Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Ketahuan.
"Rania! Apa yang kamu lakukan disini?" kedua bola mata Arbian membulat sempurna melihat keberadaan diriku di rumah Bastian, sahabatnya.
"Bas! Apa-apaan ini! Jadi selama ini kamu menyembunyikan istriku di rumahmu!"gertak Arbian penuh amarah.
"Tenang dulu, Ar, aku bisa jelaskan semuanya, a ...." belum sempat Bastian menyelesaikan ucapannya, sebuah tinju melayang telak di wajah Bastian. Aku terpekik menyaksikan itu. Bastian diam tidak melawan. Secara fisik dia lebih tinggi dari Arbian.
"Mau jelaskan apalagi, Bas. Sudah jelas kamu sembunyikan Rania disini." Arbian kembali melayangkan tinjunya. Namun, kali ini Bastian mengelak membuat Arbian hampir terjungkal. Kembali Arbian menyerang! Merasa terpojok, Bastian melawan sehingga perkelahian itu terlihat sebanding.
"Stop! Aku mohon berhenti!" teriakku berkali-kali. Aku sangat kecewa keduanya berantam karena diriku.
"Cukup Arbi!" hentakku saat kulihat Arbi hendak memukul Bastian lagi.
"Kalian seperti anak kecil saja. Dan kamu Arbi, tidak tahu malu membuat onar di rumah orang!"
"Apa? Kamu menyalahkan aku Rania. Jelas-jelas Bastian telah membohongiku. Aku menanyakan keberadaanmu tapi dia malah bungkam."
"Itu bukan salahnya. Akulah yang telah meminta perlindungan darinya, karena kamu telah mengancam keselamatanku!" hardikku, menahan emosi.
"Dia bukan siapa-siapamu Rania. Kamu meminta tolong pada orang yang salah. Apakah kamu mencintainya, Ra? Hem, tidak kusangka ternyata kamu serendah itu.
"Cukup Arbi. Jaga perkataanmu. Kamu tidak berhak menghinanya!" ucap Bastian emosi.
"Dasar munafik. Jadi selama ini kamu telah menikungku ya." Arbian kembali hendak menyerang Bastian. Tapi gerakannya terbaca oleh Bastian. Kalau saja dia mau, Bastian pasti mudah menghajar Arbian. Secara fisik mereka jauh berbeda.
"Cukup Arbi, cukup!" makiku muak melihat tingkah Arbi yang arogan. Padahal aku berada di rumah ini akibat ulahnya. Seharusnya dia malu pada sahabatnya atas apa yang dia lakukan padaku. Bukannya merasa bersalah malah menuduh Bastian yang bukan-bukan.
"Pergilah, Arbi. Aku sudah muak dengan tingkahmu," dengusku.
"Tidak, kamu harus jelaskan Bas, sejak kapan kamu menyukai istriku. Apa saja yang telah kalian lakukan selama ini!"
"Bugh! Bugh!"
Bastian meninju perut dan wajah Arbian hingga jatuh terjengkang.
"Jaga mulutmu, Ar. Aku menghormati Mbak Rania. Tidak seperti kau yang bertingkah seenak perutmu. Dasar lelaki pengecut!"
Arbian mencoba berdiri, mengusap sudut bibirnya bekas ditinju Bastian. Dengan langkah terhuyung Arbian mendekati Bastian.
"Aku tidak menduga kau merusak persahabatan kita, Bas."
"Aku tidak merusak apa-apa, Ar. Soal aku mencintai Mbak Rania, kuakui sejujurnya. Tapi bukan berarti aku memamfaatkanya seperti yang kamu lakukan. Mbak Rania terlalu berharga di mataku." Ungkap Bastian membuatku syok. Aku tidak menyangka dia akan berbicara seperti itu dengan gamblang.
"Sejak pandangan pertama aku sudah menyukai Mbak Rania. Dia telah mengingatkan aku pada Riani kekasihku yang telah pergi untuk selamanya.Tapi tidak sekalipun aku berniat untuk merusak rumah tanggamu. Namun, setelah aku mengetahui hal yang sebenarnya, aku akan berjuang untuk itu." Bastian menatap Arbi lekat. Setiap kata yang meluncur dari mulutnya begitu meyakinkan siapa yang mendengar.
Arbian mundur satu langkah, seolah tidak percaya ucapan sahabatnya itu.
"Kamu tidak akan pernah mendapatkan Rania, Bas. Karena aku tidak akan pernah menceraikannya!" ucap Arbian tegas lalu bergegas pergi begitu saja.
"Maafkan kata-kataku, Mbak," desah Bastian menarik napas panjang begitu Arbian pergi.
"Siapa Riani?" tanyaku tak lampias. Aku masih syok mendengar pengakuan Bastian barusan. Kenapa namanya sekilas mirip denganku. Apakah wajahku juga mirip, sampai mengingatkan Bastian pada masa lalunya. Kalau hanya karena nama yang hampir sama, rasanya mustahil Bastian berucap seperti itu. Barusan dia mengaku jatuh cinta padaku, yang berakhir membuat aku dan Arbi kaget. Yang benar saja.
"Dia teman masa kecilku, Mbak. Kalau saja dia tidak meninggal dalam pangkuanku, kukira dia masih hidup." Bastian mengusap wajahnya yang penuh duka, " dia sudah pergi sepuluh tahun yang lalu. Mbak seperti pinang dibelah dua dengan Riani."
Aku tertegun mendengar kata itu. Ingatanku melayang saat pertama kali kami bertemu di resepsi pernikahan sepupunya Arbi. Tatapan lekat Bastian saat itu sempat membuatku gusar. Juga saat aku menabrak tubuhnya. Ada sesuatu yang asing dalam pandangannya. Ternyata semua itu karena aku telah mengingatkannya pada seseorang.
"Turut berduka cita ya," ucapku seraya duduk berseberangan di sofa.
"Bagaimana dengan Arbi, aku khawatir dia akan berbuat sesuatu yang merugikan, Mbak." Bastian menatapku. Kembali desiran aneh itu menjalari wajahku saat kedua manik mata kami bersirobok.
Aku mengalihkan pandanganku saat netra itu mengungkungku. Seperti udang yang direbus, aku merasakan wajahku memerah.
"Soal pengakuanku tadi, Mbak, aku tidak main-main. Bukan karena Mbak mirip dengan Riani. Tapi aku sudah jatuh hati sejak pandangan pertama. Terserah Mbak mau percaya atau tidak. Tapi aku harap Mbak tidak benci padaku." ungkapnya panjang lebar.
Seperti ada aliran air es membasahi hatiku yang gersang, saat mendengar ucapan itu. Namun, aku harus menahan diri. Aku berharap ucapan Bastian bukan hanya sekedar rayuan semata. Atau karena dia kasihan padaku.
Jika kami memang berjodoh, kuharap itulah yang terbaik. Tapi saat ini aku masih terikat perkawinan dengan Arbi. Dengan sifatnya yang egois tidak akan mudah baginya melepaskan ikatan diantara kami.
***
Pagi itu, cuaca cerah bersinar. Beda dengan kemarin hampir seharian hujan turun. Aku menapaki jalan setapak menuju kantorku. Rumput yang basah oleh sisa hujan semalam membasahi ujung sepatuku.
Kudorong pintu itu. Langkahku terhenti saat melihat Arbi telah duduk di sofa tamu. Sepagi ini di sudah kemari. Ada urusan apa?
"Rania?" ucapnya lembut menyongsong langkahku. Dia menjejeri langkahku karena aku lanjut berjalan ke arah ruanganku.
"Ra, maafkan ucapanku tempo hari itu. Saat itu aku benar-benar cemburu melihat kamu ada di rumah Bastian." Arbian menghadang langkahku, mau tidak mau aku terpaksa berhenti.
Kuedarkan padanganku pada ke sekitar, satu persatu rekanku sudah berdatangan.
"Sebenarnya apa maumu, Bi," dengusku kesal.
"Ra, aku mohon beri aku kesempatan. Kita mulai dari awal." Pintanya penuh harap.
"Lantas Gladys?" delikku menatap tajam ke arahnya.
"Aku akan meninggalkannya."
"Semudah itu? Setahun sudah kita hidup bersama apa kamu pernah menghargai perasaanku. Saat ini yang kutunggu darimu adalah selembar surat cerai itu." ucapku lugas.
"Ra, itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak! Ayolah, Bi, jangan naif. Aku tidak akan pernah percaya kamu bisa melepas, Gladys. Lagian kasihan dia, selama ini kau permainkan. Jadilah pria bijak." Aku melangkah pergi. Tidak peduli bagaimana perasaannya. Toh, selama ini dia juga tidak peduli perasaanku.
"Rania, tunggu!" Arbi mengejar langkahku.
"Jadi kamu serius untuk berpisah? Kamu tidak akan dapatkan apa-apa kalau kita bercerai."
"Aku tidak butuh uang dan hartamu itu, Bi. Selama ini kamu mengira aku menikah karena uangmu 'kan? Kamu lupa aku juga punya karir." Dengusku pongah! ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor