🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Sedikit melunak.
Rupanya apa yang dikatakan oleh Dina memang benar adanya, terbukti sudah jam sepuluh malam Daffa belum juga pulang ke rumah. Beberapa kali Aini membuka tirai kamar, namun belum juga ada tanda-tanda mobil suaminya akan memasuki halaman rumah.
Ingin menelfon untuk sekedar bertanya, tapi Aini tidak memiliki nomor telefonnya. Bukan apa, hanya saja sekarang dia dan Daffa sudah menikah dan tinggal satu atap, bahkan satu kamar dan satu ranjang berdua, tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyenyak tanpa melihat kehadiran suaminya lebih dulu. Setidaknya Aini hanya ingin memastikan jika suaminya itu baik-baik saja.
Hingga setelah hampir setengah jam bolak-balik mengintip ke halaman rumah, akhirnya Aini melihat mobil Daffa datang. Buru-buru Aini ingin memakai hijabnya untuk menyambut, tapi segera dia urungkan saat teringat akan sesuatu.
"Bukankan sekarang Mas Daffa adalah suamiku, harusnya melihatku tidak memakai hijab pun tak masalah." Aini menimang-nimang, hingga akhirnya dia memutuskan untuk tidak memakai hijabnya kembali dan menaruhnya kembali ditempat semula, di atas sajadah miliknya yang ada di atas meja kecil.
Dan begitu pintu kamar dibuka dari luar, Daffa sempat terpaku sejenak saat melihat penampilan istrinya yang cukup berbeda kali ini. Rambut panjang terurai, serta wajah yang mulus dan bersih walaupun tanpa polesan make up terlihat begitu sangat cantik dimatanya.
Tak ingin terbuai apalagi sampai mengagumi, Daffa segera menurunkan pandangannya. Setelah menutup kembali pintu kamar dengan rapat, Daffa masuk dan mulai membuka jasnya serta kancing-kancing kemejanya.
"Kenapa belum tidur? Lain kali kamu tidak perlu menungguku dan bisa langsung tidur. Aku selalu pulang larut malam, jadi tidak perlu ditunggu," nada bicaranya tak seketus sebelum-sebelumnya, meskipun masih terkesan dingin saat terdengar ditelinga.
Aini melangkahkan kakinya mendekat, ke arah suaminya yang sedang berdiri memunggunginya. Bukan untuk menjawab pertanyaannya melainkan untuk balik bertanya, "Kamu sudah makan malam belum, Mas? Mau aku panasin makanan untuk kamu makan?"
Daffa sampai terpaku mendengarnya, saat bersama dengan Celine dulu dia bahkan tak pernah mendengar mantan istrinya itu bicara seperti ini. Ketika dia pulang terlambat, istrinya itu pasti sudah tidur atau kalau tidak memilih sibuk dengan ponselnya. Sambutan hangat yang diberikan paling hanya berupa kecupan singkat atau sekedar bertanya, kamu sudah pulang?
Begitu berbalik, dia yang sudah sangat lelah nyatanya tak bisa marah saat melihat senyuman hangat menyambut diwajah Aini. Tatapannya begitu meneduhkan hati, hingga tanpa sadar Daffa berani memandangi wajah itu cukup lama.
"Aku sudah makan. Kamu buatkan kopi saja, nanti aku minum setelah aku selesai mandi,"
Aini mengangguk dan seperti tak keberatan dengan perintah yang diberikan oleh suaminya, tak lupa dia memakai hijabnya dulu sebelum keluar kamar. Daffa hanya mampu memandangi kepergian gadis itu tanpa banyak bicara lagi, kenapa gadis itu begitu menuruti ucapannya?
-
-
Selesai mandi, kopi hangat sudah menanti diatas meja. Sementara Aini sedang merapikan pakaian kotor Daffa dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian yang dipakai untuk menaruh pakaian kotor.
"Kamu sudah selesai mandi, Mas? Kopinya ada diatas meja, kamu minum saja dulu sebelum dingin, atau... Kamu mau aku siapkan yang lain?" selesai merapikan pakaian kotor, Aini berjalan mendekati Daffa yang masih berdiri mematung.
"Lain kali kamu tidak usah seperti ini, tidak perlu aku menyuruh apa kamu langsung menurut. Kamu disini sebagai istriku, bukan pembantuku,"
Wajahnya langsung berbinar, apakah dirinya baru saja mendapatkan pengakuan? Jujur, Aini begitu bahagia mendengar saat Daffa mengakuinya sebagai istrinya.
"Bukan pembantu, Mas. Aku hanya berusaha menjalankan kewajibanku sebagai istri kamu, sama sekali aku tidak merasa direpotkan atau bagaimana. Aku melakukannya dengan ikhlas," jawab Aini apa adanya, karena kenyataannya memang seperti itu.
Daffa sampai terdiam, dulu dia menikahi Celine saat mantan istrinya itu masih seumuran Aini. Tapi jujur, sifat dan sikap Aini jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Celine dulu.
"Kamu tidurlah dulu, aku akan menyusul setelah meminum kopinya,"
Aini mengangguk setuju, "Kalau butuh sesuatu yang lain, Mas bisa bangunin aku. Jangan tidur terlalu malam ya Mas, kamu harus menyimpan tenaga kamu untuk beraktivitas besok."
Aini berlalu dan naik ke atas ranjang, dirinya yang memang sudah sangat mengantuk langsung terlelap begitu memejamkan mata. Sementara Daffa masih dibuat bingung dengan sikapnya sendiri, dia sampai tidak bisa banyak berkata apalagi sampai membuat keributan seperti semalam. Sambutan hangat gadis itu benar-benar bisa membuat hatinya sedikit melunak.
-
-
-
Hari ini Aini ijin tidak masuk kerja karena harus menjemput ayahnya yang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hanya sendiri Aini datang karena kedua mertuanya sedang ada urusan hingga tidak bisa ikut menemani.
"Nak Daffa... Kamu tidak datang bareng sama dia, Ai?" tanya Ratri begitu melihat putrinya hanya datang seorang diri tanpa ditemani oleh suaminya.
Aini harus mencari alasan, tidak mungkin kan dia bicara yang sejujurnya jika hubungannya dengan Daffa sebenarnya tidak seharmonis itu. Sikap dingin Daffa tidak mungkin dia bicarakan pada kedua orang tuanya. Karena biar bagaimanapun, dia harus bisa menjaga kehormatan suaminya dengan tidak menceritakan keburukannya pada siapapun, termasuk kepada kedua orang tuanya sendiri.
"Mas Daffa kan kerja, Bu. Tapi tadi dia mengantarkan sampai depan rumah sakit kok," Aini terpaksa berbohong, padahal tadi dia datang dengan taksi online yang dipesankan oleh mama mertuanya.
Yusuf dan Ratri saling menatap. Meskipun tak menunjukkannya, mereka tau jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya.
"Ai, hubungan kamu dan suami kamu baik-baik saja kan? Nak Daffa memperlakukan kamu dengan baik kan?" tanya Ratri, menatap Aini yang sedang membantu merapikan pakaian-pakaian ayahnya dan memasukkannya ke dalam tas.
Sejenak terpaku, Aini berusaha untuk tersenyum begitu menyadari kekhawatiran orang tuanya, "Mas Daffa sangat baik kok Bu. Kami kan baru saling mengenal, jadi butuh waktu untuk proses supaya bisa mengenal lebih dekat lagi."
Yusuf menepuk sofa sebelahnya, "Kemarilah, Nak. Duduk disamping Ayah."
Aini begitu menurut, dia langsung duduk disamping ayahnya begitu disuruh, "Ada apa, Yah?"
Yusuf membelai kepala Aini dengan lembut, dia tau ada yang disembunyikan oleh putrinya. Meskipun tak berucap, tapi dia bisa melihat hanya dari tatapan matanya saja.
"Ai... Jangan pernah merasa pernikahan kalian ini sebagai beban. Apapun yang terjadi didalam rumah tangga kalian, kamu harus bisa mempertahankannya. Mungkin sekarang kalian masih kaget dengan hubungan yang baru kalian jalani ini. Tapi percayalah, Allah sedang menunjukkan jalan-Nya, dan kalian ditakdirkan bersama dalam ikatan suci pernikahan."
Kata-kata Ayahnya begitu menyentuh hatinya, dengan mata yang mulai panas Aini memeluk tubuh sang Ayah dan mendekapnya erat. Dulu, dia selalu bermimpi memiliki seorang suami yang sabar dan penyayang seperti Ayahnya, bisa mengajaknya bercanda dan tertawa bersama.
Namun, sikap seperti itu belum pernah ditunjukkan oleh Daffa padanya. Sikapnya masih tetap saja dingin dan irit bicara. Mereka satu atap, satu kamar, bahkan satu ranjang tapi tetap seperti orang asing. Tidak ada obrolan yang bagaimana, jika bukan dia duluan yang bertanya, Daffa juga enggan untuk bicara.
"Assalamu'alaikum,"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