Moza merasakan hari pertama magang seperti sebuah bencana karena harus berurusan dengan atasannya. Tugas yang dia terima terkadang tidak masuk akal dan logika membuatnya emosi jiwa. Sadewa, produser Go TV. Dikenal sebagai playboy karena pesonanya membuat banyak wanita berada di sekitar hidupnya.
===
“Jangan suka mengumpat di belakangku, mana tahu besok malah jatuh cinta.” Sadewa Putra Yasa.
=====
Kelanjutan dari Bosku Duda Arogan dan Bosku Perawan Tua.
Follow IG : dtyas-dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 ~ Coba Lagi
“Za, Mama jalan dulu ya. Kamu nggak apa-apa ditinggal?” Sarah sempat menyentuh dahi Moza yang sudah suhunya sudah terasa normal.
“Iya, aku sudah enakan Mah.” Moza yang berbaring di sofa memindahkan channel TV dengan remote di tangannya.
“Mama harus dampingi Papa kamu, ada acara sore ini. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama ya.”
“Hm.”
“Obat jangan lupa.”
“Iya,” jawab Moza dengan pandangan tetap tertuju pada layar televisi.
Tidak lama terdengar deru mesin mobil dan perlahan menjauh. Moza memang merasa sudah lebih baik, sakit di kepalanya sudah berkurang dan demam pun sudah turun. Ponselnya yang ada di atas meja bergetar, tangan Moza meraba untuk meraih ponsel tersebut.
Ternyata pesan dari Mada yang menanyakan kondisinya. Dijawab singkat, ditambah pesanan minuman cup yang sedang viral kalau pulang nanti. Moza kembali fokus pada layar televisi yang menayangkan acara infotainment saluran Go Tv.
Kebetulan artis yang sedang dibahas adalah Mahalina. Gita ikut bergabung dengan toples cemilan di pangkuannya, berkomentar kalau Mahalina sangat cantik. Moza berdecak mendengar pujian dari adiknya untuk wanita yang tampil di layar tv.
“Cantik sih, tapi kayak gitu. Lagian cantikan juga aku.”
“Lihat aja wajahnya cerah dan glowing, pakai skincare apa ya kak?”
“Yaelah Gita. Cari skincare bukan yang mencerahkan kulit, tapi yang mencerahkan masa depan,” tutur Moza dan mendapatkan lemparan bantal sofa dari adiknya.
“Dia multitalenta banget ‘kan. Bisa nyanyi, bintang iklan dan sekarang main film.”
“Iya multitalenta banget, termasuk menggoda pemilik stasiun TV.”
“Mahalina kak?” Gita seakan tidak percaya dan mempertegas dengan kembali bertanya.
“Bukan, tapi Bik Ela. Ya Mahalina lah, kita lagi bicarakan dia. Kamu gimana sih.”
“Udah kembali ke mode galak, berarti sudah sembuh ya,” cetus Gita dan mendapat cibiran dari Moza.
Bik Ela meletakan mangkuk berisi salad ke atas meja, untuk Moza sesuai perintah Sarah. Moza sebenarnya masih belum berselera, tapi takut kalau sang Mama tahu dia mengabaikan. Kadang kalau marah, Sarah bisa lebih menakutkan dibandingkan Arya.
“Mbak Moza, di depan ada tamu.”
“Cari aku, bik?” tanya Moza, tapi tangan nya mengambil mangkuk salad dan menyuapkan ke dalam mulut.
“Iya, saya sudah minta tunggu di ruang tamu. Mas ganteng yang kemarin datang Mbak.”
“Hah, mas ganteng?” tanya Moza dan Gita ber cie-cie mendengar ada mas-mas ganteng mencarinya.
Merasa tidak ada janji dengan siapapun dan satu-satunya teman yang berani berkunjung ke rumah hanya Ema dan bisa dipastikan Ema tidak ganteng. Hampir saja mangkuk di tangannya terjatuh mana kala mendapati Dewa duduk ganteng di sofa sambil memainkan ponselnya.
“Pak Dewa.”
Dewa menoleh dan senyum mengembang di wajah ganteng menurut Bik Ela dan super ganteng menurut Moza.
“Hai sayang.” Dewa berdiri dan masih dengan wajah ceria akhirnya bisa menatap wajah pujaan hatinya.
“Sayang, sayang. Pak Dewa ngapain di sini?”
“Temuin kamu dong, masa antri sembako. Gimana kondisi kamu? Eh, ayo duduk.” Dewa mengarahkan Moza untuk duduk seakan dia adalah tuan rumah. “Kamu jangan berdiri, cukup punyaku aja yang berdiri.”
“Pak Dewa!!”
Dewa tergelak dan duduk di samping Moza.
“Jangan takutlah, aku sudah bertemu orangtua kamu. Mereka kayaknya setuju aja kalau kita pacaran.”
“Telinga Pak Dewa masih berfungsi ‘kan?” Dewa mengangguk dengan raut wajah serius. “Saya nggak mau pacaran sama playboy, yang ada makan hati. Nggak masalah sakit hati sekarang daripada nanti.”
“Ya ampun Za, harus dengan apa aku buktikan kalau aku bukan playboy. Sumpah Za, sekarang ini nggak ada satupun perempuan yang nyangkut di hati aku selain kamu. Makanya aku mau deklarasi kalau kamu pacar aku biar nggak ada yang ngaku-ngaku.”
“Gombal.”
“Serius Za.”
“Jangan macam-macam Pak, saya nggak mau kegiatan magang saya kacau karena karyawan Go Tv tahu kita ada hubungan.”
“Jadi, kamu terima aku jadi pacar nih? Langsung jadi suami juga nggak masalah kok.”
“Pak Dewa pernah keselek mangkuk salad nggak?” Dewa hanya terkekeh dan menunjukan dua jarinya sebagai tanda peace.
Dewa dan Moza masih berbincang random. Lebih sering Moza memekik atau berteriak karena candaan Dewa. Tidak lama terdengar deru mesin motor, Dewa segera berpindah duduk berhadapan dengan Moza yang terhalang meja sofa. Tidak ingin mencari masalah dengan Mada, karena belum sepenuhnya pria itu mendukung usahanya mendapatkan Moza.
“Ada tamu nih,” ujar Mada. “Lo udah sehat?” tanya Mada pada kembarannya dan hanya dijawab dengan anggukan kepala.
“Pesanan aku pasti lupa.” Moza mencibir karena Mada datang dengan tangan kosong.
“Kamu pengen apa?” tanya Dewa melihat raut kecewa dari wajah gadis itu.
“Pengen bika ambon, tapi belinya di Ambon bang. Bisa kali beliin buat Moza, katanya cinta.”
“Hah, serius?”
***
“Nyebelin tahu nggak sih. Aku juga bisa menilai mana yang baik dan tidak baik. Nggak usah posesif gitu.” Moza mengoceh menasehati Mada. Saat ini kakak beradik itu berada di kamar Moza, Dewa sudah pulang sejak tadi.
Dari obrolan mereka bertiga, jelas Mada menunjukan ketidaksukaannya. Seakan menabuh genderang perang. Meskipun Dewa biasa saja menghadapi Mada, tapi Moza kurang nyaman.
Bukan kali ini saja, Mada bersikap seperti itu. Mungkin inilah alasan kenapa sampai sekarang Moza belum pernah berpacaran. Selain belum ada yang cocok dan tampan melebih Mada, sikap kembarannya itu memang begitu posesif.
“Gue Cuma melindungi lo doang dan membuktikan Dewa memang pria yang tepat buat lo.”
“Kalau salah ya coba lagi," sahut Moza dan Mada menoyor kepalanya.