bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miranda yang berbeda
Beberapa orang berbadan tinggi besar menghampiri Reza.
Nyali Amar dan Amir tentu saja menciut.
“Lena, ayo kita pulang. Nanti kita adukan ke Ayah kelakuan anak sialan itu,” ujar Amar.
Lagi-lagi hati Miranda terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Padahal aku sudah bersedia menggantikan anak pungut itu, tetapi mengapa kalian tetap membenciku. Sepertinya memang kalian harus kuhapus saja dari pikiranku, batinnya pilu.
Amar, Amir, dan Lena akhirnya pergi dengan wajah kecewa. Miranda yang biasanya menurut, kini berani melawan. Harga diri Amar dan Amir terasa terinjak oleh adik kandung yang selama ini mereka anggap pembawa sial.
“Ka, aku ada janji nonton dengan teman. Kakak duluan saja, ya,” tutur Lena.
“Serius kamu, Dek? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Amar, suaranya penuh kekhawatiran.
“Ya, sedikit kecewa, tetapi aku harus nonton, Ka,” jawab Lena.
“Kalau begitu Kakak pulang dulu. Teman Kakak sudah menunggu di rumah,” ucap Amar sambil membelai rambut Lena dengan lembut.
Akhirnya mereka berpisah.
Lena menatap punggung kedua kakaknya yang perlahan menjauh. Setelah keduanya hilang dari pandangan, raut wajah Lena berubah tajam. Tangannya mengepal kuat.
“Kurang ajar kamu, Miranda. Aku tidak akan membiarkan kamu bahagia. Aku saja yang harus bahagia. Kamu wajib menderita,” tekad Lena semakin mengeras, kebenciannya kian menajam.
Ia segera menelpon seseorang.
“Sal, kamu di mana?”
“Aku di rumah,” jawab Salma.
“Kamu mau uang tidak?” tanya Lena.
“Tentu mau,” suara Salma terdengar semakin antusias.
“Ada video Miranda bersama om-om. Dia jadi simpanan sugar daddy.”
“Aku tidak percaya. Mana ada sugar daddy mau sama dia. Dia kan jelek. Sudah jelek, bodoh pula. Dan dia mana tahu dunia begituan. Dia kan gaptek. Ponsel saja tidak punya,” ujar Salma meremehkan.
“Dia punya segalanya sekarang, Sal. Walaupun dia jelek, dia perawan. Siapa yang tidak tertarik dengan perawan, apalagi kalau harganya murah.”
“Baik, masuk akal. Terus apa yang harus aku lakukan?” tanya Salma.
“Pertama, masukkan nomor Miranda ke grup keluarga. Kedua, unggah foto dan videonya. Ketiga, sebarkan gosip bahwa Miranda jual diri kepada om-om.”
“Ih, serem sekali. Aku takut. Bisa digorok aku sama Om Han,” keluh Salma.
“Sepuluh juta mau tidak?” ujar Lena tenang. Ia tahu Salma bukan menolak, hanya sedang menawar.
“Risikonya terlalu besar.”
“Baik, dua puluh juta,” sahut Lena yang tidak ingin bertele-tele.
“Baik. Transfer sekarang juga,” balas Salma cepat.
Lena segera mentransfer uang ke rekening Salma. Ia harus tetap tampak sebagai anak baik di mata semua orang, agar perbuatan buruk dilakukan oleh tangan orang lain. Demi mempertahankan citra manis itu, ia rela mengeluarkan uang banyak. Selama dirinya terlihat menggemaskan, uang dari Ayah dan kakak-kakak angkatnya akan terus mengalir.
Sementara itu, setelah mencoba berbagai perhiasan super mewah hingga membuat Miranda berkali-kali ingin mengembalikan semuanya ke etalase, ia berbisik gugup.
“Om, ini terlalu mahal. Bagaimana kalau monster itu marah?” lirih Miranda.
“Monster siapa?” tanya Reza heran.
“Itu Tuan Rian. Dia menakutkan,” jawab Miranda polos.
Reza terkekeh pelan. Bos lu dibilang monster. Baru kali ini ada perempuan yang tidak memuja bos gue, pikirnya geli.
“Nyonya, bos itu baik, kok. Apalagi sama perempuan. Hanya saja dia sedikit…” Reza mendekatkan mulutnya ke telinga Miranda, “…sedikit bloon.”
Mata Miranda langsung membulat. Ternyata ada juga anak buah Tuan Rian yang berani mengumpat bosnya.
“Kenapa begitu?” tanya Miranda ingin tahu.
“Dia masih menunggu wanita yang jelas-jelas meninggalkan dia, padahal Tuan Rian sudah memberikan segalanya,” jawab Reza santai.
Miranda terdiam. Ada rasa aneh yang menekan dadanya. Sedikit panas, tetapi ia tidak mengerti apa itu. Apa mungkin aku cemburu pada monster kutub itu? pikir Miranda bingung.
“Nyonya, mari kita lanjut ke perawatan,” ajak Mila yang baru menghampiri.
“Aduh… padat sekali jadwal aku,” keluh Miranda sambil melirik agenda yang penuh.
Mila dan Mili terkekeh. Lucu sekali calon nyonya Baskara ini. Benar-benar berbeda dari pacar Rian sebelumnya yang suka memerintah dan sering bersikap semena-mena.
“Aku mau, tetapi harus ditemani Kak Mila dan Kak Mili. Kalau tidak ada temannya, aku tidak mau. Aku takut orang asing,” ucap Miranda memohon.
“Tidak bisa begitu,” sahut Mila ragu.
“Sudah, temani saja supaya cepat selesai. Semua dibayar kantor. Om tampan ini yang tanggung,” ujar Reza sambil menepuk dadanya.
“Baiklah kalau begitu… om gendut,” ucap Mila sambil terkekeh.
Mila dan Mili membawa Miranda masuk ke salon perawatan paling mahal di kota itu. Begitu pintu otomatis terbuka, aroma bunga mahal langsung memenuhi hidungnya. Lampu-lampu kristal bergelantungan seperti istana dan para terapis menyambut dengan senyum super ramah.
Miranda langsung melongo.
“Ya Tuhan… ini tempat nyata? Atau surga khusus orang kaya?” gumamnya sambil menggenggam lengan Mila erat-erat.
“Ini salon biasa, Nyonya,” jawab Mili sambil menahan tawa.
Dulu, setiap kali mengantar Lena, Miranda hanya bisa berdiri di luar kaca. Ia menatap perempuan-perempuan cantik yang sedang facial, creambath, dan diperlakukan seperti ratu. Sementara dia? Tugasnya hanya menjaga belanjaan Lena yang numpuk sampai dua troli.
Begitu teringat itu, hati Miranda mendadak nyeri. Dulu aku cuma disuruh nunggu di luar kayak kucing kehujanan. Sekarang aku masuk, tapi kok rasanya kaya mimpi ya…
Terapis mendekat. “Silakan duduk, Nyonya.”
Miranda langsung duduk… tapi di meja rias, bukan di kursi perawatan.
“Itu bukan kursinya, Nyonya,” bisik Mila sambil setengah mati menahan tawa.
Miranda gelagapan. “Oh… aku kira yang mana saja bisa dipakai. Soalnya semuanya mengilap,” ujarnya polos.
Begitu ia pindah ke kursi perawatan, terapis mulai mengoleskan masker emas. Miranda menjerit pelan.
“Eh! Eh! Ini kenapa dingin sekali! Ini aman kan? Jangan-jangan ini racun orang kaya!”
“Itu masker emas, Nyonya,” jelas terapis dengan lembut.
Miranda terdiam. Lalu matanya berkaca-kaca. “Masker… emas? Serius? Dulu aku facial pakai putih telur sama tisu… itu pun dicuri dari dapur.”
Mila dan Mili saling pandang. Antara kasihan dan tertawa.
Saat creambath dimulai, Miranda merem meleleh. “Enak sekali ya Tuhan… kok rambut aku dipijat begini… dulu dibentak-bentak terus disuruh nyisir cepat.”
Ketika pijitan turun ke bahu, Miranda refleks melompat.
“Eh! Eh! Jangan dipegang bagian situ! Aku geli! Nanti aku pingsan!”
Terapis hampir terbahak, tetapi menahan diri. “Maaf, Nyonya, ini bagian paket.”
Miranda mengangguk malu. “Iya… cuma… aku kaget. Dulu mana ada yang mau nyentuh aku. Disuruh pergi pun sering banget.”
Saat kuku-kukunya mulai dibentuk rapi, Miranda menatapnya lekat-lekat.
“Cantik sekali… ini kuku aku? Bukan kuku Cinderella di dapur kan?” lirih Miranda dengan suara patah.
Mili mengusap bahu Miranda lembut. “Nyonya, sekarang tidak ada yang menyisihkan Anda lagi.”
Miranda mengedip cepat, menahan air mata. “Aku bahagia… tapi juga sedih kalau ingat dulu. Rasanya seperti hidup aku kebalik.”
Mila tersenyum. “Itu tandanya hidup Nyonya sedang berubah.”
Miranda mengangguk. “Iya… walaupun aku masih takut sama monster kutub itu.”
“Monster siapa?” tanya para terapis serempak.
Miranda langsung menutup wajah dengan handuk kecil. “Tidak… tidak jadi. Pokoknya monster.”
Salon itu pun dipenuhi tawa kecil tertahan, sementara Miranda menjalani perawatan seperti putri—walau dengan tingkah norak dan perasaan campur aduk.
Ketika cermin besar diputar ke arah Miranda, gadis itu hampir melompat mundur.
“Itu… siapa?” bisiknya gemetar.
Kulitnya bersinar halus, rambutnya yang dulu kering kini jatuh lembut seperti sutra, kuku rapi, dan wajahnya… terlihat seperti versi dirinya yang tidak pernah ia bayangkan.
“Astaga… ini benar aku? Kok kaya orang lain?” Miranda memegang pipinya hati-hati, takut wajahnya rusak kalau disentuh.
Mila menutup mulut, hampir terpekik. “Nyonya… Anda cantik sekali.”
Reza pun matanya berbinar "aku ga yakin pernikahan mereka akan sementara" pikir Reza.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya