bertemu. Tidak terasa, sudah setengah bulan, masih ada waktu 5 setengah bulan lagi untuk kita benar-benar bertemu," gumamnya membuat Azka tersenyum.
"Aku juga rindu dengan kamu," balasnya membuat hati adza berdebar.
"Nanti sebelum aku lulus kamu akan datang ke sini dan ikut melihat wisudaku. Aku ingin photo wisuda dengan istriku, itu sudah menjadi impianku sejak dulu dan akan terwujud di tahun ini, InsyaAllah."
"Jaga hati dan diri kamu baik-baik, ya? Ingat kalau kamu sudah punya suami karena aku selalu mengingatmu disini."
Hira tersenyum dan menarik napasnya. Ingin bertanya apakah pria ini mencintainya atau tidak, dia malu sekali.
Makanya dia tidak bertanya dan hanya diam saja menatap wajah pria itu, terhalang dengan layar dan jarak yang sangat jauh tapi adza sudah merasa seperti sangat dekat.
"Nanti kalau kita sudah bertemu kita akan tinggal di mana?" tanya adza kemudian.
"Kamu maunya dimana?"
"Apartemenku?"
Azka tersenyum dan menghela napas. "Kalau kamu mau, kita bisa tinggal di sana. Aku ikut saja," ujarnya membuat adza tersenyum dan mengangguk.
"Oke, sebenarnya aku ada rumah milik orang tua tapi aku takut dan juga malas tinggal disana. Rumah itu sudah tidak berpenghuni sejak Mama dan Papa meninggal, karena setiap kali akhir semester atau liburan semester aku tidak pernah pulang lagi. Aku hanya menginap di kamar ini sendiri, karena intan pulang," gumamnya membuat Azka terlihat menyentuh layar seolah sedang memegang wajahnya.
"Bertahan, ya? Sampai aku pulang dan berkumpul dengan kamu, aku akan menemani kamu selamanya setelah itu. Selama yang aku bisa," ujarnya membuat adza tersenyum menatap wajah Azka yang terlihat begitu serius.
"Aku akan membuang kesepian yang ada di hati kamu, menemani kamu menjalani apa yang belum pernah kamu jalani. Aku berharap usiaku panjang jadi benar-benar bisa melakukannya." adza tersenyum dengan wajahnya yang berkaca-kaca.
Hanya Azka yang bisa dikatakan mampu membuatnya merasa begitu disayangi walau pria ini belum pernah l mengatakan kata cinta padanya.
Hanya Azka yang membuatnya merasa tenang, padahal mereka baru berkenalan tidak sampai sebulan.
Adza tak tahu di antara kesedihan dan juga musibah yang dialami sejak 6 tahun lalu, nyatanya Allah menyimpan sebuah kebahagiaan hidup seperti seorang Azka.
Dia berharap pria ini tidak hanya bicara seperti sekarang karena ada di balik kaca, dia berharap kalau mereka bertemu nanti, Azka benar-benar melakukan apa yang dia katakan.
Hari itu Azka menemaninya packing dan persiapan untuk meninggalkan pesantren karena seluruh pembelajarannya di sini sudah selesai.
Mereka berbincang sampai malam karena walau di asrama tempat para mahasiswa mendapatkan layanan tempat tinggal dari pemerintah Arab Saudi, Azka tetap mendapatkan akses wi-fi yang lancar jadi untuk menghubungi adza berjam-jam bukanlah sebuah halangan baginya.
***
Pagi hari datang dengan cepat dan adza baru saja menyelesaikan shalat tahajud dan dilanjutkan shalat fajar dan subuh berjamaah di masjid pesantren.
Area pesantren sudah mulai sunyi karena rata-rata santrinya sudah mulai meninggalkan tempat mereka menuntut ilmu maksimal 9 tahun dan ada yang hanya 3 tahun ini.
Adza ada disini sejak 6 tahun lalu, sementara saat dia sekolah dasar dia ada di sekolah internasional. Makanya dia sempat belajar dan pandai bahasa inggris dan juga bahasa Mandarin.
Beberapa rekan kerjanya memang berasal dari China makanya ayahnya mendaftarkan akses belajar bahasa China saat dia masih sekolah dasar dulunya.
"Semuanya tidak terasa sekali, banyak suka duka yang kualami disini."
"Sama." intan menghirup aroma fajar yang terasa begitu sejuk dan menyenangkan.
"Kita bertemu 6 tahun lalu dan sekarang akan berpisah. Aku berharap hubungan kita tidak putus, aku juga kuliah di tempat kamu, Za. Walau agak boncos, soalnya itu universitas anak-anak sultan."
Adza menatap wajah intan yang sudah meringis lalu diam sesaat.
"Mau aku biayai tidak? Supaya aku ada teman di sana, kamu tahu sendiri kalau aku anaknya malas bergaul dan sejauh ini hanya kamu satu-satunya temanku," ujar adza sungguh-sungguh membuat intan membulatkan matanya.
"Sungguh? Satu semester mahal, lho-"
"Bagiku bukan apa-apa kalau soal uang, ntan. Aku hanya malas mencari teman baru, kamu bisa kuliah satu jurusan denganku, aku akan bantu biayanya lalu nanti kamu bekerja denganku di perusahaan. Bagaimana?"
tanyanya membuat intan membulatkan matanya kaget.
Tidak hanya mendapatkan penawaran mengenai biaya kuliah, tapi adza juga sudah menjaminnya soal pekerjaan di masa depan. Siapa yang tidak mau, coba?
"Mau? Kalau mau aku akan mengurus semuanya dengan Pak Rahman."
intan menelan ludahnya beberapa kali. "Serius?"
"Ya, aku kelihatan bohong?"
"Astaghfirullah, Za ..." intan menetralkan degup jantungnya beberapa saat.
"Aku mau banget, sumpah! Aku janji akan berusaha jadi teman baik dan setia untuk kamu."
"Terima kasih banyak atas penawarannya, itu semua sangat berarti untuk mengurangi beban orang tuaku. Ya Allah, Za ... Kamu baik banget!"
Adza tersenyum dan membalas pelukan intan.
"Kamu juga baik, kamu teman terbaikku selama ini. Aku tidak tahu akan bertemu teman baik lagi atau tidak, tapi yang pasti aku akan membantu orang yang pernah berbuat baik padaku. Terima kasih sudah menemaniku dalam enam tahun terakhir, ya, ntan..."
itu sih menurut ku ga tau deh kalok menurut anak pondok