Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
E. 25~ Kau Bawa
Pagi hari sekali ketika para istri menyiapkan masakan untuk keluarga Al-Ghifari, Khalisah mengajak Hara untuk duduk di meja bundar sembari memotong bahan-bahan untuk dimasak.
"Hara, aku punya permintaan," lontar Khalisah.
"Mbak, mau minta apa?" balas Hara.
Khalisah menarik napas dulu sebelum berucap, "Aku berencana meminta mas Abi membawaku ikut ke luar kota besok, makanya aku meminta izin padamu karena ini masih dalam pembagian kamu. Ada sesuatu yang perlu aku pastikan. Tetapi kalau kamu kebera--"
"Enggak, Mbak ikut saja," potong Hara, kemudian memberikan senyuman.
"Beneran? Kamu bisa mengajukan protes 'lho. Jangan segan-segan padamu dan menahan perasaan kamu," tutur Khalisah menatap penuh arti pada adik madunya itu.
"Iya, aku nggak masalah. Lagian aku sering keluar rumah sama Mama, sedangkan Mbak jarang keluar rumah walau sama Mama juga nggak diizinkan mas Abi. Jadi, kalau sama mas Abi pasti diizinkan pergi," terang Hara.
Hara tak berbohong. Selama dua bulan lebih pernikahannya dengan Abizar, baru sekali Hara melihat mbak Khalisah keluar rumah dan kedua kali waktu pelariannya. Awalnya Hara berpikir mbak Khalisah sendiri yang tidak suka keluar, rupanya tak diizinkan Abizar begitu kata mama Laili.
"Terima kasih." Khalisah menunduk dan melanjutkan acara memotong wortelnya. Sengaja, agar Hara tak melihat mata berkaca-kacanya.
Jujur, dirinya pun bertanya-tanya alasan mas Abi tak mengizinkannya keluar rumah, namun tidak pernah berani mempertanyakannya langsung pada sang suami.
.
.
.
.
"Kata pak Angga barang-barangnya sudah ada di bagasi," ucap Hara sembari merapikan jas Abizar.
"Barang-barang, untuk apa? Aku tidak memerlukannya dan bisa membelinya di sana." Heran Abizar, namun lebih heran memandangi Khalisah yang ke arahnya memakai tas selempang.
"Nggak boleh gitu, Mas. Nanti barang kita banyak yang nggak kepakai, mubazir. Oh iya, Mas.... Aku ikut ya?" cetus Khalisah membuat Abizar berkedip.
"Apa?"
"Aku sudah mengatakannya pada Hara, dan bilang akan menggantikan waktunya nanti pas kita pulang. Jadi, boleh ya? Aku nggak bakal mengacau," harap Khalisah sampai menangkup kedua tangannya.
Abizar menimang-nimang.
Apa tidak masalah? Aku 'kan pergi bukan untuk liburan. Tapi selama ini Khalisah selalu nurut kalau bepergian.
Abizar menghela napas. "Baiklah."
"Benarkah? Makasih, Mas." Khalisah bersorak riang sampai Hara terkejut. Sangat terkejut karena tak pernah melihat Khalisah bersikap manis, tapi dari ekspresi Abizar yang tersenyum sepertinya sudah biasa bagi pria itu.
Maka berangkatlah Abizar dan Khalisah setelah berpamitan dengan Hara dan mama Laili.
"Mengapa Mas bawa mobil sendiri? Pak Angga nggak ikut?" Khalisah bertanya lantaran pak Angga merupakan supir mereka sekaligus satpam rumah. Tapi akankah Abizar berpikir demikian?
"Kenapa bertanya begitu? Biasanya 'kan kita tidak mengajak pak Angga dalam perjalanan begini, justru Edgar yang biasanya jadi supir tapi sayang sekali aku memecatnya," jawab Abizar sedikit dingin karena tersenyum dengan senyuman.
Khalisah menoleh ke samping.
"Kamu tidak masalah dengan itu, bukan?"
Panjangan Khalisah kembali menjurus ke depan. "Enggak. Meski sudah lima tahun Mas pekerjakan menjadi pengawalku, aku jarang berinteraksi dengannya. Jadi ada dia atau tidak, tidak ada perbedaan. Justru aku merasa lebih bebas."
Abizar mengangguk. "Lalu, mengapa kamu tidak memberitahuku kalau kamu mengenalnya?"
Sontak Khalisah menatap Abizar, ia tersadar sesuatu. "Ma-maaf, aku lupa memberitahu Mas. Tapi aku baru tau waktu dia buka masker saat menemukanku. Kalau sebelum-sebelumnya aku nggak tau karena nggak memperhatikannya."
Mencoba menelisik kebohongan di mata Khalisah, namun Abizar tak menemukannya. Dia menghela napas. "Kalian dekat?"
Khalisah berkedip ditanya begitu, dan otaknya langsung memproses ingatan-ingatan masa lalu bersama Edgar untuk menjawab pertanyaan suaminya. Lalu, menoleh ke sang suami yang fokus ke depan. "Aku dapat menjelaskan dia sebagai seseorang yang apalagi nggak ada, aku tidak tau bagaimana hidupku sekarang."
"Artinya dia bahagian hidup kamu ya?"
"Aku tidak tau perkataan Mas Abi mengarah kemana, tapi maksudku ialah dia berperan besar dalam proses diriku menjadi dewasa tanpa bimbingan orang tua. Bagiku dia pengacau, tapi aku selalu mengambil hikmahnya saja." Khalisah benar-benar menjalankan apa yang dirasakannya, tujuannya agar suaminya tidak salah paham.
Abizar mengangguk. "Kalau begitu, kamu tau Edgar lulusan STIN?"
Tubuh Khalisah bergetar. "Ya, aku taunya pas diserahin syal kelulusannya kepadaku. Karena sebelum itu dia cuma menunjukkan sikap padaku akan jadi polisi."
Khalisah ingat itu, waktu Edgar yang selalu ikut campur dikala ada ketidakadilan di sekolah. Maka dari itulah mereka bertemu, ketika Khalisah diganggu anak-anak nakal waktu di sekolah dasar.
"Lihat, dia menutup wajahnya sekarang. Pasti berubah jelek gara-gara mobilnya meledak," ejek salah satu anak laki-laki dari ketiga laki-laki di depannya.
Khalisah kecil diam dan tetap fokus memungut buku yang jatuh akibat didorong oleh mereka tadi. Namun saat tangannya diinjak, maka lain ceritanya.
"Waah, dia juga menjadi bisu." Lantaran perempuan yang dianiaya tidak menjerit.
Baru hendak menarik kaki yang menginjak tangannya, seruan seseorang membuat semuanya berpaling ke asal suara.
"Hoi!"
"Eh, kamu anak baru itu. Nama kamu Edgar 'kan?" celetuk anak laki-laki lainnya.
"Iya." Edgar mendorong anak laki-laki yang menginjak tangan Khalisah hingga anak laki-laki itu mundur, jadilah sekarang Khalisah bisa melanjutkan mengutip buku-bukunya.
"Terima kasih." Selanjutnya Khalisah tercengang akan tangan yang terulur di hadapannya. Buru-buru Khalisah berdiri tanpa menerima uluran tangannya.
"Terima kasih." Khalisah memutar raganya dan berjalan cepat, tapi siapa yang menyangka anak laki-laki yang membantunya bakal mengikuti.
"Mamaku bilang, nggak baik nolak uluran tangan orang lain."
"Yang mama kamu bilang benar, tapi aku perempuan dan kamu laki-laki nggak boleh bersentuhan. Bukan mahram."
"Ya udah, kamu mahram aku sekarang."
"Mana ada!"
Setelah itu kehidupannya benar-benar berubah, dari kehilangan kedua orang tuanya, latar anak kecil, dan dihadapkan dengan anak jahil ulung sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Waktu Edgar menempuh pendidikan di STIN aku benar-benar merasakan perbedaannya, tapi الحمد لله aku bisa menjalaninya dengan baik. Sekarang, kenapa mas Abi menanyakan soal Edgar yang lulus dari STIN. Apa artinya Mas Abi sekarang tau Edgar berpotensi jadi polisi, dan mungkin mempertanyakan alasan Edgar memilih jadi bodyguard.
"Tapi kenapa Edgar memilih jadi bodyguard di rumah kita?"
Khalisah menghendikkan bahu. "Mungkin gajinya lebih besar."
Spontan Abizar memalingkan muka pada Khalisah sebab mendengar jawaban yang sama untuk kedua kalinya.
"Lagian, kenapa mas Abi tiba-tiba penasaran dengan dia?" Khalisah membalas tatapan sang suami.
"Nggak, nggak ada." Abizar kembali meluruskan pandangan ke depan.
...☠️...
...☠️...
...☠️...
STIN: Sekolah Tinggi Intelejen Negara
Uang parkirnya 😅
Bersama Tisara Al-Muchtar dan juru lainnya ✌️🌻