Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 4
Toilet sekolah terasa sunyi dan sepi, hanya suara tetesan air dari keran yang sedikit longgar seolah menciptakan irama tersendiri. Fisa mencuci muka di wastafel, ia sadar tak bisa berwudhu di tempat itu.
Beruntung hanya ada satu cermin di toilet sekolahnya, dan Fisa berusaha menghindarinya sejak tadi, gadis itu ingin segera pergi karena sudah tak tahan dengan aroma pesing dari tempat yang dindingnya memiliki banyak coretan itu.
Brak…
Pintu salah satu bilik toilet tiba-tiba terbuka, Fisa berusaha tetap tenang dan melanjutkan acara cuci tangannya. Fisa yakin hanya ada dirinya di tempat ini, tapi suara itu ia tahu siapa pelakunya.
Sebuah angin berhembus lembut membelai tengkuk, menyentuh tiap helai bulu-bulu halus di tubuh Fisa. Rasa panas yang menjalar di tubuhnya terasa naik turun menimbulkan efek merinding. Belum lagi Suara pintu yang bergesek seolah sedang dimainkan berada tepat di belakangnya, meski ia cukup pemberani sejatinya hanyalah manusia biasa, dan di situasi seperti ini seringnya Fisa justru merasa gerakannya melambat, bahkan mencuci tangan pun tak kunjung usai sejak tadi.
Fisa mendengar suara gemerisik di belakang punggung, disusul desisan halus mirip hewan melata berdarah dingin. Karena khawatir celaka ia reflek berbalik badan, saat itulah tepat di depan matanya berdiri sesosok makhluk berkaki empat mirip kadal dan leher panjang berwajah manusia, hanya saja wajah itu dihiasi dengan mata panda tebal dan mulut lebar yang menganga.
Nafisa sempat menahan nafas, tapi ia berusaha tetap tenang dan berlalu pergi. Awalnya makhluk itu tak menyadari kemampuan Fisa, tapi karena Fisa selalu menghindarinya makhluk itu pun menertawakannya.
HIHIHIHIHI… AKU TAHU KAMU MELIHATKU…
Sosok itu melompat tinggi dan mendarat tepat di hadapan Fisa, lehernya yang panjang bergerak meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, mata Fisa terpejam sebentar tapi ia segera berpura-pura meraih ponsel di saku bajunya, membuka aplikasi obrolan dan mengirim pesan pada sang ayah.
“Hampir saja lupa minta jemput,” katanya lagi. Namun, sosok itu masih tak mau mengalah ia kembali mengejar Fisa dan berusaha menarik tangannya.
Fisa tak lagi bisa bersabar, sosok itu benar-benar menyebalkan. Beruntung Fisa bisa mendeteksi kekuatan mereka dari energi yang terpancar di sekitar tubuhnya, sehingga Fisa bisa mengira-ngira sebahaya apa makhluk itu. Jika dirasa auranya sangat gelap, maka sudah bisa dipastikan makhluk itu sangat jahat dan Fisa lebih baik menghindarinya sebisa mungkin, tapi makhluk leher panjang satu ini kekuatannya lemah.
JANGAN MENGHINDARIKU CANTIK, AKU TAHU KAMU MELIHATKU. HIHIHIHI
GREP… Satu kali gerakan tangan, Fisa berhasil menangkap leher panjang yang hampir melilit tubuhnya, lalu dengan sekuat tenaga memutar-mutar leher makhluk sialan itu, dan membantingnya ke lantai. Tak cukup hanya itu, Fisa bahkan menginjak lehernya beberapa kali.
BUGH… Dugh dugh dugh…
“Jangan ganggu aku jika ingin selamat!” katanya berlalu pergi. Makhluk leher panjang itu tak lagi bisa bangkit, Nafisa memberinya pelajaran yang membuatnya benar-benar kapok. Makhluk itu tak menyangka akan kalah dari seorang gadis kecil, rupanya hari ini adalah hari sial baginya, dimana dirinya harus diperlakukan hina seperti ini.
Namun, tanpa disadari Fisa seorang gadis melihat tingkah anehnya. Gadis itu kini bersembunyi di samping toilet, mengintip Fisa yang berjalan kembali ke kelas. Ia bergumam sendirian, “bicara dengan siapa dia? dan gerakan apa tadi yang dilakukannya?”
***
Seharian beradaptasi di sekolah baru seolah menyedot habis tenaga Fisa, belum lagi tragedi cermin kaca Nuria yang pecah karena ulahnya, membuat teman-teman kelas mengucilkannya. Bahkan saat istirahat pun Fisa memilih tetap di kelas, ia hanya makan sisa roti yang dibelinya bersama bedak bayi tadi.
Malam itu angin berhembus cukup kencang, Fisa duduk di ruang tengah bersama Arjuna. Anak itu baru saja tiba bersama kedua orang tua dan adiknya, mereka kini tengah berbincang tak jauh dari tempat duduk Fisa yang sedang asyik belajar.
“Oh iya Husin, kemarin aku dengar ada kecelakaan di jalan Kenanga, seorang anak kecil tertimpa material pembangunan karena lalainya pekerja, kasihan sekali anak itu meninggal di tempat, sedangkan pekerja yang bertanggung jawab dituntut oleh pihak keluarga,” kata Evan di sela-sela kegiatannya minum kopi.
“Innalillahi, di mana itu Evan? ya Allah kasihan sekali anak itu. Sayang, itu bukan proyek yang sedang kamu tangani kan?” tanya Kia, ia terlihat begitu khawatir sebab beberapa hari lalu sang suami bilang dapat proyek baru di jalan kenanga. Ya, seperti yang kalian tebak Husin bekerja sebagai manager proyek di sebuah perusahaan konstruksi.
“Bukan Sayang, kami belum mulai masih di tahap perencanaan,” jawab sang suami. Saat itu Fisa membasahi bibirnya, mendengar percakapan orang dewasa membuatnya kembali teringat pada Celine. Arjuna yang melihat hal itu segera memberinya teh hangat.
“Minumlah Naf,” katanya. Fisa menerima pemberian lelaki itu sembari mengucapkan terimakasih.
“Kalau kamu tahu Ki, katanya kepala gadis itu pecah maksudku sampe retak gitu loh tengkorak kepalanya, darahnya itu banyak sekali di jalanan itu dan susah dibersihkan. Bahkan setelah kejadian itu warga sekitar mengaku sering mendengar suara anak kecil menangis di sana.” Shella menggebu-gebu saat melanjutkan cerita sang suami.
“Udah ah Shell jangan diteruskan, tau kita lagi makan juga,” tegur Kia yang baru saja meraih martabak red velvet keju pemberian tamunya itu. Shella terkekeh, dari dulu ia paling senang menggoda sang sahabat. “Dasar, udah emak-emak tetep aja rese,” lanjutnya lagi.
Tawa Shella semakin menjadi-jadi, namun terpaksa berhenti saat putranya tiba-tiba datang minta pipis. “Mama mama pipis…”
“Aduh, anak ini ndak tau lagi asyik juga,” katanya.
“Biar Arjun aja Ma, sini Dek pipis sama Kakak.” Arjuna menggendong adik kecilnya menuju kamar mandi, Fisa hanya memandang datar adik kakak yang saling sayang itu, terkadang ia iri melihat Arjuna dan Raynar yang saling menyayangi meskipun bukan saudara kandung.
“Makasih ya Kak,” kata Shella memandang kedua putranya penuh cinta. Kia tersenyum senang menyaksikan pemandangan ini.
“Berbakti banget keponakan kalian itu,” katanya.
“Kia, jangan sebut kata-kata itu lagi, bagi kami Arjuna adalah putra pertama kami, bukan keponakan, ya kan Sayang?” Evan merangkul pundak istrinya yang mengangguk setuju. Selama ini mereka membesarkan putra kakak kandung Evan yang meninggal karena kecelakaan, saat itu kebetulan Shella sulit hamil.
Namun, beberapa tahun setelah itu mereka justru dikarunia seorang putra bernama Raynar yang kini baru berusia 4 tahun itu. Dan Arjuna sangat menyayangi adiknya, begitupun Raynar juga menyayangi kakaknya.
Fisa berinisiatif mengikuti Arjuna ke belakang, ia tak ingin lagi mendengar percakapan orang dewasa yang kembali membahas kecelakaan di jalan kenanga, gadis itu duduk di meja makan, menanti Arjuna keluar dari kamar mandi.
“Loh ngapain di sini?” tanya Arjuna begitu membuka pintu dan menemukan Fisa di dapur.
“Aku tadi nggak lihat kamu di sekolah, bener-bener ya kamu udah tau tadi hari pertamaku sekolah, kamu malah nggak nyamperin sama sekali.”
Arjuna mengulum senyum, baru saja selesai memakaikan celana Raynar dan anak itu berlari-lari kecil menemui ibunya di ruang tengah. Arjuna meraih gelas bersih di rak piring, lalu membuka lemari es dan mengambil botol air dingin dan menuangkannya dalam gelas.
“Aku kan kemarin sudah bilang, aku nggak bisa nemuin kamu karena kebetulan ada jadwal rapat klub beladiri di jam istirahat, tak lama lagi akan ada pertandingan.”
“Kamu mau ikut?” tanya Fisa. Arjuna mengangguk samar sebelum akhirnya meminum segelas air putih di tangannya.
“Emang mamamu kasih izin? Arjun, kamu bisa terluka loh.”
“Kenapa? kamu khawatir padaku?” Arjuna mengedipkan sebelah mata, tingkahnya itu membuat Fisa mual, ia memperagakan gerakan hendak muntah di depan sahabatnya itu.
“Cih, PD banget, bukannya gitu aku cuma sayang aja kan kalau muka pas-pas an itu sampe kenapa-napa, udah mah nggak ganteng ditambah bonyok, makin sulit tuh dapat cewek,” kelakarnya.
Arjuna terkekeh pelan mengikuti Fisa yang berjalan kembali ke ruang tengah, tangan lelaki itu mengacak rambut Fisa, membuat gadis itu mencak-mencak tak karuan.
“Sudahlah, jangan ngambek lagi aku punya hadiah buatmu.”
Fisa berbalik badan, matanya berbinar mendengar kata hadiah terucap dari bibir Arjuna, kedua tangan menengadah meminta hadiah itu segera diberikan. Namun, wajah Arjuna justru terlihat aneh, penuh penyesalan.
“Tapi maaf, aku malah melupakannya tadi, tertinggal di atas meja belajarku, besok deh ya, aku janji antar langsung ke kelasmu. Oke?” katanya menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Fisa, Fisa berdecih, apa yang bisa dia harapkan dari Arjuna si pelupa.
“Percuma pinter, tapi pikun,” katanya berlari meninggalkan Arjuna. Keduanya pun berlarian di ruang tengah, diikuti Raynar yang bahkan menjerit-jerit senang. Orang tua mereka hanya tertawa melihat putra putri mereka begitu akrab.
...