"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Help
◻️◻️◻️
Mayra berjalan dengan santai ke depan meja guru dan meletakkan kertas ulangan miliknya.
"Kamu yakin sudah menjawab dengan benar?"
Mayra mengangguk cepat. "Kalau gak yakin coba ibu periksa."
Bu guru yang bernama Yeyen yang kebetulan mengajar kimia memeriksa kertas hasil ulangan Mayra. Memeriksanya dengan teliti dan seperti biasa jawaban Mayra selalu tepat, tak ada yang keliru.
"Bagaimana selalu bisa menjawab semuanya dengan tepat Mayra?"
"Belajar lah Bu."
"Gak pernah tuh ibu liat kamu belajar, biasanya cuman keluyuran di sekolah."
Mayra mengedikkan bahu acuh. "Belajar gak harus di sekolah kan Bu? Bisa aja yang belajar di sekolah, udah nyampe rumah ilmunya berceceran di jalan waktu pulang."
Bu Yeyen menghela napas. Gerah dengan Mayra yang selalu saja bisa menjawab. "Kalau kamu tidak nakal, kamu bisa jadi juara umum peringkat pertama."
"Mayra gak peduli. Mayra belajar buat diri Mayra sendiri Bu, bukan buat jadi juara umum di sekolah yang namanya di pamerin di mading sekolah."
"Tapi nama kamu juga ada di mading sekolah dengan peringkat kedua Mayra."
"Itu bukan keinginan Mayra Bu."
Mayra mundur satu langkah. "Udah selesai kan bu? Mayra mau jajan—lapar," ucap Mayra sambil menepuk-nepuk perutnya.
Bu Yeyen menggelengkan kepalanya. "Ya sudah sana pergi. Ibu pusing denger ocehan kamu."
"Ibu yang ngajak Mayra ngoceh." Mayra menggerutu dan pergi ke luar dari kelasnya. Langsung saja otaknya memikirkan makanan yang menggiurkan dan banyak dijual di kantin. Mie ayam—sial!
Kenapa di saat seperti ini, ia bisa kebelet pipis?
Dan rasanya semakin ... gawat!
Mayra berlari kencang melewati koridor yang masih lengang.
Ia mendesah lega saat sudah duduk di closet.
Akhirnya.
Mayra menutup pintu toilet dan segera bergegas untuk mengisi perutnya yang selalu keroncongan tapi tak buncit-buncit ini. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, ia seperti mendengar sesuatu. Rasa kepo yang sudah mendarah daging dalam diri Mayra, membuatnya menghampiri asal suara itu. Ia berjalan dengan pelan, nyaris tanpa suara.
Matanya membelalak seketika saat melihat sesuatu. Oh no! Sesuatu yang sungguh-sungguh tak patut untuk dilakukan.
Di sana Varidza terduduk di lantai dengan seseorang dia atasnya!
Bukan! Ini bukan seperti pikiran kalian yang menganggap Varidza sedang bermesum ria di tempat bekas toilet ini.
"Sialan! Ngapain lo hah?!"
Mayra menarik kasar perempuan itu yang menjambak rambut Varidza, Nina. Ia mendorong keras Nina hingga terjatuh ke lantai, untung antek-antek yang ikut dengan aksi Nina melarikan diri begitu saja saat melihatnya. Pengaruh Mayra memang separah itu, orang-orang akan menyingkir bila sudah melihat wajah sangar Mayra.
Varidza berusaha bangkit dari jatuhnya, ia meringis pelan. Mayra membantunya. Saat ia meraih tangan Varidza, Varidza merintih.
"Anjing! Lo ngapain Idza sampe berdarah kayak gini?!" teriak Mayra kesal sambil membantu Varidza sepenuhnya berdiri. Ia mengamati lengan Varidza yang terkena pecahan kaca.
"Lo gak papa dza?"
Varidza menggeleng lemah. Hingga kepalanya terasa berat dan ia tak sadarkan diri.
"Sial!"
Mayra menatap nyalang Nina. Yang ditatap malah menantang balik.
"Pergi sana! Lo mau gue laporin hah?!" pekik Mayra.
Nina langsung pergi meninggalkannya begitu saja dengan wajah tanpa dosanya itu.
"Gue bales nanti lo Nina bobo!"
Mayra menopang tubuh Varidza yang sudah tak sadarkan diri. Ia mendudukannya di lantai bertanah yang tak terdapat pecahan kaca. Karena hampir semua bagian lantai yang sudah berlapis tanah itu dipenuhi dengan pecahan kaca yang dipastikan itu memang sudah ada sejak lama dilihat dari tampilannya. Bekas toilet ini memang tak pernah ada yang mendatangi. Tapi apakah penjaga tak pernah membersihkannya?
Mayra bingung ingin melakukan apa. Ia tak berpengalaman dengan hal ini.
Gawai miliknya bergetar getar dalam saku seragamnya.
Kebetulan sekali.
"Kak Vida! Ini gimana? Varaidza pingsan terus tangannya berdarah-darah! Mayra harus apa?!" langsung saja Mayra nyerocos sebelum kakaknya mengucapkan satu patah kata.
Mayra berjongkok dan mengecek napas Varidza. Apakah masih bernapas atau tidak.
Dasar teman gila! Secara tidak langsung mendo'akan temannya mati.
Mayra hanya memastikan saja. Jangan fitnah, dosa.
"Ceritanya panjang. Pokoknya ini Mayra harus apa? Gimana kalau Varidza kenapa-napa? Cepetan Kak!"
Mayra mendengarkan dengan seksama ucapan sang kakak.
"Ok. Mayra tungguin. Cepetan jangan lama-lama!"
Mayra menyimpan kembali gawainya ke dalam saku seragam.
Sekitar sepuluh menit menunggu akhirnya kakaknya datang lewat gerbang belakang dengan napas yang terengah-engah.
"Bawa ke mobil."
"Mana mobilnya?"
"Di luar."
"Gak dimasukkin?"
Vida mendesah malas. "Gerbang segede uprit gitu bisa masuk mobil? Udah lah mending sekarang kita bawa Varidza ke mobil."
Mayra mengangguk saja dan membopong Varidza berdua dengan Vida. Beberapa kali Mayra sempat terjatuh ke tanah dan membuat seragamnya belepotan tanah.
"Nanti Mayra nyusul."
Vida mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya untuk segera sampai ke rumah sakit.
Mayra menghembuskan napas lega. Hatinya sudah tenang. Varidza sudah bersama Kakaknya yang seorang Dokter itu.
Ia berjalan kembali mendekati gerbang karna satpam penjaga gerbang belakang sudah meneriaki namanya. Untung tadi diperbolehkan karna melihat sendiri keadaan Varidza yang mengenaskan.
Sepatunya seperti menginjak sesuatu. Ia membuang mukanya ke bawah dan meraih sesuatu.
Sebuah gelang. Dengan inisial VK.
Ini milik Varidza. Nanti ia akan memberikannya pada Varidza.
Mayra sedikit berlari untuk mencapai gerbang yang berjarak beberapa meter dengan tubuhnya.
Gerbang ditutupnya dengan rapat. Betapa kagetnya ia saat berbalik dan menadapati beberapa orang yang berkumpul dengan wajah khawatir di sana.
Sial!
◻️◻️◻️
Ini sudah seminggu lebih sejak Mayra menginap di rumahnya. Semuanya berjalan seperti biasa, namun tidak dengan kegundahan yang dialami Fero. Ia merasa ada yang kurang dan harus diperbaiki. Tapi apa?
"Kok kamu pulang cepet sih Fero? Ini kan hari Minggu."
"Fero ada urusan Mom. Sore ke sini lagi, nginep."
Fero memeluk Mommy dan mencium pipinya.
"Hati-hati."
Fero mengangguk dan melambaikan tangannya pada sang mommy. Ia berjalan mendekati motor hitam kesayangannya dan menyalakannya. Klakson ia nyalakan sebagai salam perpisahan pada ibunya.
