Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Seminggu setelah acara perkumpulan istri pengusaha, Anggun mendapati dirinya berdiri di depan cermin dengan gaun biru tua yang elegan. Malam ini, ia akan menghadiri makan malam pribadi yang diadakan oleh Nina Hartono, dan meskipun ia merasa lebih siap dibandingkan sebelumnya, tetap ada kegelisahan di hatinya.
Kala mendekat dari belakang, membiarkan tangannya melingkar di pinggang Anggun. "Kau terlihat luar biasa," bisiknya di dekat telinganya.
Anggun tersenyum kecil, menatap pantulan mereka di cermin. "Aku masih bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat."
Kala menghela napas. "Aku masih bisa membatalkannya untukmu."
Anggun menoleh, menatapnya tajam. "Aku bisa menghadapinya, Kala."
Pria itu menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi aku tetap akan mengawasimu dari kejauhan."
---
Restoran tempat acara diadakan memiliki suasana mewah namun intim. Para tamu sudah mulai berkumpul, sebagian besar adalah istri dari para pengusaha ternama. Saat Anggun masuk, beberapa kepala menoleh.
"Ah, Nyonya Pranaja!" suara Nina terdengar, menyambutnya dengan senyum lebar.
Anggun mengangguk sopan. "Terima kasih atas undangannya, Bu Nina."
Nina meraih lengannya, menggiringnya ke tengah kelompok. "Aku ingin kau bertemu dengan beberapa teman kami."
Percakapan di meja berjalan cukup lancar, meskipun Anggun bisa merasakan beberapa tatapan meneliti dirinya.
"Jadi, Anggun," seorang wanita dengan gaun merah anggur membuka suara, "Kau bukan dari keluarga pengusaha, bukan?"
Anggun tersenyum tipis. "Tidak, saya tumbuh dalam keluarga biasa."
Wanita itu—Diana—mengerucutkan bibir. "Pasti butuh banyak penyesuaian, ya? Dunia ini tidak mudah bagi orang luar."
Anggun tetap tenang. "Memang tidak mudah, tapi saya tidak menganggapnya sebagai rintangan. Saya hanya menjalani peran saya sebaik mungkin."
Diana tersenyum tipis, tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kemudian suara lain menyela.
"Tentu saja, Anggun belajar dengan cepat," kata Nina sambil melirik Diana seolah memperingatkannya. "Itulah sebabnya dia bisa berada di sini hari ini."
Percakapan berlanjut ke topik bisnis dan kegiatan sosial. Anggun mendengarkan dengan saksama, sesekali menambahkan pendapatnya, hingga tiba-tiba seorang pelayan membisikkan sesuatu ke telinga Nina.
Nina mengangguk lalu berdiri. "Maaf, aku harus menyambut tamu lain. Anggun, kau baik-baik saja di sini?"
Anggun mengangguk, meskipun ia sedikit penasaran siapa tamu yang dimaksud.
Saat Nina pergi, Diana kembali bersuara. "Jadi, Anggun, apa rencanamu ke depan? Hanya menjadi istri Kala, atau kau punya ambisi lain?"
Sebelum Anggun sempat menjawab, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
"Dia bisa menjadi apa pun yang dia inginkan. Dan dia tetap lebih dari cukup bagi saya."
Anggun menoleh, dan hatinya mencelos saat melihat Kala berdiri di sana, mengenakan setelan gelap yang begitu pas di tubuhnya.
Beberapa wanita tampak terkejut dengan kehadiran Kala, tapi pria itu tidak memperdulikan mereka. Ia hanya menatap Anggun dengan tatapan penuh keyakinan.
Anggun tersenyum tipis. "Kau bilang hanya akan mengawasiku dari kejauhan."
Kala menarik kursi di sebelahnya dan duduk. "Aku berubah pikiran."
Diana terkekeh pelan. "Sepertinya Nyonya Kala memiliki pendukung yang sangat setia."
Kala menoleh padanya, tersenyum santai. "Tentu saja. Aku selalu mendukung istriku."
Tatapan Anggun dan Kala bertemu, dan dalam momen itu, Anggun tahu—mereka akan menghadapi dunia ini bersama.
Acara makan malam itu berlangsung dalam suasana yang elegan, dengan lantai marmer yang berkilau dan chandelier mewah yang menggantung di langit-langit. Di antara obrolan ringan dan gelak tawa para wanita, Anggun hanya duduk diam, merasa sedikit terasing dari percakapan yang semakin jauh dari dunianya.
"Kalian sudah lihat koleksi berlian terbaru dari Boucheron?" tanya Diana, salah satu istri pengusaha yang dikenal dengan gaya hidup mewahnya.
"Oh, tentu! Aku baru saja membeli kalung dari koleksi itu. Berlian biru langka, hanya ada tiga di dunia!" sahut Lydia bangga, memamerkan lehernya yang dihiasi kilauan permata.
"Kebetulan suamiku membelikanku satu set perhiasan dari Harry Winston," kata seorang wanita lain dengan senyum penuh kemenangan. "Tapi katanya ada koleksi yang lebih eksklusif di Graff, jadi aku sedang mempertimbangkan untuk menambah koleksi."
Tawa mereka terdengar lembut namun penuh kebanggaan terselubung. Anggun menatap cangkir tehnya, merasa semakin kecil di antara mereka.
Diana lalu menoleh padanya. "Bagaimana denganmu, Anggun? Aku yakin Kala pasti sering membelikanmu perhiasan mewah, kan?"
Anggun tersentak sesaat. Ia memang memiliki beberapa perhiasan yang diberikan Kala, tetapi ia tidak pernah meminta atau memamerkannya. Ia bukan tipe wanita yang mengutamakan barang mahal.
"Aku… tidak terlalu sering memakai perhiasan," jawabnya jujur.
Beberapa wanita saling berpandangan sejenak sebelum tersenyum tipis, seolah berkata oh, kasihan sekali.
Kala, yang sejak tadi memperhatikan dari seberang meja, tersenyum kecil lalu berdiri tanpa menarik perhatian. Ia berjalan ke arah seorang wanita yang tengah duduk di sisi ruangan, seorang wanita anggun berusia sebaya dengannya—Nina Hartono.
Tidak banyak yang tahu jika Nina adalah teman masa kecilnya Kala, seseorang yang sangat mengenalnya sejak lama. Mereka berbincang sebentar, dan dengan satu anggukan, Nina memberikan persetujuannya.
Kala segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Ia memesan sesuatu—sesuatu yang akan membuat semua orang di ruangan itu terdiam.
Sementara itu, percakapan sudah beralih ke rencana liburan mewah.
"Kami akan ke Maladewa bulan depan," kata Diana sambil tersenyum puas. "Kami menyewa vila terapung yang hanya bisa diakses dengan kapal pribadi."
"Kami akan ke Swiss saat musim dingin. Chalet pribadi, lengkap dengan layanan butler 24 jam," tambah Lydia.
"Oh, aku lebih memilih Jepang. Musim bunga sakura terlalu indah untuk dilewatkan," kata seorang wanita lain.
Mereka lalu menoleh pada Anggun.
"Kalian bagaimana?" tanya Lydia, masih dengan senyum penuh arti.
Anggun merasa semakin terpojok. Ia dan Kala tidak pernah membicarakan rencana liburan mewah seperti itu.
Sebelum ia sempat menjawab, suara Kala terdengar.
"Sebenarnya, aku sudah menyiapkan sesuatu untuk Anggun," katanya tenang, membuat semua orang langsung menoleh.
Kala berjalan ke arah Anggun, lalu dengan anggun mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam dari dalam sakunya. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan sebuah kalung berlian berpotongan princess cut yang berkilauan di bawah cahaya lampu.
Kalung itu bukan sembarang perhiasan. Itu adalah koleksi eksklusif dari Tiffany & Co., dengan berlian 15 karat yang langka.
"Untukmu," kata Kala lembut, lalu dengan hati-hati menyematkan kalung itu di leher Anggun.
Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada pasangan itu.
Diana dan Lydia, yang sebelumnya begitu bangga dengan koleksi mereka, kini terdiam melihat bagaimana Kala memberikan hadiah itu dengan begitu elegan dan penuh kasih.
Namun, kejutan belum selesai. Kala lalu menyerahkan sebuah amplop kepada Anggun.
Anggun membukanya dengan tangan gemetar, lalu matanya membelalak saat membaca isi tiket yang ada di dalamnya.
"Tiket ke Bora Bora?" gumamnya tak percaya.
"Bukan hanya tiket," kata Kala sambil tersenyum kecil. "Kita akan menghabiskan seminggu penuh di Four Seasons Bora Bora, di vila di atas air dengan pemandangan laguna biru jernih. Segala sesuatunya sudah diatur—dari spa pribadi, makan malam romantis di pantai, hingga tur eksklusif dengan kapal pesiar pribadi."
Tawa kecil terdengar di antara para wanita di meja. Kali ini, bukan tawa meremehkan, melainkan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
"Astaga, Kala… kau benar-benar romantis," bisik seseorang.
"Aku tidak menyangka dia seperti ini!" sahut yang lain.
Anggun masih terpaku, matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah meminta semua ini, tetapi Kala memberikannya dengan begitu tulus.
Kala menatapnya penuh keyakinan. "Aku ingin kau tahu bahwa kau berharga. Dan aku tidak ingin kau merasa kurang dari siapapun."
Anggun menggigit bibirnya, lalu akhirnya tersenyum. Ia tidak bisa berkata-kata, tetapi genggamannya pada tangan Kala sudah cukup sebagai jawaban.