Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Terciduk Di Apartemen
Vincent buru-buru melepaskan pelukannya. Pertanyaan Valeska tadi sukses bikin dia gugup, tapi dia berusaha menutupi kegelisahannya dengan tertawa kecil sambil menggosok hidungnya.
“Kapan kita pernah ketemu, Val?” tanya Vincent, mencoba tetap terlihat santai.
“Maaf, Pak.” Valeska merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Mungkin wajah Anda mirip seseorang yang saya kenal.”
“Oh ya? Siapa dia?” pancing Vincent, alisnya terangkat karena penasaran.
Valeska tersenyum tipis sebelum menjawab dengan nada enteng, “Seorang pencuri.”
Vincent terdiam sejenak. Kalimat itu rasanya seperti pukulan telak. Dia menelan ludahnya dan mencoba tertawa, meskipun jantungnya langsung berdebar kencang. “Pencuri? Maksud lo, ada sesuatu milik lo yang dicuri?”
Valeska mengangguk pelan, matanya menatap tajam ke arah Vincent.
“Apa itu?” tanya Vincent lagi, kali ini lebih hati-hati.
“Sesuatu yang nggak mungkin bisa kembali lagi, meskipun saya sudah menemukan pencurinya,” jawab Valeska dengan nada yang dingin, hampir tanpa ekspresi.
Vincent mulai merasa nggak nyaman. Jawaban itu terasa seperti tuduhan halus yang langsung menusuk. Untuk mengalihkan perhatian, dia mengambil wadah berisi buah yang ada di tangan Valeska. “Biar gue yang cuci buahnya,” katanya, mencoba tersenyum seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Valeska hanya mengangguk, tapi matanya tetap mengawasi setiap gerakan Vincent.
Pak Vincent kok mendadak salah tingkah gini, sih? pikir Valeska dalam hati. Bikin gue curiga aja.
Suasana canggung itu mendadak pecah ketika bel pintu berbunyi lagi.
“Huh, syukurlah,” gumam Vincent lega, seperti baru saja mendapat tiket keluar dari situasi yang nggak nyaman ini.
Dia berjalan menuju pintu depan, tapi sebelum sempat meraih kenop, suara ketukan terdengar lagi, diiringi suara seorang perempuan yang memanggil dari luar.
“Vincent! Kamu di dalam?”
Vincent tertegun. Dia langsung tahu siapa pemilik suara itu. Megan! desisnya dalam hati. Kenapa dia harus muncul sekarang, sih?
Tanpa berpikir panjang, Vincent buru-buru kembali ke dapur. Valeska, yang masih sibuk memotong sayuran, langsung menatap Vincent dengan ekspresi bingung.
“Val, ikut gue!” kata Vincent cepat, nadanya panik. Dia langsung menarik tangan Valeska tanpa memberi penjelasan.
“Pak, ada apa, sih?” tanya Valeska, semakin heran tapi tetap mengikuti langkah Vincent.
Vincent nggak menjawab. Otaknya sibuk mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan Valeska. Situasi ini nggak bisa dibiarkan.
“Kamar aja!” gumam Vincent pada dirinya sendiri. Dengan cepat, dia membuka pintu kamar utama dan mendorong Valeska masuk ke dalam.
“Pak, ini kenapa, sih?” Valeska masih kebingungan, berdiri mematung di tengah kamar.
“Lo diem di sini. Jangan keluar sampai gue bilang, ngerti?” Vincent menatapnya serius, seperti ada misi penting yang sedang dijalankan. Sementara itu, suara bel terus berbunyi dari luar, diiringi ketukan pintu yang semakin nyaring.
“I–iya.” Valeska mengangguk meskipun wajahnya penuh tanda tanya.
Vincent menghembuskan napas lega sebelum buru-buru keluar. “Kunci pintu ini dari dalam!” katanya tegas memerintahkan pada sistem smart home, kemudian suara 'klik' terdengar, tanda pintu sudah terkunci secara otomatis.
