Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 Remake: Tragedi
Langit malam di desa Rivera diselimuti bintang-bintang. Angin membawa aroma dedaunan basah dan kayu bakar dari tungku-tungku rumah. Di dalam rumah kecil keluarga Noerant, ketenangan menyelimuti seperti selimut hangat.
Angin malam meniup tirai tipis di jendela dapur, membawa aroma tanah lembab dan suara jangkrik yang bersahutan di kejauhan. Di dalam rumah kecil yang terbuat dari batu alam dan kayu pinus tua, keluarga kecil itu tengah menikmati makan malam mereka.
Sho duduk di antara ayahnya yang berambut pirang gelap dengan janggut tipis, dan ibunya yang lembut dengan mata yang selalu tenang. Di atas meja, sepiring sup hangat mengepulkan uap, dan cahaya lampu minyak menciptakan bayangan bergoyang di dinding.
“Ayah, hari ini bunga lonceng biru sudah mekar,” kata Sho sambil meniup supnya perlahan. “Dan mereka bilang mereka senang dengan angin pagi.”
Ayahnya tertawa pelan. “Lagi-lagi bicara dengan bunga? Kau pasti membuat para peri hutan sibuk mendengarkanmu.”
Ibunya tersenyum, meski sedikit cemas. “Sho... Kau tahu kan, tak semua orang akan mengerti hal-hal seperti itu?”
Sho menunduk. “Aku hanya... merasa mereka memang berbicara. Bukan dengan suara, tapi... Rasanya seperti... Mereka menyentuh pikiranku.”
Ayahnya meletakkan sendok dan menepuk kepala Sho pelan. “Kau hanya punya imajinasi yang besar, itu bukan hal buruk. Tapi berhati-hatilah pada siapa kau bercerita.”
Sho mengangguk pelan. Ia merasa nyaman di rumah ini. Hangat. Aman. Dunia terasa masuk akal saat berada di sisi mereka berdua.
Tapi malam itu tidak ditakdirkan untuk tenang.
BRAAAAK!!
Pintu utama didobrak keras, hingga kayu tua itu terpental menabrak dinding. Dua pria bertudung masuk dengan kasar—mata mereka liar, tangan mereka menggenggam senjata: belati berkarat dan kapak kecil.
“Diam di tempat! Semua orang turun! Sekarang!!”
Ayah Sho berdiri spontan, tubuhnya menghadang Sho dan istrinya.
“Kami tidak punya apa-apa! Kami hanya keluarga petani bunga!” teriaknya.
“Justru karena itu kalian lemah!” salah satu dari perampok meludah, lalu menerjang ke depan.
Ayah Sho menahan mereka—tubuhnya yang lebih besar berusaha menjadi tameng hidup. Dia memukul salah satu perampok ke dinding, menciptakan celah sempit. “LARI!!” teriaknya ke arah istrinya.
Ibunya menggandeng tangan Sho dan segera melarikan diri melalui pintu belakang—menuju hutan gelap yang tidak asing bagi mereka.
Di belakang, Sho sempat menoleh...
Dan melihat ayahnya—menahan kapak di dada, lalu ditebas lagi... Dan lagi...
Sampai tubuh pria itu ambruk, tersungkur dalam genangan darah yang cepat meluas di lantai rumah mereka.
Sho tak sempat berteriak. Ibunya menariknya lebih cepat. “Sho, jangan lihat ke belakang! Cepat!!”
Mereka menyusuri semak dan pepohonan dalam gelap. Nafas mereka berat, tapak kaki mereka membuat dedaunan basah melengking. Burung-burung malam beterbangan menjauh.
Namun suara ranting patah dari belakang mereka membuat ibunya berhenti. Ia tahu.
Salah satu perampok mengikuti mereka. Lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Aku akan memancing dia,” ujar ibu Sho pelan. Nafasnya terengah, tapi senyumnya... Tetap lembut. “Sho, dengar baik-baik. Kau harus sembunyi sekarang.”
Sho menggeleng kuat. “Tidak... tidak... Jangan tinggalkan aku...”
Tangannya gemetar mencengkeram tangan ibunya.
Ibunya berlutut, menatap mata anaknya. “Kau harus hidup, Sho. Kau... Lebih dari yang kau kira. Dunia ini... Akan membutuhkan dirimu suatu hari nanti. Tapi untuk itu... Kau harus tetap hidup malam ini.”
Ia menarik Sho ke balik semak lebat. Aneh... Semak itu... Daunnya perlahan menjalar naik, menutupi tubuh Sho secara perlahan, seperti tangan-tangan halus yang ingin melindungi.
Sho bahkan tak menyadarinya. Ia hanya menatap ibunya. Air mata mulai menggenang.
