NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salah Paham

Mida yang masih mencurigai kehamilan Inaya, tidak bisa tenang. Ia akhirnya mencari waktu untuk berbicara dengan Weko untuk memastikan.

Ketika melihat Weko baru saja kembali dari mengantar Inaya, Mida segera memanggil anaknya tersebut dan bertanya mengenai kehamilan Inaya.

“Apa Ibu tidak percaya jika itu anakku?” tanya Weko yang terkejut dengan pertanyaan sang ibu.

“Bukan ibu tidak percaya. Apa kalian melakukannya sebelum menikah?” pertanyaan Mida kali ini semakin membuat Weko murka.

“Apa maksud ibu mengatakan itu? Apa ibu masih tidak bisa menerima Inaya? Kenapa Inaya terlihat seburuk itu di matamu, Bu?”

“Ibu hanya bertanya. Apa salahnya?”

“Tidak salah! Pertanyaan ibu yang salah! Bukankah ibu juga Perempuan, kenapa ibu bisa berpikiran seperti itu kepada Inaya. Ibu seharusnya orang yang paling tahu bagaimana cara menghitung kehamilan!”

“Bagaimana bisa kalian menikah baru 2 bulan dan dia juga hamil 2 bulan?”

Brak!

Weko menggebrak meja yang ada di hadapannya sampai membuat kedua orang tua Sintya yang ada di teras berlari ke arah mereka.

“Jelas saja usia kehamilannya sama dengan usia pernikahan kami karena Inaya haid pertama saat menikah!” kedua orang tua Inaya terkejut dengan teriakan Weko yang murka.

Mereka bahkan tidak sempat menghentikan Weko yang pergi begitu saja, meninggalkan Mida yang ketakutan.

Baik Mida maupun kedua orang tua Sintya, mereka baru kali ini melihat Weko murka sampai seperti sekarang. Biasanya Weko hanya akan marah tanpa berteriak ataupun menggebrak meja.

“Aku tidak akan membelamu. Kamu yang salah di sini.” Kata Bapak Sintya menggeleng.

Kedua orang tua Sintya keluar dari rumah Mida dan kembali ke rumah mereka sendiri. Mereka tidak pernah meragukan Inaya karena mereka telah mengenalnya sejak lama. Dan apa yang dikatakan Weko ada benarnya karena kehamilan itu dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Mida yang ditinggalkan, tak lagi memiliki kekuatan hingga tubuhnya luruh ke lantai. Ia baru sadar pertanyaannya melukai Weko, anak sulungnya. Ia tidak memikirnya lebih lanjut sebelum bertanya.

Yang ada dalam pikirannya hanyalah bertanya mengenai kehamilan Inaya. Ia takut Inaya sudah hamil sebelum menikah atau lebih parahnya, mereka telah melakukannya sebelum menikah. Hal itu yang menyebabkan Weko cepat-cepat menikahi Inaya.

“Aku sudah salah paham!” gumam Mida.

“Salah paham apa?” tanya Harto yang baru kembali dari mengantarkan terasi ke warung langganan.

“Aku sudah salah paham kepada Inaya!”

“Apa maksudmu?” Harto masih tidak mengerti dengan maksud istrinya.

Mida mulai menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada suaminya sambil menangis. Ia sadar dirinya telah salah sejak awal. Ia tidak seharusnya membenci Inaya yang mengambil dan menguasai Weko darinya.

Nyatanya ketakutannya tidak terbukti karena Inaya tidak pernah memperlakukannya dengan buruk. Inaya bahkan memperlakukan adik-adik Weko selayaknya adiknya sendiri. Baru sekarang ia sadar kalau Inaya berhak atas Weko karena ia adalah istri yang dipilih anaknya sendiri.

Sebagai orang tua, ia seharusnya mendukung pilihan anaknya. Bukan membenci dan berprasangka buruk kepada menantunya.

“Kalau kamu sudah sadar, itu bagus. Ini masih belum terlambat. Kamu masih bisa memperlakukan Inaya sebagai menantumu dengan baik ke depannya.” Kata Harto sambil mengusap punggung istrinya.

Sementara itu, Weko yang marah melajukan motornya tanpa tujuan. Ia berhenti di warung yang biasanya ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Warung itu terlihat masih sepi karena masih pagi.

Weko duduk di kursi dan menyenderkan punggungnya dengan menutup mata. Seorang Perempuan datang ke arahnya membawa botol dan gelas ke hadapannya.

“Aku tidak membutuhkannya!” Kata Weko dingin tanpa melihat siapa yang datang.

“Kalau tidak menginginkannya, kenapa kamu kemari?”

“Aku hanya tidak ada tujuan!”

“Bukankah kamu sudah menikah? Kenapa tidak mencari istrimu?” tanya Perempuan itu yang sudah mengenal Weko sejak lama.

“Bukan urusanmu!”

“Terserah!” Perempuan tersebut meninggalkan Weko dan sibuk membersihkan warung.

Weko yang merasa tidak ada pergerakan di sampingnya, membuka mata dan mendapati botol beserta gelas masih ada di hadapannya.

“Mungkin ini bisa meredakan amarahku.” Gumam Weko yang akhirnya menenggak isi botol tersebut.

Rasa pahit dan pengar segera terasa di tenggorokannya. Dirinya sampai lupa jika sudah berjanji untuk menjauhi minuman tersebut. Ketika botol yang ada di tangannya sudah kosong, Weko limbung begitu saja di kursi Panjang.

“Tumben dia K.O? Biasanya satu botol tidak mempan.” Gumam Perempuan penjaga warung yang melihat Weko tidur meringkuk di kursi.

Ia mengabaikan Weko dan fokus dengan pelanggan yang mulai berdatangan karena sudah mendekati makan siang. Saat jam sibuk, para pelanggan protes dengan suara ponsel yang berdering.

“Ca! HP siapa yang berdering terus itu?”

“Tidak tahu juga, Pak.” Jawab Caca anak pemilik warung.

“Coba dekati Weko. Siapa tahu telepon dari istrinya.” Kata Risa.

“Eh benar! Bagaimana ini?”

“Diangkat saja! Kasih tahu kalau suaminya ada di sini.”

“Kamu yakin? Nanti warungku dituntut gimana?”

“Sini!” Risa mengambil alih ponsel Weko dan menjawab panggilan dari “Istriku”.

“Weko ada di warung deretan pertigaan pangkalan angkot!” kata Risa singkat dan segera memutuskan sambungan.

“Gila kamu!” seru Caca yang merasa kata-kata Risa bisa membuat orang salah paham.

“Apa urusannya denganku? Sudah bagus aku kasih tahu dimana suaminya. Salah sendiri, jadi istri tapi tidak memperhatikan suaminya.”

Segera kata-kata Risa menjadi perbincangan pengunjung warung. Mereka jadi beranggapan kalau Weko kabur dengan menenggak minuman setelah bertengkar dengan istrinya.

Di sisi lain.

“Rik, warung dekat pertigaan pangkalan angkot itu dimana?” tanya Inaya yang menghubungi Riki.

Ia yang masih tidak hafal seluk beluk kota, tidak tahu pertigaan mana yang dimaksud.

“Kenapa memangnya?”

“Mas Weko ada di sana.”

“Astaga! Gila kamu, Bang!” umpat Riki dalam hati.

“Aku akan menjemputmu, Mbak. Tunggu sebentar!”

Riki yang sedang bersama sang pacar, pamit dan segera menjemput Inaya. Ia membawa Inaya ke warung yang dimaksud. Sampai di sana, Riki yang sudah hafal langsung bertanya kepada Caca dimana Weko. Caca menunjuk ke arah bangku yang ada di pojokan, dimana Weko tidur.

“Kenapa Mas Weko bisa tidur di sini?” tanya Inaya bingung, melihat suaminya tidur meringkuk di keramaian.

“Sepertinya dia mabuk.” Kata Riki yang melihat botol kosong di atas meja.

“Mabuk?” Inaya tidak percaya dengan kata-kata Riki.

Ia mendekati suaminya dan mencoba membangunkan. Tetapi bau menyengat dari di tubuh suaminya, membuat Inaya merasakan mual hingga ia menjauh.

“Mbak Inaya bawa motornya. Aku akan membawa Mas Weko.” Kata Riki yang sudah tahu mengenai kehamilan Inaya.

Inaya mengangguk dan menahan nafasnya sambil membantu Riki menaikkan Weko ke motor. Setelah Riki pergi, Inaya bertanya kepada pemilik warung apakah suaminya sudah membayar dan dijawab belum oleh Caca.

“Lain kali dijaga suaminya, Mbak. Kalau ada masalah jangan diusir dari rumah!” sindir Risa.

“Maksud Mbaknya apa?” Inaya menghentikan Gerakan tangannya yang akan mengambil uang di dalam dompet.

“Suaminya sampai mabuk begitu, harusnya sebagai istri Mbak bisa lebih memperhatikannya!”

“Saya dan suami saya tidak ada masalah. Dan saya harap Mbak tidak ikut campur dan menyimpulkan sesuka hati!” Inaya meletakkan 5 lembar uang seratusan di meja dan pergi meninggalkan warung.

Beberapa orang yang memperhatikan Inaya bertanya-tanya, mengapa Perempuan berhijab bisa keluar dari warung yang terkenal dengan sebutan “warung pangkon” tersebut.

Sampai di rumah, Riki sudah merebahkan Weko di sofa yang ada di ruang tamu. Inaya mengucapkan terima kasih kepada Riki dan menutup pintu rumah setelah kepergiannya. Ia menatap nanar suaminya yang masih tidur pulas di sofa.

“Mel, tolong izinkan aku. Siang ini aku tidak bisa kembali.” Kata Inaya yang menghubungi Amelia.

“Apa ada masalah, Mbak?”

“Tidak. Aku hanya merasa mual.”

“Oh. Nanti aku izinkan pak bos, Mbak. Istirahatlah!”

“Terima kasih.”

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!