Di dalam kamar, Valeska berdiri diam. Matanya mengarah ke pintu yang baru saja dikunci oleh Vincent.
Ini kenapa, sih? Drama banget.
......................
Vincent berjalan ke dapur dengan ekspresi serius, mengambil pisau dapur, lalu mulai memotong sayuran. Potongannya jelas nggak rapi—malah lebih mirip orang lagi main tebas-tebasan ketimbang masak. Tapi Vincent berusaha tampil tenang, seolah-olah situasi di apartemennya baik-baik saja.
Sementara itu, pintu depan apartemennya terbuka otomatis. Megan langsung masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya terlihat kesal, dan seperti biasa, suaranya melengking penuh emosi.
“Vin! Kamu di mana?!” teriak Megan sambil melongok ke segala arah.
Vincent tetap di dapur, pura-pura fokus dengan pisau dan sayuran di depannya. Ekspresinya sengaja dibuat serius, meski jelas terlihat dia nggak ahli sama sekali.
Akhirnya Megan sampai di dapur dan langsung berhenti di pintu, mengernyit melihat pemandangan nggak biasa. “Vin?”
“Hm?” sahut Vincent singkat, bahkan nggak menoleh.
“Kamu ... habis belanja?” tanya Megan, masih nggak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di meja makan, belanjaan berjejer rapi, isinya bahan makanan dan stok kulkas yang super lengkap.
Vincent tetap nggak melihat ke arahnya. “Lihat sendiri, kan?”
Megan mengerutkan dahi lebih dalam. Dia mulai memeriksa kantong-kantong belanjaan itu satu per satu. Isiannya membuat dia semakin heran. “Kamu belanja ini semua sama siapa?”
“Sendirian,” jawab Vincent singkat, tanpa niat menjelaskan lebih lanjut.
Megan menaikkan satu alis. Jawaban itu jelas nggak masuk akal buatnya. Sejak kapan Vincent—si manusia anti-belanja—mendadak jadi rajin pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan? Bahkan ke mall aja dia ogah-ogahan, apalagi ke tempat seperti ini. Ada yang aneh.
“Vin.” Megan mencondongkan tubuh, nadanya penuh kecurigaan. “Serius, deh. Kamu habis belanja sama siapa?”
Vincent mendesah panjang, lalu meletakkan pisaunya dengan sedikit kasar di talenan. Dia menoleh dengan wajah yang mulai kesal. "Bisa diem nggak? Ganggu banget."
“Aku kan cuma nanya!” balas Megan nggak terima.
“Kalau aku bilang ini semua aku yang beli, berarti emang aku yang beli! Ngapain cerewet banget, sih?!” Vincent mendadak membentak, suaranya meninggi.
Megan mendengus sambil merapikan rambutnya. “Kenapa teleponku nggak diangkat?”
“HP ada di kamar,” jawab Vincent dingin. “Lagian, mau nelpon ngapain?”
“Mau minta jemput jam lima sore,” kata Megan, suaranya agak lebih lembut kali ini berharap Vincent luluh.
Tapi harapannya hancur ketika Vincent menjawab, “Kan udah dibilang, kamu pergi sendiri aja. Kenapa manja banget, sih?”
“Tapi kan ini permintaan Tante Melani!” Megan mendebat.
“Itu tuh urusan kamj, bukan urusan aku!" Vincent kembali mengambil pisaunya, dan pura-pura sibuk memotong sayuran lagi.
Megan hanya berdiri di sana, terdiam, menatap Vincent. Dari caranya memotong sayuran yang lebih mirip anak TK belajar gunting kertas, jelas banget kalau Vincent lagi berusaha keras terlihat biasa. Megan menghela napas panjang.
“Mau kubantu nggak?” tawarnya.
“Mending kamu pulang aja, deh,” balas Vincent dengan nada malas, nggak melirik sama sekali.
Megan mengangkat bahu, mendengus kesal, lalu melangkah menuju pintu. “Ya sudah!” katanya ketus sebelum keluar dan menutup pintu dengan suara cukup keras.
Begitu pintu tertutup, Vincent menghembuskan napas lega. Dia buru-buru meletakkan pisaunya, berjalan cepat ke pintu kamar untuk mengeluarkan Valeska.
Namun, sebelum sempat membuka pintu kamar, Vincent hampir melompat saking kagetnya. Megan tiba-tiba sudah berdiri di samping meja dekat pintu, ia menatap dengan ekspresi datar tapi penuh kecurigaan.
“ASTAGA!” Vincent terlonjak. Tangannya refleks memegang dada, seolah jantungnya baru saja akan copot.
“Vincent,” kata Megan, matanya menyipit. “Lo lagi nyembunyiin sesuatu, ya?”
Megan melipat tangan di dada sambil melemparkan senyum sinis. Matanya menyipit seperti detektif yang baru saja menemukan petunjuk besar dalam kasusnya.
“Aku tahu ada yang kamu sembunyikan di kamar,” katanya pelan.
Vincent menghela napas, jelas kesal. Matanya melirik Megan dengan ekspresi setengah malas, setengah dongkol. “Pulang sana,” usirnya pendek, bahkan tanpa membalas tatapannya.
Tapi Megan seperti biasa nggak gampang disuruh pergi. Dia menunjuk pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Buka pintunya!” perintahnya, tegas dan nggak bisa ditawar.
“Berani banget nyuruh-nyuruh kayak gitu.” Vincent memutar bola matanya lagi, kali ini lebih dramatis. “Kamu pikir aku suka banget liat muka kamu lagi nyolot kayak gini? Sopan dikit bisa nggak?”
Megan tertawa kecil, tapi jelas itu bukan tawa ramah. “Please, Vincent. Sopan atau nggak, kamu tetep nggak suka aku, kan? Jadi, apa bedanya?” sindirnya santai, tapi menusuk. “Kalau memang nggak ada apa-apa di dalam, ya buka aja pintunya. Beres, kan?”
“Megan!” Vincent membentak, kali ini lebih serius. Tapi Megan sama sekali nggak gentar.
“BUKA!” teriak Megan tiba-tiba, suaranya melengking sampai bikin Vincent refleks mundur selangkah. Tanpa basa-basi lagi, Megan melangkah cepat ke arah pintu kamar dan mulai menggedor-gedor pintu seperti orang kesetanan. “Heh, pecun! Gue tau lo ada di dalam, ya! Keluar sekarang juga!” teriaknya dengan nada tinggi yang bikin Vincent hampir kehilangan kesabaran.
“Megan! Apa-apaan sih? Mau ngerusak pintu kamarnya?!” Vincent buru-buru menarik tangan Megan supaya berhenti.
Tapi Megan nggak peduli. Dia terus menuding pintu kamar dengan ekspresi penuh amarah. “Jawab aku, Vin! Kamu lagi nyembunyiin cewek itu, kan?!” serunya dengan napas memburu.
Vincent mengernyit, bingung sekaligus kesal. “Cewek siapa? Kamu ngomong apa sih, Meg?!”
“Cewek yang kamu bawa pulang dari bar waktu itu! Bocah SMA itu!” Megan hampir menjerit, jelas marah sampai ubun-ubun.
DEG!
Kata-kata Megan langsung menghantam dada Vincent seperti pukulan keras. Wajahnya tiba-tiba pucat. Megan tahu rahasia malam itu. Tapi yang bikin dia panik bukan Megan, melainka Valeska. Gadis itu masih ada di dalam kamar.
Shit! Gimana kalau dia mendengar semuanya? Gue bisa mampus! Mati deh gue!
Vincent hanya bisa berdiri diam, bingung antara mencari alasan atau langsung pasrah saja. Dalam hati, dia cuma bisa berdoa semoga bumi menelannya sekarang juga.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