Lie seorang pria dari keluarga kelas menengah harus di usir dari sekte karena bakatnya yang buruk, tidak hanya itu, bahkan keluarganya pun dibantai oleh sebuah sekte besar, dia akhirnya hidup sebatang kara di sebuah desa terpencil. Tanpa sengaja Lie menemukan sebuah warisan dari leluhur keluarga, membuatnya tumbuh menjadi kuat dan mulai mencari siapa yang sudah membantai keluarganya,
akankah Lie berhasil membalaskan dendam keluarganya dan melindungi para orang-orang terdekatnya...
Cerita ini adalah fiksi semata, penuh dengan aksi dan peperangan, disertai tingkah konyol Mc
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mdlz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah untuk semua
saat Tetua Erwin menerima botol giok dari tangan Lie, dia langsung membuka dan terkejut saat melihat isi di dalam botol tersebut.
"Pil giok emas dan Pil penguat jiwa tingkat empat Sempurna," pekik Tetua Erwin takjub dan terkejut.
Dengan Pil di tangannya, di pastikan ranahnya akan langsung naik beberapa tingkat, namun karena batasan alam, dia sudah tidak bisa naik lagi. Sekarang Tetua Erwin sudah berada di ranah Dewa tinggi tingkat puncak, tapi dia masih bisa menaikan kekuatan jiwanya yang tidak dibatasi alam.
Parto dan Miya juga mendapatkan pil yang sama, mereka berdua menatap putranya itu dengan tatapan terima kasih, dan bertanya. "Apakah ini Pil warisan Leluhur?"
"Bukan! Karena Pil warisan leluhur sudah aku telan, dan di berikan pada sahabatku." kata Lie menjawab cepat.
"Lantas, siapa yang membuat Pil ini?" tanya Parto penasaran.
"Kalau bukan aku, lalu siapa lagi ayah?" jawab Lie dengan bangga.
"Apa....!" teriak semua orang dengan mata melebar.
Lie hanya terkekeh pelan bersama tetua Erwin, saat giliran Hilda mengeluarkan Pil di tanganya, udara berubah menjadi sedikit hangat, sebuah Pil berwarna biru berhias urat emas, memancarkan hawa panas yang halus.
"Itu Pil penawar racun es, sebaiknya bibi segera meminumnya dan mengasingkan diri untuk menyerap khasiat pil itu, semoga bibi lekas sembuh." kata Lie sambil tersenyum hangat.
Hilda mematung untuk sejenak, lalu memasukkan kembali Pil dan memeluk Lie. "Terimakasih! Terimakasih Lie." bisanya dengan air mata yang menetes.
"Jangan sungkan bibi, kita keluarga sekarang, bahkan kita bertemu sebelumnya ini, pil itu akan tetap aku berikan untuk bibi." jawab Lie dengan tatapan teguh.
Melihat suasana haru yang tiba-tiba terjadi ini, Tetua Erwin kembali angkat bicara. "Tapi sepertinya bukan pil itu yang mendatangkan petir penyucian semalam, Lie?"
"Benar, Kek! Yang mendatangkan petir kemarin adalah Pil yang aku berikan untuk Acha." angguk Lie seraya mengalihkan pandangannya.
Acha yang sedari tadi hanya memegang botol yang diberikan oleh Lie, memang berencana untuk tidak menggunakannya. Namun saat mendengar perkataan Lie jika Pil miliknya mendatangkan petir, dia pun segera memeriksa.
Saat Pil itu keluar dari botol giok, udara dingin langsung terasa di seluruh ruangan. Berbeda dengan pil milik Hilda, Pil kali ini memiliki kekuatan dingin yang sangat menusuk.
"Kenapa Pil ini berbeda Lie?" tanya Hilda sambil memperhatikan pil di tangan Acha yang dengan cepat dimasukan kembali ke dalam botol.
Tetua Erwin langsung terbangun ketika melihat pil itu, berkata dengan suara berat. "Pil pengubah Konstitusi tingkat misterius, pantas mendatangkan petir."
Sebelumnya dia sudah menduga kalau Lie berhasil membuat Pil peringkat lima, namun tidak menyangka bahwa pil itu adalah kelas langka.
Bila di jual pastinya harga pil itu sangat mahal untuk alam rendah ini, bahkan harta satu kerajaan tak akan cukup untuk membelinya.
Semua orang terkejut dengan wajah yang kalut, apalagi saat menyadari bahwa itu termasuk pil peringkat 5. Mereka sangat pusing memikirkan darimana keterampilan Lie datangnya.
Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Lie segera berkata. "Acha, sebaiknya segera mencari tempat pengasingan untuk memurnikan Pil tersebut, jika bisa sekalian berkultivasi dengan elemen es, agar Ranahmu bisa segera naik.?
"Sayangnya di warisan leluhur yang diberikan padaku, tidak ada kitab kultivasi tentang elemen es, mungkin Kakek Erwin punya sedikit pencerahan." imbuh Lie menyarankan.
"Baiklah, kita akan ke lembah di dekat bukit besok, di tempat itu ada area yang bagus untuk berkultivasi, dan kebetulan kakek memiliki kitab warisan keluarga tentang elemen es." kata Tetua Erwin dengan binar kebahagiaan.
Semua orang mengangguk setuju dengan apa yang di katakan oleh Tetua Erwin dan Lie, itu karena mereka sangat ingin melihat Acha hidup normal seperti anak seusianya.
"Untuk ibu, bersabarlah, begitu aku mendapatkan buah kehidupan, aku akan membuatkan Pil untuk menyembuhkan ibu. Agar aku juga bisa segera mempunyai adik yang lucu." Lie tiba-tiba berkata dan memandang ibunya sambil tertawa.
"Jangan kau pikiran Lie, ibu sudah sangat bahagian memilikimu, impian ibu selama ini sudah terwujud dengan kehadiranmu!" sahut Miya dengan mata berlinang bahagia, melihat bagaimana Lie memikirkan semua orang di sekelilingnya.
Parto itu menanggapi. "Betul kata ibumu nak, sekarang kebahagiaan kami sudah lengkap dengan kehadiranmu, urusan lainnya biar langit yang mengaturnya."
Hatinya benar-benar bahagia dan bangga memiliki putra seperti Lie.
"Oya Acha, ini ada satu lagi hadiah dariku, maaf bila sedikit jelek, karena hanya ini yang aku miliki." mengatakan itu, Lie menyerahkan satu pedang elemen Es tingkat berlian.
Pedang itu memiliki panjang satu meter dengan gagang berbentuk kepala Pheonix, bagian pelindung tangan berbentuk sayap yang terkembang. bilah pedang sedikit tipis berwarna perak dengan alur kecil di tengahnya.
Ketika Lie mengalirkan energi Qi ke pedang itu, lekukan tipis langsung mengeluarkan warna biru cerah, hawa dingin pun segera menyelimuti ruangan.
Lie mendapatkan pedang itu saat dia kembali dari gua saat bertemu dengan leluhur keluarga Nugraha, yang mana pedang itu berada tepat di dalam aliran sungai.
"Pedang tingkat berlian Pheonik es." gumam semua orang serempak dan serentak.
Setelah menarik kembali energinya, Lie mengambil sarung pedang berwarna perak dengan di hiasi beberapa batu berwarna biru yang sangat indah.
Kemudian Lie menyerahkan pedang itu pada Acha seraya berkata. "Pedang ini sangat cocok untukmu, terimalah."
"Terimakasih kakak Lie." jawab Acha menerima pedang itu dan segera mendekapnya dengan sangat erat, seolah tidak ingin berpisah dengannya.
Semua yang melihat tersenyum simpul, dan Tetua Erwin pun berkata. " Cinta, penderitaan nya tiada akhir."
Melirik kearah ieu, Tetua Erwin bertanya dengan serius. "Setelah ini apa rencanamu Nak?"
"Aku belum punya rencana apapun Kek, karena warisan leluhur sudah aku serahkan kepada kakek, mungkin aku akan memperdalam dan mempelajari keterampilan beladiri." jawab Lie setelah merenung sejenak.
"Bagaimana jika kamu berkunjung ke keluarga Prakasa, dan bertemu dengan Patriak, sekalian memperkenalkan dirimu pada keluarga disana, setelah itu kamu bisa mengikuti kedua orang tuamu untuk menjalankan misi." saran Tetua Erwin.
"Begitu bagus juga, jadi aku bisa memamerkan putraku ini pada semua orang." timpal Darto dengan antusias.
"Apa bagusnya pamer, aku takut Lie malah akan mendapat banyak masalah bila terlalu di tonjolkan." dengus Miya sambil mengelus kepala Lie.
"Tidak apa-apa Bu, kalau aku takut Masalah. aku sepertinya tidak akan pantas memakai marga Prakasa." jawab Lie sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu.
Lie merasakan kenyamanan saat merasakan Elusan di kepalanya, dimana tidak ada yang melakukannya setelah kematian kedua orang tuannya. Jadi dia memanjakan dirinya ke ibu yang baru dimilikinya.
"Lihat, Lie saja setuju! Dan benar katamu nak, lelaki tidak boleh takut dengan Masalah." kata Darto sambil mengeluarkan dua jempol dan mengarahkannya kearah Lie.
"Bila tidak mampu maka lari untuk menyelamatkan diri." lanjutnya sambil di sambut gelak tawa semua orang.
Akhirnya mereka semua bercakap-cakap sampai hampir sore menjelang, kemudian para wanita menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Lie, bagaimana kalau kita berlatih sebentar, ayah ingin melihat sejauh mana kemampuanmu, apa setara dengan ranahmu?" ajak Darto tiba-tiba.
Lie seketika terkejut mendengar permintaan ayahnya, tapi dia tersenyum senang Dengan sikap ayahnya yang nyeleneh.
"Oke! Tapi ayah jangan menyesal saat kesulitan menghadapi ku." angguk Lie dengan sedikit mengangkat dagu, seolah memprovokasi ayahnya.
"Kedua orang ini benar-benar mirip, kalau tidak melihatnya sendiri, bahkan aku tidak akan percaya jika mereka bukanlah ayah dan anak asli." bisik Parto pada Tetua Erwin.
"Benar! Aku juga merasa demikian, saat menemukan dia, aku melihat ada kemiripan Lie dan Darto. Makanya aku membawanya kemari, meski tidak tahu latar belakangnya." angguk Tetua Erwin sambil mengikuti keduanya menuju lapangan dekat danau.
Beberapa saat kemudian, Darto sudah bersiap dan telah menekan ranahnya, dia memasang kuda-kuda penyerangan. "Kita mulai tangan kosong dulu, setelah itu aku akan melihat keahlian pedangmu."
Mengetakan itu, Darto sudah melesat menyerang kearah Lie dengan cepat. Lie yang sudah bersiap dengan sigap menyambut serangan Sang ayah.
Gerakan mereka sangat cepat, tinju bertemu tinju, kaki bertemu kaki, sama-sama saling jual beli serangan. Namun terlihat bahwa Darto sedikit terdesak, meski ranah mereka sama namun kekuatan sejati Lie sebenarnya beberapa kali lebih kuat.
Meski Lie baru di ranah langit menengah, namun kekuatan sejatinya setara dengan Alam Penguasa awal.
Tiba-tiba Darto melompat mundur dan segera melepaskan pukulan yang disertai energi Qi. "Tinju penghancur gunung." teriaknya dalam hati.
Sebuah bayangan tinju sebesar truk muatan pasir melesat kearah Lie. Dengan cepat Lie melepaskan bayangan tinju berwarna ungu kehitaman. "Tinju sarang Iblis."
"Duuuuuuuaaarrrrr........!"