Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Reno Darmawan
Di ruang keamanan apartemen, suasana masih dipenuhi ketegangan. Anton duduk di kursi dengan punggung membungkuk, sementara Maya mondar-mandir dengan tangan disilangkan. Raka bersandar pada meja kontrol, tatapannya terpaku pada layar CCTV yang menunjukkan rekaman koridor lantai enam. Aurel, di sisi lain, masih sibuk mencari rekaman yang mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi di kamar 609.
Anton meneguk air mineral dari botol plastik, tangannya masih gemetar. “Gue bilang apa? Gue udah bilang jangan ikut campur!”
Maya berhenti mondar-mandir dan menatap Anton. “Terus kita harus gimana? Pura-pura nggak lihat? Lo sendiri yang lihat ada mata di dalam lemari itu, kan?”
Anton meremas botol plastik di tangannya, menghela napas panjang. “Iya, tapi…”
“Tapi kita udah terlibat,” potong Raka. “Dan kita nggak bisa pura-pura nggak tahu.”
Aurel akhirnya bersuara, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar komputer. “Kita perlu cari tahu siapa yang tinggal di kamar itu sebelumnya.”
Anton menyandarkan kepalanya ke belakang, menghembuskan napas berat. “Gue bakal coba cek di arsip apartemen, tapi jangan harap ada banyak informasi.”
Maya mengernyit. “Kenapa?”
“Karena nggak semua penghuni apartemen suka datanya didokumentasi rapi,” jawab Anton. “Ada yang nyewa lewat pihak ketiga, ada yang langsung bayar cash tanpa banyak administrasi.”
Aurel mengetuk layar komputer dengan jarinya. “Tapi ini apartemen resmi, harusnya ada data penyewanya.”
Anton mendengus. “Harusnya.”
Mereka akhirnya berpencar. Anton ke bagian administrasi apartemen, sementara Raka dan Aurel tetap di ruang keamanan untuk mencari lebih banyak petunjuk dari CCTV. Maya, yang merasa tak banyak bisa dilakukan, akhirnya ikut membantu dengan mencari informasi online tentang kejadian aneh di apartemen itu.
________________________________________
Keesokan harinya
Anton datang dengan setumpuk dokumen yang baru saja ia dapatkan dari bagian administrasi apartemen. Ia meletakkannya di meja ruang keamanan, menatap Raka dan Aurel yang sudah menunggu.
“Gue dapet sesuatu,” katanya sambil duduk.
Raka mengambil salah satu dokumen dan mulai membacanya. “Reno Darmawan…”
Anton mengangguk. “Nama ini tercatat sebagai penghuni kamar 609 tiga bulan yang lalu. Tapi yang bikin aneh… dia dinyatakan menghilang.”
Maya, yang baru datang, mendekat dengan ekspresi penasaran. “Menghilang? Maksud lo gimana?”
Anton menyodorkan dokumen lain. “Dia tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Keluarganya sempat mencari, tapi nggak ada jejak sama sekali. Polisi bahkan pernah datang ke apartemen ini buat investigasi, tapi nggak menemukan apa-apa.”
Aurel mengernyit, membaca detail dalam laporan itu. “Tapi kalau dia menghilang tiga bulan lalu… siapa yang tinggal di kamar 609 sekarang?”
Anton mengangkat bahu. “Itu dia masalahnya. Kalau menurut data apartemen, kamar itu udah kosong selama dua tahun.”
Maya mengerutkan dahi. “Tapi lo bilang ada orang yang pindah ke sana sebulan lalu?”
Anton menatap mereka satu per satu. “Iya. Gue jelas lihat ada orang yang bawa koper, gue bahkan sempat lihat lampu kamar itu nyala beberapa kali.”
Hening.
Raka menatap dokumen di tangannya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Anton. “Kalau kamar itu kosong selama dua tahun, siapa yang lo lihat?”
Anton menggigit bibirnya, merasa tengkuknya mulai dingin.
Maya menelan ludah. “Mungkin… yang lo lihat bukan manusia.”
Suasana semakin sunyi.
Raka akhirnya berbicara. “Kita perlu masuk ke kamar itu lagi.”
Anton menatapnya tidak percaya. “Lu gila?”
Aurel menyeringai, mata cokelatnya berbinar penuh rasa penasaran. “Aku setuju.”
Anton menutup wajahnya dengan kedua tangan, mengeluh pelan. “Gue benci kalian.”
________________________________________
Malam itu, pukul 01:30
Mereka kembali ke lantai enam.
Koridor tampak lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara TV dari kamar lain, tidak ada langkah kaki penghuni yang keluar-masuk apartemen. Seolah seluruh lantai ini telah menjadi milik mereka… dan sesuatu yang bersembunyi di kamar 609.
Maya menggigit bibirnya, menempel pada Anton yang berjalan di sampingnya. “Kenapa rasanya lebih dingin dari biasanya?”
Anton mengusap lengan atasnya, ikut merasakan hawa aneh yang menyelimuti lorong. “Gue juga ngerasa… aneh.”
Raka berjalan di depan, tangannya sudah bersiap di gagang pintu kamar 609. Aurel berdiri di sampingnya, menyorotkan ponselnya ke arah pintu.
Mereka semua menahan napas.
Raka menarik napas panjang, lalu mencoba membuka pintu.
Terkunci.
“Anton?” Raka menoleh.
Anton mendesah. “Ya, ya, gue ngerti.” Ia mengambil alat lockpicking sederhana yang ia pinjam dari bagian keamanan apartemen.
Saat Anton sibuk membuka kunci, Maya terus mengawasi sekeliling lorong. Ia merasa ada sesuatu yang memperhatikan mereka.
Dan kemudian…
Klik.
Pintu kamar 609 terbuka.
Anton menelan ludah. “Oke… kita masuk atau enggak?”
Raka tak menjawab. Ia mendorong pintu perlahan.
Kegelapan menyambut mereka.
Aurel masuk lebih dulu, mengarahkan senter ponselnya ke seluruh ruangan. Semua tampak sama seperti terakhir kali mereka ke sini—debu tebal di lantai, jendela tertutup rapat, dan lemari besar di sudut ruangan.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di lantai, ada jejak kaki.
Anton membeku. “Itu bukan jejak kita, kan?”
Maya berbisik, “Jejaknya mengarah ke… lemari itu.”
Semua menoleh ke lemari besar di sudut ruangan.
Seolah merasakan tatapan mereka, lemari itu… bergetar pelan.
Maya mundur selangkah. “Gue nggak suka ini.”
Lalu terdengar suara dari dalam lemari.
Suara pelan. Serak.
"Tolong…"
Anton tersentak. “Apa-apaan itu?”
Raka melangkah maju, mendekati lemari.
"Tolong aku…"
Suara itu semakin jelas.
Jari-jarinya menyentuh gagang lemari.
Anton mencengkram lengannya. “Raka, jangan.”
Tapi terlambat.
Raka menarik pintu lemari terbuka.
Dan di dalamnya…
Seseorang berdiri.
Atau lebih tepatnya… sesuatu yang menyerupai manusia, dengan tubuh kurus kering, mata kosong, dan senyum lebar yang tidak seharusnya ada di wajah seseorang.
Maya berteriak.
Anton tersentak mundur.
Aurel terpaku, tangannya gemetar.
Dan Raka?
Ia membeku di tempat, berhadapan langsung dengan makhluk yang seharusnya tidak ada.
Makhluk itu mengangkat tangannya.
Dan…
Lampu kamar tiba-tiba mati.
Koridor lantai enam berubah sunyi.
Di dalam kegelapan, hanya terdengar suara napas mereka yang tercekat—dan suara lain yang lebih pelan, lebih menyeramkan…
"Kalian… tidak seharusnya ada di sini."
ke unit lantai 7