Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Antara Si mantan dan Si masa depan
Para karyawan, berkumpul di kantin perusahaan, sekedar mengobrol, beristirahat, sekaligus menghilangkan rasa lapar dan haus. Tari, sejak tadi mendeteksi keberadaan sang suami, diantara banyaknya rekan kerja yang mengantri mengambil makanan.
"Ke mana dia?" gusarnya, sambil terus menelpon namun tak mendapat jawaban.
Ingin rasanya, ia mendatangi Arya diruang kerjanya. Tapi, itu adalah hal mustahil ia lakukan. Meski, kemarahan membuat ubun-ubunnya berasap, kewarasannya masih menguasai pikiran Tari.
Arya memilih untuk makan siang, di warung makan tepat di seberang jalan perusahaan. Saat ini, ia ingin menikmati hidupnya, meski hanya beberapa jam saja. Jujur, ia mulai merasa tidak nyaman dengan pernikahan barunya.
Dulu, ia hanya perlu makan, berpakaian dan melakukan hobinya. Rumah sudah rapi, makanan sudah tersaji, pakaian sudah disetrika, bahkan air hangat untuk mandi sudah siap. Tapi sekarang, jangankan makanan yang sudah tersaji. Piring bekas makan saja, bertumpuk di atas wastafel.
Arya bahkan harus mencuci pakaian sendiri dan pakaian sang istri. Jika Tari sudah berkata lelah dan mual, Arya tidak dapat berkata-kata lagi. Seminggu, rasanya seperti setahun. Ia kelelahan karena harus bekerja di kantor dan di rumah. Meski sang ibu membantu, tapi Arya tidak mungkin merepotkan sang ibu terus. Karena beliau juga memiliki rumah sendiri dan pekerjaan yang menumpuk.
Si pengantin baru, kini mulai membanding-bandingkan, antara mantan istri dan istrinya sekarang. Perbedaan yang terlalu jauh dan membuat Arya, seakan mulai sedikit menyesal.
Keadaan Raya dan Tari pun sama, saat itu Raya juga tengah hamil muda. Tapi, sama sekali tidak manja, apalagi bermalas-malasan. Jika hanya, karena alasan Tari, memiliki karir. Arya berpikir, Raya pun bisa melakukannya.
"Kamu makan disini?" tanya rekan kerjanya, yang tiba-tiba muncul dan menyapa.
"Iya. Aku sedikit bosan dengan menu di kantin." Arya mempersilahkan duduk temannya diseberang meja. Pria itu, memesan kopi dan cemilan. "Ah, iya. Aku mau tanya. Apa wanita yang sedang hamil muda, itu malas bekerja?"
"Kenapa? Istrimu hamil lagi?" Pria itu, menyeruput kopi panasnya. Arya sendiri hanya mengangguk, karena saat ini, tidak ada yang tahu tentang perceraiannya. "Mereka tidak malas. Hanya saja, karena mengidam, ibu hamil biasanya menjadi lemah, lesu, bahkan pusing. Istriku juga seperti itu. Tapi, hanya tiga bulan."
"Tapi, kenapa kehamilan pertama, ia tampak biasa saja? Bahkan, bisa bekerja seperti biasa."
"Ayolah. Setiap kehamilan itu berbeda-beda. Meskipun, sudah anak kedua. Kau hanya perlu bersabar, sampai rasa mengidamnya sembuh. Semua akan kembali normal."
Jam istrahat, sudah selesai. Arya kembali ke perusahaan, namun didepan pintu lift, Tari sudah menunggu dengan mata melotot. Arya cuek dan Tari tidak dapat berbuat apa-apa, karena banyaknya karyawan yang mengantri didepan pintu lift.
Arya bekerja seperti biasa, namun pikirannya kini dipenuhi beban yang menantinya saat tiba di rumah. Drama Tari, yang mengeluh kelelahan dan meminta makan ini itu. Hal itu masih dalam pikiran, tapi Arya sudah merasa lelah lebih dulu.
Entah mengapa, ia mulai merindukan sang mantan istri. Senyuman Raya, yang menyambutnya pulang. Makanan favorit dan masih hangat, tersaji diatas meja.
"Ah, tidak. Aku hanya perlu, bertahan tiga bulan," celetuk Arya.
Ponsel Arya terus berdering, hingga membuatnya terganggu. Siapa lagi, kalau bukan Tari, yang tidak akan berhenti, sampai Arya mengangkat ponselnya.
"Kamu kenapa, tidak menjawab cepat?" teriak Tari dan Arya langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Aku sedang sibuk. Kenapa?"
"Kamu dari mana? Aku mencarimu di kantin. Apa kau tahu, aku kelaparan karena ulahmu."
"Kenapa kau tidak makan saja? Aku keluar tadi, mengambil pesanan pak manajer."
"Kau tidak bohong kan?"
Arya memutar bola matanya dengan malas. "Tidak. Untuk apa, aku bohong. Oh iya, aku harus lembur. Kau naik taksi saja."
"Tidak. Aku tidak mau. Antar aku pulang dulu, baru kau kembali ke kantor."
Disinilah, Arya paling tidak menyukai sifat Tari yang perlahan menunjukkan sifat aslinya. Suka mengatur dan tidak mau mengalah. Belum lagi, keras kepala dan suka membantah. Entah ini efek mengidam atau memang sifat sebenarnya? Yang jelas, Arya tidak suka.
Tari masih terus berbicara, sementara Arya memilih melanjutkan pekerjaan dan meletakkan ponselnya diatas meja. Tidak peduli, dengan kemarahan sang istri. Namun, ia akhirnya sangat terganggu dan langsung mematikan sambungan telepon.
Hari ini, Arya tidak lembur. Ia ingin berjalan-jalan sebentar dan nongkrong di cafe. Menikmati secangkir kopi dan menjernihkan pikiran, agar emosinya bisa terkontrol. Ia juga harus berbelanja dan ia pikir, sendiri lebih baik. Jika Tari ikut, bukan hanya ia menjadi waspada. Tapi, niat berbelanja keperluan, pasti akan melebihi apa yang seharusnya.
Adanya aturan baru tentang pernikahan antara karyawan, di perusahaan yang sama, membuat Arya harus menyembunyikan pernikahannya. Jadi, ia harus berpikir seribu kali, untuk mengajak Tari keluar, bahkan hanya sekedar makan malam biasa.
Pukul empat sore, waktu jam kerja sudah selesai. Arya harus menunggu lebih lama. Ia tahu, Tari tidak akan menyerah, jika harus menunggu beberapa jam. Jadi, Arya memilih untuk tetap duduk dan melakukan pekerjaan yang sengaja ia tidak selesaikan siang tadi.
Ponsel Arya kembali berdering dan ia hanya melirik, lalu mendiamkannya. Entah berapa puluh kali, akhirnya Tari menyerah dan mengirim pesan singkat. Arya bergeming, dari pada membaca banyak drama yang ditulis sang istri, ia lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya.
Sekitar pukul enam, Arya mulai lelah menunggu tanpa melakukan apa-apa. Ia akhirnya bersiap untuk pulang, setelah yakin, Tari sudah pulang lebih dulu.
Ia segera melaju, dihari yang sudah gelap. Lampu jalanan sudah dinyalakan, pengganti sinar matahari sebagai penerang. Untuk belanja kebutuhan, Arya meminta bantuan sang ibu. Sebab ia pikir, ibunya lebih tahu ketimbang Tari, yang sepertinya tidak tahu apa-apa.
Selama seminggu menikah, Arya mulai mengamati sifat sang istri. Walau sebenarnya, ia masih bimbang antara kebenaran dan pengaruh kehamilan. Hanya saja, hari pertama menikah, Tari tidak seperti sekarang. Ia sangat lembut, penurut, meski mengaku belum bisa memasak, karena mual mencium bau masakan. Namun, esoknya, sosok Tari yang lembut, berubah menjadi seperti sekarang.
Arya parkir didepan supermarket. Ia akhirnya, belanja kebutuhan sesuai yang ditulis sang ibu, melalui pesan singkat. Hampir satu jam, dihabiskan untuk berkeliling, sampai akhirnya ia merasa lapar.
Tak jauh dari supermarket, Arya mampir disebuah restoran. Sepertinya, restoran terkenal, pikir Arya karena melihat banyaknya kendaraan yang terparkir. Tanpa pikir panjang, ia langsung turun dan mencari tempat duduk yang kosong.
"Silahkan, mau pesan apa?"
Arya langsung menoleh, begitu mendengar suara pelayan. Tadinya, ia tertarik dengan pemandangan malam melalui dinding kaca yang lebar.
"Kalian punya rekomendasi menu?" Arya mendongak dan langsung syok seketika. Begitu juga si pelayan. "Raya."
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya