🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25
#25
Aldy memulai harinya dengan senyum, angan-angan akan menghabiskan hari ini bersama Ammar membuatnya sangat bahagia. Subuh tadi Irfan menghubunginya, dan mengatakan bahwa ia mengizinkan Aldy menghabiskan seharian ini bersama Ammar.
Sesungguhnya, Aldy sangat berharap Hilda lah yang mengatakannya, agar mereka bisa kembali berkomunikasi kembali, walau hanya seputar Ammar. Namun angannya hanya sebatas angan, karena sejak pertama kali izin mengunjungi Ammar keluar, Hilda meminta irfan yang jadi penghubung antara dirinya dengan sang mantan istri. Demi meminimalisir fitnah dan salah paham, bahkan ketika Aldy berkunjung, Hilda tak pernah mempersilahkan Aldy masuk ke rumah utama, Aldy hanya bermain bahkan tak jarang menggambar bersama Amar di teras rumah.
Dilihat dari kacamata Aldy, Hilda benar-benar berubah, walau ia tetap ramah seperti dahulu, hanya saja ia lebih rapat menjaga dirinya sendiri.
Aldy menepuk pipinya sendiri, mengutuk keinginan yang kini dirasa sangat berlebihan, mengingat Hilda kini hanya sebatas ibu dari anaknya bahkan tak ada ikatan apapun termasuk status pernikahan, mimpinya terlalu tinggi jika berharap lebih akan sikap Hilda.
Tepat pukul 06.55 Aldy tiba di rumah sekaligus komplek perkebunan sayuran organik yang kini berskala besar, karena Irfan berhasil mengembangkan bisnis keluarganya hingga jadi sebesar sekarang. Bahkan Hilda pun sukses membuat bisnis Catering milik Bu Ratih sukses, terkenal dengan aneka hidangan nusantara yang kaya akan bumbu dan rempah-rempah.
Salah seorang asisten rumah tangga yang sedang sibuk membersihkan teras rumah tersenyum ramah melihat kehadiran Aldy, kini semua sudah mengetahui siapa Aldy tanpa harus Hilda jelaskan, "Silahkan duduk, Pak, saya panggil den Ammar nya dulu."
"Terima kasih, Bik."
ART itu pun masuk dan mengabarkan kedatangan Aldy pada Hilda dan Irfan.
"Assalamualaikum." Sapa Irfan, ia bergegas keluar ketika menerima kabar kedatangan Aldy.
"Waalaikumsalam, Fan." Jawab Aldy.
Kedua pria itu saling adu kepalan tangan, sebagai bentuk saling sapa. "Masuk yuk, kita sarapan sama-sama, kebetulan kami baru mau mulai."
"Tidak, aku … mm…"
"Gak boleh ada penolakan, kamu selalu menolak makan bersama kami, setidaknya kali ini harus mau, karena besok kamu kembali ke Jakarta." Irfan memotong kalimat Aldy.
Sejujurnya Aldy ingin, ia rindu masakan Hilda, tapi sekuat tenaga ia melawan keinginannya, tapi kali ini ia tak enak jika harus menolak ajakan Irfan, yang beberapa hari ini sangat baik terhadapnya.
Aldy menarik nafas sebelum akhirnya menyetujui permintaan Irfan. "Baiklah … aku akan bergabung." jawab Aldy pada akhirnya.
Suasana canggung tentu saja terjadi, ada Hilda di meja makan, tapi wanita itu bukan lagi istrinya, jadi yang ia layani hanya Irfan, termasuk menyendok beberapa lauk pauk.
Netra Aldy tak lepas mengawasi setiap gerak gerik Hilda, senyum terkembang di wajahnya ketika Irfan mengucapkan terimakasih atas pelayanannya.
Rasa nyeri mulai merambati hatinya, pelan namun semakin jelas rasa sakitnya. Dulu ia yang merasakan semua momen manis nan menyenangkan ini, dan dengan tanpa rasa ia membuang semuanya, hanya demi nikmat setitik yang pernah hilang dari hidupnya, akhirnya Aldy justru kehilangan segalanya. Ia kehilangan cinta sejatinya, ibu dari anaknya, bahkan anak kandungnya belum mengetahui siapa ayah kandungnya.
Ditambah tatapan tak biasa Bu Ratih, makin membuat Aldy rikuh, ia seperti sedang dihakimi oleh wanita tersebut. Hanya Irfan yang berbaik hati mengajaknya bicara, karena Hilda pun lebih banyak diam, dan hanya berinteraksi dengan kedua puteranya.
.
.
Mobil yang Aldy kendarai berhenti di depan gerbang sekolah Ammar, sesuai dengan syarat yang Hilda ajuka, Ammar boleh ikut bersama Aldy asalkan urusan sekolah tak boleh tertinggal, karena Ammar sudah banyak meninggalkan jam pelajaran ketika istirahat sakit selama kurang lebih 2 minggu.
"Pulang jam 11 kan? Om janji akan tepat waktu."
"Iya, Om." Ammar mengulurkan tangannya mencium tangan Aldy ketika mereka bersalaman.
"Jangan lari ke jalan seperti tempo hari, tunggu saja di dalam gerbang ya?" pesan Aldy yang khawatir tragedi kecelakaan berulang.
"Iya … Om. Assalamualaikum…" Ammar tersenyum seraya melambaikan tangan usai mengucap salam, bocah itu melalui gerbang sekolah, beberapa kali menoleh menoleh hingga akhirnya lenyap di balik dinding sekolah.
.
.
Hembusan angin memainkan rambut wanita itu, gelisah dan gundah melanda dirinya, pasca sang suami mengakui diri nya masih mencintai sang mantan istri. Harapan hidup bahagia yang sudah terlanjur ia tanam dan pupuk, kini seakan gersang dan mati begitu saja.
Bertahun-tahun Widya bertahan dengan kedua mertua yang menerimanya setengah hati, bahkan kini bertambah parah dengan Kakak Ipar yang kerap menyindirnya dengan perkataan pedas lagi tajam menusuk.
Apakah memang begini hukuman yang ia terima karena dahulu dengan serakah membuat Aldy menceraikan Hilda, menguasai semua uang yang seharusnya menjadi hak utuh Hilda selepas bercerai, dan merahasiakan fakta keberadaan anak laki-laki Hilda. nyatanya ia tak bisa bahagia bersama orang yang ia cinta.
Sementara nun jauh di sana kedua orang tuanya terus menodong nafkah darinya, karena dirinya anak satu-satunya, dan untuk alasan ini pula pernikahannya dengan Aldy mendapatkan restu.
Ponsel yang sejak tadi teronggok tenang tiba-tiba bergetar, enggan menjawab ketika melihat nama si penelpon, beberapa kali ia abaikan namun si penelpon tak mau menyerah. Hingga akhirnya Widya menyerah kemudian mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo Pah?" jawab Widya enggan.
"Kenapa Bulan ini, sedikit sekali kirimanmu?"
"Ya Papa Mama aturlah, biar cukup." jawab Widya malas. Bayangan Aldy akan menceraikannya mulai menghantui, karena itulah ia harus mulai berhemat dengan uang simpanan pemberian Aldy setiap bulannya. Padahal Aldy tak pernah membahas perceraian, Namun Widya mulai mengambil sikap waspada.
"Mau diatur kayak gimana? uang segitu hanya cukup untuk biaya makan, belum cicilan mobil baru."
"Papa bilang cicilan mobil sudah lunas."
"Iya … Mama kamu pengen ganti mobil baru,"
Widya mengurut keningnya karena kepalanya mula terasa pening, apakah harus sedramatis ini hidupnya, menjadi tulang punggung keluarga.
"Pa … aku bukan mesin uang Pa … apa Papa tahu betapa sulit mendapatkan uang?"
"Lha … kamu pikir Papa ini anak kemarin sore?"
"Kalau begitu …"
"Ah sudah, Papa gak mau tahu, sekarang juga Papa akan menghubungi Aldy, menantu Papa."
"Jangaaaaannn, Pa …!!!"
"Kenapa? selama ini Aldy selalu mengabulkan keinginan Mama dan Papa, kamu saja yang terlalu perhitungan pada orang tuamu sendiri." tuduh Pak Hasan, tanpa Tahu bahwa Widya sedang bingung memikirkan nasib rumah tangganya dengan Aldy.
Di saat seperti ini bolehkan ia mengajukan protes pada Tuhan, kenapa dirinya harus menjadi anak dari kedua orangtuanya.
“Hai …” Sebuah suara bariton membuyarkan lamunan Widya.
Widya menoleh, bibirnya tersenyum ketika di hadapannya berdiri sosok Pria yang tempo hari ia kenal, ketika sedang berbelanja di Supermarket.
“Oh Hai…” Balas Widya.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg