Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enak
Laura duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong mengarah ke lantai kayu. Suara gemericik air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi pikirannya jauh dari sana. Tangannya masih menggenggam erat jaket Max, seolah kain itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap berakar pada kenyataan.
Ia menghela napas panjang, membiarkan keheningan menyelimutinya.
Pikirannya melayang ke tahun-tahun yang telah ia habiskan sebagai istri Nicholas. Pernikahan mereka tidak selalu dingin. Dulu ada cinta di sana, atau setidaknya itulah yang ia yakini.
Perhatian yang dulu diberikan Nicholas dengan mudah berubah menjadi keacuhan yang menusuk. Percakapan mereka semakin jarang, sentuhan mereka semakin jauh, hingga pada akhirnya, Laura merasa seperti bayangan dalam rumahnya sendiri.
Ia ingat bagaimana dulu ia selalu menunggu Nicholas pulang, berharap ada pelukan hangat atau sekadar obrolan ringan tentang hari mereka. Namun, yang sering ia dapatkan hanyalah jawaban singkat, tatapan kosong, atau lebih buruk lagi—punggung Nicholas yang berbalik tanpa kata.
Lalu, kapan terakhir kali Nicholas menyentuhnya bahkan untuk sebuah kewajiban?
Laura terdiam, mencoba mengingat, tetapi yang ada hanyalah kehampaan.
Matanya mengarah ke cermin di meja rias. Ia menatap bayangannya sendiri—seorang wanita dengan rambut yang sedikit berantakan, bibir yang kering, dan mata yang menyimpan terlalu banyak rahasia.
Apakah ini dirinya sekarang?
Seorang istri yang tak lagi dicintai? Seorang wanita yang bahkan tidak mengenali dirinya sendiri?
Laura berdiri dan berjalan pelan ke cermin, menelusuri refleksinya dengan sorot mata yang tajam. Jemarinya menyentuh kulit wajahnya, seolah mencoba mengingat kapan terakhir kali ia benar-benar melihat dirinya sendiri—bukan sebagai istri seseorang, bukan sebagai bayangan di rumahnya sendiri, tetapi sebagai Laura.
Bukan Laura yang setia menunggu panggilan Nicholas yang tak kunjung datang. Bukan Laura yang meredam keinginannya sendiri demi menjaga ilusi pernikahan.
Tapi Laura yang bebas.
Bebas? Lalu ingin tertawa saat menemukan ia tidak pernah mengenal kata bebas.
Dia tidak bisa bebas bertemu ayahnya, bahkan hingga detik ini. Dia tidak bisa melakukan apa pun saat ibunya masih hidup. Laura harus mendengarkan semua ucapan ibunya dan Laura harus menuruti perintah Nicholas.
Sekarang? Dia ingin bebas!
Dan entah bagaimana, pikirannya kembali pada Max.
Max yang tadi berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan intensitas yang membuat tubuhnya merespons sesuatu yang sudah lama mati rasa.
Dada Laura naik turun perlahan. Ia tidak bodoh. Ia tahu apa yang sedang ia lakukan. Ini bukan tentang Max. Ini tentang dirinya sendiri.
Pintu kamar mandi terbuka.
Laura tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, melihat Max keluar dengan rambut basah dan handuk yang melilit pinggangnya. Setetes air masih mengalir dari dadanya yang bidang, turun mengikuti lekukan perutnya. Tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah sorot mata Max—tenang, mengamati, seolah bisa membaca setiap pikirannya tanpa perlu bertanya.
"Segar sekali. Kamu bisa gunakan kamar mandinya jika kamu ingin mandi, Lau," gumam Max, bukan sebagai titah yang biasa digunakan Nicholas.
Laura tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, hatinya masih berdebar dengan sisa emosi yang tadi ia rasakan.
Max berjalan mendekat, tetapi tidak langsung menyentuhnya. Ia hanya berdiri di sana, menunggu.
Hanya menunggu.
"Atau kamu mau langsung istirahat?" Max bertanya
Laura menghela napas pelan. Ia merasa pikirannya terlalu berisik, hatinya terlalu sesak. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan diri, sesuatu yang bisa membuatnya merasa… bersih.
"Ya, aku akan mandi," ucapnya akhirnya, suaranya lebih lirih dari yang ia kira.
Max mengangguk, lalu mengambil pakaian bersih dari koper dan meletakkannya di atas ranjang. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memberinya ruang, membiarkannya mengambil keputusan sendiri—sesuatu yang terasa asing bagi Laura, setelah bertahun-tahun hidup dalam pernikahan yang kaku.
Laura mengambil handuk, lalu melangkah ke kamar mandi dengan langkah ragu. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia bersandar sejenak, memejamkan mata.
Uap air hangat masih memenuhi ruangan, menyelimuti kulitnya dengan rasa nyaman. Dengan gerakan lambat, ia menyalakan pancuran dan membiarkan air mengalir, membasahi tubuhnya. Suhu hangatnya meresap ke kulit, membuatnya menghela napas panjang.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Laura merasa bisa bernapas.
Air mengalir dari puncak kepalanya, turun melewati bahunya, punggungnya, membawa serta beban yang terasa menempel di tubuhnya. Tangannya menyentuh lehernya sendiri, turun ke lengannya—seolah memastikan bahwa ia masih ada. Bahwa ia bukan sekadar istri Nicholas. Bahwa ia masih seorang wanita.
Pikirannya kembali pada Max. Cara pria itu menatapnya, memperlakukannya bukan sebagai seseorang yang harus ditahan atau dikendalikan, melainkan sebagai seseorang yang berhak memilih.
Berhak merasa diinginkan.
Laura membuka mata, menatap bayangannya di cermin kecil yang tertutup embun di atas wastafel. Ia mengangkat tangan dan menyapukan jemarinya, menghapus uap yang menutupi refleksi dirinya.
Di sana, ia melihat seorang wanita yang berbeda.
Tidak lagi hanya bayangan kosong dalam rumah tangga yang dingin. Tidak lagi seseorang yang menunggu untuk dicintai.
Tapi seseorang yang ingin menemukan dirinya kembali.
Seseorang yang, untuk pertama kalinya, ingin memilih dirinya sendiri.
—
Saat Laura selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, Max masih ada di kamar, duduk di sofa dengan santai, memainkan ponselnya. Ia menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka.
Mata pria itu mengamati Laura dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya masih basah, pipinya kemerahan karena air hangat, dan ia mengenakan kaos serta celana pendek yang tadi disediakan Max. Ukurannya sedikit kebesaran, tapi terasa nyaman.
Max tidak berkata apa-apa untuk beberapa detik, lalu tersenyum kecil. "Kamu terlihat lebih segar."
Laura tidak langsung menjawab. Ada sesuatu yang aneh dalam hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama.
"Terima kasih," gumamnya akhirnya.
Max menepuk tempat kosong di sebelahnya di sofa. "Mau duduk di sini? Atau kamu mau langsung tidur?"
Laura menatap pria itu, lalu melirik ranjang. Tidur? Ia tidak yakin bisa tidur malam ini. Tidak dengan semua perasaan yang masih berkecamuk dalam dirinya.
Mungkin, untuk kali ini, ia ingin duduk sebentar. Berbicara. Merasakan kehadiran seseorang yang benar-benar ada untuknya.
Ia melangkah mendekat dan duduk di samping Max.
Tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
Lalu, Max tiba-tiba beranjak. Ia berjalan ke sudut kamar, mengambil handuk kecil, lalu kembali dengan langkah tenang.
"Rambutmu basah," katanya, nadanya santai, seolah itu hal yang wajar. "Akan kukeringkan."
Sebelum Laura sempat bereaksi, Max sudah duduk di belakangnya. Ia merasa ada kehangatan di dekatnya, kehadiran yang begitu nyata.
Max mulai mengusap rambutnya dengan lembut, gerakan tangannya perlahan, penuh perhatian.
"Kamu punya rambut yang indah," gumamnya setelah beberapa saat. "Aku sudah menyadarinya sejak pertama kali melihatmu."
Laura tersenyum kecil, tidak yakin harus merespons seperti apa. Sudah lama sekali ada yang memperhatikannya seperti ini.
"Baunya juga sangat enak," lanjut Max, suara rendahnya terdengar menggoda. "Entah kenapa, sampo ini lebih wangi saat kamu yang memakainya."
Laura tertawa pelan. "Itu hanya perasaanmu."
"Tidak. Serius." Max menyapukan handuk di rambutnya dengan lebih lembut. "Mungkin karena baunya bercampur dengan aromamu," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri, sebelum jemarinya dengan lembut menyapukan helaian rambut Laura ke belakang.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura