Bosku Playboy Bucin

Bosku Playboy Bucin

1 ~ Kesan Pertama

“Mada!” teriak Moza sambil mengetuk pintu kamar saudara kembarnya. “Ayo, nanti aku terlambat.”

Masih belum ada pergerakan, tangan Moza sudah terangkat dan akan mengetuk lebih keras dari sebelumnya. Nyatanya pintu terbuka dan muncullah wajah Mada dengan mulut berdecak.

“Berisik,” ucap Mada sambil meraup wajah Moza membuat gadis itu menjerit.

“Papa!”

Masih sambil berdebat, Mada dan Moza menuju meja makan. Sudah ada Arya -- Papa mereka di sana. Menyesap kopi sambil menggelengkan kepala melihat tingkah anak kembarnya.

“Sarapan dan cepat berangkat. Kalian bisa terlambat.”

“Kalau terlambat ya karena dia, Pah. Kebiasaan bangun kesiangan,” keluh Moza sambil mengoles roti dengan selai.

“Aku nggak kesiangan, cuma telat bangun aja,” sahut Mada lalu merebut roti yang siap disantap oleh Moza.

Interaksi seperti itu biasa dilakukan oleh si kembar, mereka kadang akur atau salah satu berteriak karena ulah iseng yang satunya. Sarah yang sudah rapi dan duduk di kursinya ikut menggelengkan kepala seperti sang suami.

“Aku berangkat bareng kamu ya, Pak Maman sudah berangkat antar Gita,” ujar Sarah. Ada rapat pemegang saham di perusahaan, sebagai pemilik saham terbesar tentu saja Sarah harus hadir. 

“Hm,” sahut Arya sambil menunjuk kedua anak mereka dengan tatapannya.

“Mada, ini hari pertama Moza magang. Jangan sampai dia terlambat.”

“Beres Mah. Lagian aneh, ngapain juga pake magang di Go TV. Bukannya di kantor Papa atau Om Edric aja sih.”

“Kalau di sana, aku nggak akan banyak belajar. Semua sudah tahu siapa aku, yang ada malah jadi peserta magang VIP,” keluh Moza sambil mencebik.

“Ya nggak masalah, dapat fasilitas nikmati saja,” ungkap Arya yang sebenarnya tidak setuju putrinya harus mengenal dunia kerja di perusahaan orang lain.

“Ayo jalan.” Moza sudah berdiri dan menarik kerah kemeja Mada membuat pria yang sedang meneguk air, tersedak. “Aku jalan, ya.” Tidak lupa gadis itu mencium tangan Arya dan Sarah, hal yang sama dilakukan juga oleh Mada.

“Hati-hati bawa motornya,” teriak Sarah.

“Beres, Mah. Kalau tidak beruntung, paling kalian dapat telpon kita ada di UGD,” sahut Mada sambil berjalan meninggalkan meja makan.

“Mada!” teriak Sarah.

Dari kempat anak-anak mereka, Mada dan Moza memiliki sifat agak mirip-mirip Arya. Kadang konyol dan paling parah somplak, belum lagi kejahilannya. Moza ada kekurangan terkadang dia sulit untuk fokus dan sering nge-lag membuat Mada senang menjahilinya. Berbeda dengan Gilang anak sulung yang terlihat lebih serius dan Gita si bungsu yang sangat manja dan santun.

Motor yang dikendarai Mada sudah memasuki area perkantoran GO TV. Beberapa mobil mengantri emnuju lobby utama. Mada menyalip dan berhenti tepat di depan lobby, meskipun sempat mendapatkan klakson dari mobil di belakangnya.

Helm yang dikenakan Moza di lepas dan diserahkan dengan cepat.

“Aku duluan, nanti sore jemput,” ujar Moza berjalan cepat melewati pintu lobby.

Senin pagi dengan segala keseruannya, dalam hati Moza mengumpat menyalahkan Mada. Seharusnya dia tiba lebih awal dan tidak harus mengantri lift. Meskipun ada beberapa, tapi dijam sibuk begini cukup ramai. Bahkan sempat berkendala ketika melewati gate, karena lupa menyimpan ID card magang di mana ada barcode digunakan untuk membuka gate. Ternyata id cardnya terselip diantara dompet dan ponsel.

Ponsel Moza bergetar ternyata pesan dari teman satu kelompok magang.

[Za, di mana lo?]

Moza mengetik balasan.

[Masih di lobby, nunggu lift. Sampe keriput gue kelamaan nunggu]

Bukan hanya berbalas pesan dengan temannya, tapi membaca grup pesan yang mana isi pesannya sudah ratusan karena sejak semalam belum dibuka dan pembahasannya ngalor ngidul tidak jelas. Mulai dari masalah quick count pemilihan presiden sampai dengan cara gestun saldo paylater.

Tidak menyadari ada seseorang ikut berdiri di sampingnya, menunggu pintu lift terbuka. Moza sempat terkekeh membaca isi percakapan yang menurutnya konyol.

Ting.

Bergegas ikut masuk ke kotak besi yang akan membawanya naik ke lantai tujuan.

“Aduh,” pekik Moza karena seseorang menyenggolnya. “Hati-hati dong, kalau ponsel saja jatuh gimana?”

“Tinggal dipungut, gitu aja kok repot. Ngapain juga sambil main hp.”

Moza mencebik menatap pria di sampingnya, mengenakan hoodie lengkap dengan penutup kepala dan kacamata hitam.

“Ya nggak masalah dong, hp saya kecuali hp situ,” gumam Moza.

Terdengar desahan dari orang di belakangnya, tapi Moza tidak peduli dan mengabaikan malah menatap layar di atas pintu yang menunjukan lantai di mana lift berada. Akhirnya tiba di lantai tujuh, segera dia melangkah keluar menuju ruangan tempat berkumpul semua peserta magang.

Baru saja dia duduk, seseorang memasuki ruangan dan menyampaikan pembagian tugas divisi. Sempat gembira dan hampir berteriak karena senang, dia ditugaskan di bagian produksi. Artinya Moza akan melihat langsung proses rekaman dan siaran langsung.

“Bagian produksi,” ujar Moza lirih pada Ema yang cemberut karena dia menginginkan tugas di divisi sekretariat. Bisa belajar menjadi sekretaris, apalagi bertemu para manajer dan direksi.

“Lo mabok ya?” tanya Ema dan dijawab Moza dengan gelengan kepala. “Kenapa senang amat, udah pasti bagian produksi tuh capek dan nggak ada yang bisa dilihat selain orang sibuk siaran. Mana bisa lihat pimpinan pada ganteng-ganteng dan siapa tahu dapat jodoh.”

Moza dan Ema mengikuti seseorang yang mengantarkan mereka ke lantai sembilan. Di mana produksi dari siaran GO TV di lakukan.

“Pak Bos ada?” tanya pria yang mengantarkan Moza dan Ema pada seorang wanita yang mejanya berada di depan ruangan, sepertinya sekretaris atau asisten pribadi.

“Di dalam, baru datang,” jawab wanita itu.

Pintu diketuk, lalu mereka masuk.

“Permisi Pak, ini mahasiswa magang ….”

Pria yang duduk dengan kursi menghadap ke jendela besar hanya menunjukan ibu jarinya karena sedang berbicara melalui sambungan telepon. Pria yang mengantar pun meninggalkan mereka, hanya mengatakan kalau Pak Sadewa yang akan membimbing selama mereka bertugas.

Ema menyenggol lengan Moza.

“Menurut lo, bapak itu tampangnya gimana?” tanyanya sambil berbisik.

Moza hanya mengedikkan bahu.

“Kalau dipanggil bos, berarti sudah tua ya. Perutnya buncit, brewokan dan yang lebih parah dia pendek dan botak.” Mendengar ucapan Ema, Moza hanya berdecak karena si bos tadi sudah selesai bertelepon terdengar dia mengucapkan salam.

Kursi pun berputar dan pria itu menatap kedua mahasiswa magang yang berdiri agak jauh dari mejanya. Penampilan Pak Bos jauh dari yang Ema sebutkan, jelas pria itu masih muda. Dengan postur tubuh tegap juga wajah ala-ala oppa di drama korea.

“Wow, so sexy,” gumam Ema.

Berbeda dengan Ema, Moza tercengang karena terkejut ternyata pria bernama Sadewa atau pak Bos itu adalah pria yang tadi berdebat dengannya di lift, Moza mengenali dari hodie yang masih dipakai.

“Hahh.”

“Ck, sudah kuduga kamu bukan karyawan Go TV,” ujar pria itu menatap Moza.

“Ema, mampus gue.” 

Terpopuler

Comments

Chen Aya

Chen Aya

mampir thor

2024-05-02

0

LISA

LISA

Aq mampir Kak

2024-05-02

0

#ayu.kurniaa_

#ayu.kurniaa_

.

2024-05-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!