Selama tiga hari ini Fero menginap di rumah orang tuanya. Dan ini hari Minggu, Fero ingin mengecek keadaan apartemennya.
Tak butuh waktu lama, ia segera sampai di basement. Fero memarkirkan motornya dengan apik. Lalu melepas helmnya. Kakinya berjalan pelan hingga seseorang menghampirinya dan menoel lengannya.
"Bang Fero," sapanya.
"Kapan lo pulang?"
"Udah dari dua minggu yang lalu."
Fero melihat pergelangan tangan gadis ini, Varidza—yang diperban dan wajahnya pucat. "Lo kenapa?"
Varidza memamerkan senyum di wajah pucatnya. "Gak papa, cuman sakit sedikit."
"Sedikit dari mananya sampai diperban kayak gini, hm?" tanya Fero.
"Kan udah baik-baik aja." ucapnya sambil tersenyum lagi.
Fero menghela napas. Ia menuntun Varidza untuk berjalan di sampingnya.
Sosok Varidza selalu mengingatkannya pada orang yang telah meninggalkannya, dulu. Ceria, selalu tersenyum, lemah lembut namun kadang konyol di saat yang bersamaan.
Fero ingat, ia ingin menanyakan Mayra pada Varidza. Sekaligua mendengar kabarnya, karena waktu itu ia tak meminta nomor Mayra. Hanya Mayra yang memiliki nomornya. Katanya mau membantu belajar, tapi malah gak ada kabar.
"Lo punya temen yang namanya Mayra?"
Varidza mengangguk. "Iya. Itu yang pake sweater item." Ia menunjuk Mayra yang masih jauh dari jangkauannya.
Fero mengikuti arah pandang Varidza. Ada Mayra di sini. Tak sadar Fero tersenyum.
"Naksir ya?" tanya Varidza to the point.
Fero menekan tombol lantai mereka. Lift pun tertutup seketika, ketiga remaja yang tertinggal yang di sana ada Mayra menaiki lift yang berada di sebelahnya, karena tak keburu untuk naik lift bersama.
"Kata siapa?"
"Masa? Terus kenapa nanyain?"
Fero menatap Varidza dengan sedikit senyuman, "Gak boleh?"
Hanya pada Varidza, ia seterbuka ini.
"Boleh. Tapi mencurigakan."
Sorot mata Varidza memicing tajam pada Fero. "Pasti terjadi sesuatu sama kalian berdua."
Fero mengalihkan pandangan pada dinding lift. Varidza itu pandai membaca ekspresi dan situasi. Melihatnya saja Varidza sudah bisa menebak.
"Kalau gak mau ngaku gak papa. Biar gue ceritain aja. Mayra itu temen gue, kakak kelas di sekolah. Dia yang nolongin gue tiga hari yang lalu saat ada sesuatu di sekolah sampai kayak gini. Dia itu bar-bar, suka pergi ke club—ah, jangan-jangan kalian ketemu di sana ya?" tanya Varidza.
Fero diam saja.
"Kalau mau ngedeketin gakpapa. Deketin aja sana, lagipula Mayra lebih sering nginep di sini. Pasti kalian sering ketemu."
Untung saja mereka sudah ada di lantai yang mereka tuju sehingga Fero tak perlu menjawab segala pertanyaan Varidza.
Fero berjalan cepat masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Varidza yang tersenyum saja.
Pintu ditutup dengan rapat oleh Fero.
Matanya mengedar pada sekeliling apartemennya. Sedikit kotor, nanti ia akan memanggil petugas kebersihan.
Ia memasuki kamarnya. Dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas kasurnya. Dan tanpa sadar terlelap sampai satu jam lebih. Sampai dimana situasi Fero membuka matanya perlahan. Sebentar, suara apa itu?
Seperti suara gedoran pintu. Dan ... teriakan seseorang yang meneriakkan namanya.
"FERO! BUKA PINTUNYA!"
Fero mengenal suara itu.
◻️◻️◻️