Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Pagi itu, Qianru menerima sepucuk surat misterius yang tidak memiliki segel resmi.
Surat itu diselipkan di antara tumpukan laporan logistik dapur istana. Ia membukanya perlahan, hanya untuk menemukan selembar kain halus bertuliskan kaligrafi kuno.
“Di balik tembok merah, darah bangsawan terus mengalir. Jangan percaya pada wajah yang tersenyum terlalu manis.”
Tangannya meremas surat itu. Pesan ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah ancaman—atau petunjuk. Qianru menatap Rui Lan, yang berdiri cemas di sudut ruangan.
“Cari tahu siapa yang menulis ini. Periksa setiap pelayan baru di dapur dan ruang arsip.”
Rui Lan mengangguk dan pergi cepat. Sementara itu, Qianru menyimpan surat itu di dalam laci terdalam meja kerjanya.
“Permainan ini belum berakhir.” gumam Qianru
Di malam harinya, Kaisar memanggil Qianru secara pribadi ke Taman Teratai—tempat rahasia yang dahulu sering dikunjungi Permaisuri Ying.
Di sana, hanya lampion merah yang berayun pelan, ditemani bayangan air.
“Qianru, aku mendapat laporan bahwa salah satu Pangeran Wilayah Selatan mulai menggerakkan pasukannya,” ucap Kaisar sambil memandangi kolam. “Aku curiga ada yang memprovokasi mereka dari dalam istana.”
“Apakah Yang Mulia menduga... ada sisa pendukung keluarga Gu di kalangan pangeran?” tanya Qianru hati-hati.
Kaisar menoleh, menatap tajam. “Kau tahu, aku mempercayaimu lebih dari siapa pun di sini. Tapi tak semua orang menyukai kedekatan kita. Mereka akan mencoba menjatuhkanmu lewat cara paling kotor.”
Qianru tersenyum tipis. “Kalau begitu, biarkan mereka mencoba. Aku sudah belajar menari di atas bara.”
Sementara Qianru sibuk memperkuat pengawasan di dalam istana, seorang pelayan muda yang bekerja di istal kaisar melapor dengan gemetar.
“Ada seseorang dari luar kota yang memasuki istana malam-malam lewat gerbang belakang, Nona,” ucapnya. “Ia bertemu dengan salah satu selir tingkat rendah, Selir Ming.”
Qianru mengernyit. Selir Ming adalah sosok tenang dan jarang terlihat terlibat dalam politik.
“Selidiki. Tapi jangan sampai dia merasa dicurigai,” perintahnya.
Namun malam itu, Qianru sendiri menyelinap ke kamar Selir Ming. Dari balik dinding tipis, ia mendengar percakapan lirih.
“…Pangeran Selatan akan bergerak saat musim gugur. Tapi mereka ingin memastikan Qianru tidak berada di istana saat itu…”
Mata Qianru menyipit. Ia mundur perlahan, hatinya berdebar. Kali ini, dia sendiri yang menjadi target utama.
Qianru menyusun rencana pertahanan diam-diam. Ia memanggil semua anggota Sayap Tak Terlihat dan membentuk kelompok khusus untuk pengintaian ke luar kota.
Ia juga mulai melatih lebih banyak wanita pelayan, memberdayakan mereka agar bisa membela diri dan berperan dalam keamanan internal.
“Kita bukan hanya pelayan,” ucapnya kepada mereka. “Kita adalah mata dan telinga istana. Jika tahta ini tumbang, kita yang pertama kali jatuh.” ujar Qianru
Di tengah hiruk-pikuk pengkhianatan dan persiapan, hubungan antara Qianru dan Kaisar semakin dalam. Suatu malam, saat keduanya berbincang di balkon pribadi, Kaisar mengulurkan kalung dari giok hijau muda.
“Ini milik ibuku dulu,” katanya pelan. “Aku ingin kau yang menyimpannya sekarang.” ujar kaisar Liu
Qianru terdiam. Ia mengambil kalung itu dengan hati bergetar.
“Aku belum bisa menjanjikan cinta, Liu” ucapnya, jujur.
“Tapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu selama negeri ini membutuhkan kita.” lanjut Qianru
Kaisar menggenggam tangannya. “Dan itu cukup. Lebih dari cukup.”
Qianru kini berdiri di persimpangan antara bahaya dan kepercayaan. Dia bukan lagi selir tak dikenal, tapi penjaga istana yang diam-diam menjadi jantung pertahanan kerajaan.
Di balik senyum manis dan tatapan tenangnya, ada rencana-rencana rahasia yang bergerak cepat.
Musuh mungkin tersembunyi. Tapi Qianru pun telah berubah menjadi bayangan yang paling ditakuti di balik tirai kekuasaan.
Kabut musim gugur mulai menyelimuti istana. Pepohonan berwarna keemasan tampak indah, namun bagi Qianru, keindahan itu hanya tirai bagi bahaya yang mengintai.
Ia berdiri di paviliun barat, menatap halaman tempat para pelayan dilatih diam-diam. Qianru telah menyulap para pelayan dapur, pemegang lentera, hingga pengurus taman menjadi unit informan dan pengintai. Di tangannya, kekuatan tak lagi tergantung pada pedang, melainkan pada kecerdasan dan jaringan bawah tanah.
Rui Lan datang tergesa-gesa, membawa laporan.
“Selir Ming mulai mengumpulkan selir-selir tingkat rendah. Mereka membuat pertemuan rutin di ruang bacaan lama.”
“Ruang bacaan yang tak digunakan itu?” Qianru menyipitkan mata. “Itu tempat strategis. Dekat lorong pelayan dan punya akses ke paviliun dalam.”
Rui Lan mengangguk. “Kami juga menemukan potongan kain dengan lambang Pangeran Selatan terselip di balik rak.”
Qianru menggertakkan gigi. Musuh telah menyusup lebih dalam dari yang ia duga.
Malamnya, di ruang kerja Kaisar, Qianru mempresentasikan seluruh temuannya.
“Aku sudah mencurigai Selir Ming sejak lama,” ucap kaisar Liu meletakkan cawan tehnya. “Tapi aku tak menyangka dia menjadi mata-mata luar.”
“Kita tak punya waktu,” jawab Qianru. “Pangeran Selatan akan menyerang sebelum salju pertama. Mereka ingin menaklukkan ibukota dari dalam sebelum perlawanan dibentuk.”
Kaisar mengangguk. “Aku akan memanggil Jenderal Mo dan mempersiapkan pasukan elit. Tapi kau—”
“Biarkan aku tetap di istana,” potong Qianru. “Jika mereka ingin merebut istana dari dalam, maka biarkan aku jadi bentengnya.”
Kaisar menatapnya dalam-dalam. “Kau terlalu berharga untuk jadi umpan.”
Qianru tersenyum getir. “Karena itu aku harus jadi umpan yang mematikan.”
Rencana Qianru dijalankan dengan teliti. Ia menyebarkan kabar palsu bahwa dirinya akan mengunjungi Kuil Dewi Panjang Umur di luar kota—memberi kesempatan pada musuh untuk bergerak.
Sementara itu, ia bersembunyi di lorong rahasia bersama dua pengawal setia dan Rui Lan.
Pada malam yang telah ditentukan, Selir Ming diam-diam memimpin sejumlah pelayan istana bersenjata kecil. Mereka menyelinap menuju paviliun utama, berharap menyerang Kaisar secara tiba-tiba.
Namun saat mereka tiba, lampion merah menyala serentak. Puluhan penjaga dari unit Sayap Tak Terlihat mengepung dari segala arah.
Qianru muncul dari bayangan, pedang terhunus di tangan.
“Kalian pikir bisa menumbangkan istana dengan wanita-wanita licik?” suaranya bergema. “Hari ini, kalian akan tahu siapa penguasa sejati istana ini!”
Pertempuran singkat terjadi. Qianru bertarung lincah dan cekatan. Ia mengalahkan tiga penyerang sendiri, sementara yang lain ditangkap hidup-hidup.
Selir Ming, yang mencoba melarikan diri lewat lorong rahasia, dihentikan langsung oleh Kaisar.
“Aku mempercayaimu,” kata Kaisar dingin. “Tapi kau menjual negeri ini demi kekuasaan dari Selatan.”
Selir Ming tertawa miris sebelum akhirnya dibawa pergi.
Keesokan harinya, istana kembali tenang. Matahari musim gugur memancar cerah, seolah menghapus bau darah semalam.
Qianru duduk bersama Kaisar di bawah pohon maple tua. Tangannya masih memegang kain berdarah dari luka kecil di bahunya.
“Ini bukan pertama, dan bukan terakhir kalinya aku berdarah demi negeri ini,” ujar Qianru
Kaisar menggenggam tangannya dengan lembut.
“Tapi kali ini, kau tidak sendiri.” jawab kaisar
Qianru menoleh, tersenyum. Di matanya, untuk pertama kalinya sejak ia bangun sebagai selir tak dianggap, ada damai. Namun ia tahu—perjalanan belum selesai.
Dan Qianru bersumpah, jika ada yang ingin menghancurkan negeri ini, mereka harus melewati mayatnya terlebih dahulu.
Qianru telah menjadi tembok terakhir istana. Dan tembok itu, kini bersiap menyambut badai.
Bersambung