Ibu Sho tersenyum. “Jangan bersuara, ya... Bersembunyi lah sampai semua benar-benar tenang...”
Lalu ia berdiri, dan berjalan menjauh, ke tengah hutan yang diterangi rembulan samar.
Langkah kaki kasar mendekat. Si perampok muncul dari balik pohon—mata merah karena amarah, napas berat dari pelarian.
Ia melihat sang ibu, berdiri sendirian.
“Berakhir sudah. Mana anakmu?” tanya si perampok, belatinya masih berlumur darah.
Ibunya tak menjawab. Hanya tersenyum.
Perampok itu mendengus marah, lalu melangkah cepat, menusukkan belati ke perutnya.
Sho melihat semuanya—dari celah semak.
Ibunya tidak melawan. Ia bahkan tidak berteriak.
Hanya darah yang menetes pelan ke tanah.
Dan Sho menatap itu semua.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara.
Tubuhnya kaku. Matanya terbuka lebar. Napasnya tercekat.
Air matanya mengalir, diam dan berat.Tubuhnya membeku, jiwanya seolah terpisah. Dan di depannya... ibunya jatuh, tubuhnya lemas seperti bunga layu yang tercabut paksa.
Perampok itu menggerutu lalu pergi, tidak menyadari bahwa anak yang diburunya bersembunyi tepat di dekat situ.
Dan malam pun senyap.
Hanya suara angin, dan tangisan alam yang tak terdengar manusia biasa.
Langit malam masih bergantung tenang di atas bukit Rivera.
Bintang-bintang tetap bersinar.
Tapi dunia Sho telah berubah selamanya.
Dan dari kejauhan—suara teriakan memecah kesunyian.
Seorang gadis muda yang hendak menutup tokonya melihat asap samar dari tungku rumah Noerant yang tak biasa. Ketika ia mendekat, ia mendapati pintu rumah terbuka lebar, terayun pelan, dan darah mengalir di ambang kayu.
“TOLONG!! ADA PERAMPOK!!” teriaknya panik, membelah malam.
Tak lama, lima ksatria penjaga desa datang menunggang kuda dari pos terdekat, dan puluhan warga yang semula sudah bersiap tidur pun keluar dari rumah masing-masing. Obor menyala. Teriakan panik berganti dengan langkah tergesa.
Rumah keluarga Noerant kini menjadi pusat perhatian warga.
Di dalamnya, si perampok bertopeng yang membawa kapak kecil masih mengobrak-abrik laci dan papan lantai, mencari harta yang bahkan tidak ada.
Saat ia hendak membalik meja, suara berat terdengar dari ambang pintu.
“Jatuhkan kapakmu. Sekarang juga.”
Sang perampok menoleh—dan mendapati tiga ksatria mengacungkan tombak ke arahnya.
“Persetan!” teriaknya, mencoba melawan, tapi pukulan gagang tombak menghantam kepalanya sebelum ia sempat mendekat.
Tubuhnya ambruk, tak bergerak.
Sementara itu, dua ksatria lainnya mengejar jejak ke arah hutan. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan perampok satunya—yang mengenakan belati dan pakaiannya berlumuran darah. Ia tertangkap di tepi sungai kecil, napas terengah, terluka oleh semak berduri yang ia terobos.
“Menyerahlah. Kau sudah dikepung,” kata sang ksatria.
Perampok itu hanya mendesis dan mencoba melawan, tapi tak lebih dari tiga detik ia sudah dibekuk ke tanah dan dibelenggu rantai.
Dan di balik semak...
Seorang ksatria muda yang memisahkan diri dari kelompoknya berhenti. Ia melihat sesuatu—daun-daun yang membentuk lekukan aneh, seperti membungkus sesuatu.
Dengan hati-hati, ia mendekat, dan menyingkap semak yang menutupi seorang anak laki-laki dengan tubuh gemetar, wajah pucat, dan mata kosong menatap langit.
“...Kau...” bisik sang ksatria, lututnya perlahan turun sejajar anak itu.
Namun Sho tidak menjawab. Matanya tidak berkedip. Tidak menangis. Tidak bergerak. Hanya diam.
Seakan jiwanya masih tertinggal di tempat ia terakhir melihat senyum ibunya.
“...Kau aman sekarang.”
Sang ksatria tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menanggalkan jubahnya, dan perlahan menyelimuti tubuh anak itu.
Tapi Sho... Masih menatap langit, seolah bertanya—kenapa bintang-bintang tetap bersinar,
saat dunianya telah padam.
Ia tidak tahu... Bahwa dari malam itu, hidupnya akan ditarik ke dalam takdir yang lebih besar daripada rasa sakit yang baru saja ia alami.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/