Semua berawal saat pertama kali berkenalan dan berjabat tangan. Aku selalu berharap bahwa waktu berhenti bergerak supaya aku bisa menikmati waktuku bersamamu. Dan senja, adalah saksi bisu dari cintaku saat aku mengadu rindu kepada semesta yang tak pernah lelah mendengarkan curhatan ku tentang dirimu. Sebuah Puisi untuk Dila adalah bagian pertama dari cerita ku dalam mendapatkan hati Dila, Wanita yang biasa saja tetapi segalanya dan istimewa dalam hidup ku. terima kasih Dila jika kamu sudah membaca novelku ini, aku ingin mengucapkan sesuatu yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya. Bahwa aku mencintaimu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni A. Arafah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagelaran
Satu bulan berlalu tepat besok adalah hari pagelaran kalas kami, aku yang sedang mempersiapkan property untuk penampilan besok tiba-tiba dikagetkan oleh Bintang yang memukul punggungku.
“Oi lu masih aja ngerjain propertinya?” Ucap Bintang sambil memberikanku minuman kaleng yang baru saja dia curi dari Windi.
Aku mengambil minuman yang Bintang berikan dan meneguknya. “Lu daripada nggak ada kerjaan mending bantuin gua bawa property ini ke aula.”
“Sorry gua bentar lagi naik ke atas panggung.” Ucap Bintang sambil berjalan meninggalkanku.
“Anjing emang tuh anak.” Ucapku sambil membawa property yang akan di gunakan besok ke dalam aula.
Setelah aku menyimpan property itu di aula aku pun berjalan menuju kelas untuk memindahkan property yang lain. Aku yang melihat Dila dari kejauhan sedang membawa property lain pun langsung menghampirinya.
Aku langsung mengambil setengah property yang Dila bawa. “Hati-hati, anak SD jangan bawa benda banyak-banyak.”
“Mau ngebantuin nya nggak niat, malah ngambil setengahnya bukan semuanya.” Ucap Dila dengan muka cemberut.
Aku tertawa. “Nanti kalau diambil semua kamu nggak ada kerjaan terus dimarahi sama produser, jadi aku baikan nggak di ambil semua.”
Dila menginjak kakiku dan berjalan cepat meninggalkanku. “Bodo amat.”
“Sialan emang itu anak SD.” Ucapku sambil berjongkok karena kakiku diinjak oleh Dila.
Sesampai di aula aku langsung berjalan menuju Dila dan menarik jaket yang selalu dia gunakan dan menariknya keatas.
Dila memegang tanganku yang sedang memegang jaketnya. “Deni ngeselin.”
Aku tersenyum dan melepaskan jaketnya. “Tadi yang mulai ngeselin pertama siapa?”
Dila cemberut. “Kamu.”
“Kok aku?”
“Iyalah, soalnya kamu manggil aku anak SD mulu.” Ucap Dila sambil memalingkan wajahnya yang tadi melihat ke arahku.
“Ya habisnya kamu mirip anak SD.”
“Tuh kan bener kamu yang ngeselin mulu.” Dila sambil menjambak rambutku yang sudah panjang.
“Sakit Dila.” Ucapku sambil memegang tangan Dila untuk melepaskan jambakannya.
“Kalian berdua ngebucin mulu jadian kagak.” Ucap Bintang yang berjalan menghampiriku dan Dila bersama Windi.
“Berisik lu.” Ucapku kepada Bintang yang masih memegang tangan Dila. “Mau ngapain lu kesini?”
“Biasa aja ngomongnya jangan ngegas.” Ucap Dila sambil kembali menjambak rambutku.
Aku menunjuk Bintang dengan jari telunjukku. “Ya habisnya mukanya ngeselin, liat aja.”
“Oi nge kenapa bawa-bawa gua?”
“Gua kesini cuma mau manggil kalian soalnya anak-anak lagi rapat di kelas, kalau kalian udah selesai ngebucin nya cepetan balik kekelas.” Ucap Bintang sambil berjalan meninggalkanku setelah memberitahu informasi tersebut.
“Yaudah kita duluan ya, awas lu berdua macem-macem.” Ucap Windi sambil mengikuti Bintang.
Aku dan Dila pergi kekelas setelah Bintang memberi-tahu informasi itu, dalam perjalanan Dila yang melihat rambutku yang sudah menutupi penglihatan ku pun menyuruhku untuk mencukur rambutku.
Dila mengacak-acak rambutku. “Itu rambut udah panjang, jangan lupa cukur tuh nanti menghalangi penglihatan kamu.”
Aku tersenyum. “Cukurnya sama kamu aja kalau nyampe.”
“Yaudah aku cukurnya pake gunting rumput aja ya?” Ucap Dila yang ingin pergi ke gudang untuk mengambil gunting rumput.
Aku memegang tangan Dila yang ingin pergi ke gudang sekolah. “Ya nggak gitu juga konsepnya Dila.”
“Ya makannya cukur.” Ucap Dila sambil kembali men-jambak rambutku.
Aku tersenyum. “Iya-iya aku bakal cukur kok.”
Sesampai dikelas aku melihat sepertinya bakal ada rapat khusus untuk pertunjukan pagelaran besok dan benar saja rapat itu membahas tentang pagelaran. Jadi inti pem-bahasan rapat tersebut adalah kita harus menampilkan tiga kali pertunjukan pagelaran karena bakal dibagi tiga sesi, yaitu sesi pertama untuk anak-anak kelas 10, sesi kedua untuk anak-anak kelas 11 dan sesi terakhir untuk umum. Setelah selesai rapat anak anak lain memutuskan untuk pulang dan beristirahat untuk penampilan besok tetapi bagi tim property kami harus menyelesaikan tugas yang tadi tertunda karena rapat.
“Oi nge lu nggak balik?” Tanya Bintang kepadaku yang masih membereskan property dikelas.
“Mata lu balik.” Sambil mengambil property yang lain untuk di bawa ke aula. “Gua harus beresin ini dulu, kalau gua balik sekarang entar malah gua kena omel sama produser.” Ucapku. samba berjalan membawa property itu ke aula.
Bintang meninggalkanku. “Yaudah gua balik duluan ya.”
Kurang lebih lima belas menit setelah Bintang pulang, aku pun selesai memindahkan semua property yang dibutuhkan untuk pagelaran besok. Aku yang sedang duduk di meja dekat panggung yang berada di dalam aula dengan keringat yang cukup banyak keluar dari tubuhku, Dila yang melihat diriku yang sepertinya kecapean langsung menghampiriku dan menempelkan minuman kaleng yang cukup dingin di pipiku.
Aku yang refleks dengan hawa dingin di pipiku langsung menjauhkan minuman itu dari pipiku. “Dingin.”
Dila tersenyum lebar. “Jangan terus-terusan bengong, nanti kesambet.” Ia mengulurkan kaleng minuman yang tadinya menempel di pipiku. “Nih, minuman buatmu.”
Aku menerima minuman yang Dila berikan dengan rasa terima kasih. “Makasih... Kamu belum pulang?”
“Itu kamu sendiri belum pulang?”
“Bentaran paling istirahat dulu.”
Dila duduk di sampingku. “Yaudah, aku nunggu kamu aja pulang, biar kamu nggak sendiri.”
“Nanti keburu sore loh sampe rumahnya?”
Dila tersenyum. “Kan ini udah sore.”
Aku hanya bisa tersenyum membalas perkataan Dila sambil memandangnya yang juga tersenyum kepadaku. Setelah selesai istirahat sejenak, aku pun mengambil tas yang terletak di kelas dan bersama Dila, kami memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolah.
Langit senja yang indah menyambut langkah kami saat kami berjalan bersama. Aku merasa nyaman dengan ke-hadiran Dila di sampingku. Kami berbincang ringan tentang aktivitas sekolah dan berbagi tawa di sepanjang perjalanan pulang.
Hari ini adalah saat yang dinantikan, ketika pagelaran kelasku akan ditampilkan. Kami semua sibuk mempersiapkan segala yang diperlukan, seperti property panggung, tiket masuk, dan air minum. Di depan pintu aula, aku, Dila, dan Ridwan ditugaskan untuk mengatur antrian para penonton yang antusias. Saat kami tiba, terlihat antrian panjang anak-anak kelas 10 yang sudah menunggu dengan sabar. Ridwan dan aku langsung bergerak membagi tugas, sementara Dila bertanggung jawab menjaga pintu aula.
Aku menghampiri Ridwan dan Dila. “Wan lu urus anak-anak yang mengantri di belakang, Dila kamu jaga pintu aula aja, nanti sisanya biar gua yang atur.”
Ridwan dan Dila menyetujui rencana itu, dan kami bergegas menjalankan tugas masing-masing. Namun, saat aku berusaha mengatur barisan depan, tiba-tiba salah seorang dari mereka menarik lenganku.
“Ini kak Deni, bukan? Kak Deni dari kelas 12 Ipa 1?” tanya seorang anak perempuan dengan penuh semangat. Gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk berfoto bersamaku. “Kak, boleh foto bareng, sekali aja.”
Tiba-tiba, anak-anak perempuan lainnya juga men-dekat dan meminta foto denganku. Anehnya, meskipun aku bukan tokoh utama dalam pagelaran, mereka justru ter-tarik untuk berfoto bersamaku.
“Aku juga, Kak!”
“Aku juga!”
“Ih, ngantri dong! Aku yang pertama kali minta foto, belum foto nih!” ucap salah satu dari mereka dengan sedikit kesal.
“Biasa aja dong. Kak Deni juga nggak masalahin.” kata anak perempuan yang lain dengan santai.
Situasi semakin membingungkan ketika aku mencoba mengatur antrian, dan Dila yang melihat keadaan itu langsung mendekatiku.
Dia menarik tanganku dan menjauhkan ku dari kerumunan anak-anak kelas 10 tersebut. “Maaf ya, Kak Deni nya, saya mau pinjam dulu ya.”
“Siapa si anak SD itu? Tarik-tarik Kak Deni aja, nanti kalau lecet gimana?” kata salah seorang anak perempuan tersebut kepada temannya dengan suara berbisik .
Dila mendengar panggilan “anak SD.” itu dan kekesalannya mulai memuncak, ia ingin menghampiri mereka dan memberikan pelajaran. Namun, aku yang melihatnya segera mencoba menenangkan situasi.
“Udah, udah. Jangan dengerin kata-kata mereka.” Ucap ku sambil berusaha menenangkan Dila..”
Kami berdua berjalan kembali menuju pintu aula, mencoba menghindari anak-anak kelas 10 yang menyebab-kan kekacauan tadi.
“Nggak nyangka ya kamu bakal jadi idola anak-anak cewek kelas 10?” kata Dila dengan muka kesel kepadaku.
Aku tertawa sambil duduk di dekat pintu aula. “Aku juga nggak nyangka, kalau bakal di selamatkan sama anak SD dari anak-anak itu.”
Dila yang kesel karena dari tadi di panggil anak SD pun langsung melampiaskan amarahnya kepadaku dan memukul perutku dan menjambak ku.
Dila melampiaskan amarahnya kepadaku, karena tadi dia di kata-katai oleh adek kelas.
“Kesel... kesel banget sama mereka yang ngatain aku anak SD dan kamu juga.”
Aku tersenyum sambil memegang tangan Dila yang sedang menganiaya ku. “Aduh... Aduh... Udah Dila sakit.”
“Oi lu berdua nggak dengar apa dari tadi, produser bilang suruh buka aja pintu aula. Lu berdua malah ngebucin hadeh.” Ucap Bintang yang datang menghampiriku untuk menyampaikan informasi yang cukup penting. “Yaudah gua aja yang buka pintunya.” Sambil berjalan menuju pintu aula dan membukanya.
Dila pun mengambil tiket masuk yang di berikan setiap siswa kelas 10 untuk memasuki aula dan aku pun mem-berikan instruksi kepada mereka untuk mengantri dengan rapih.
“Untuk yang sedang ngantri tolong jangan saling mendahului, karena kalian semua juga pasti kebagian masuk.” Ucapku berbicara menggunakan toa yang di persiapkan anak-anak kelas.
Setelah kurang lebih dua puluh menit akhirnya antrian pun selesai dan semua anak-anak kelas 10 masuk ke dalam aula untuk menonton pertunjukan pagelaran kelasku.
“Gua duluan ya, bentar lagi gua harus naik panggung.” Ucap Bintang meninggalkanku dan memasuki aula melalui pintu belakang.
Aku menghampiri Ridwan yang sedang duduk di sebelah Dila.. “Lu bukannya harus ngurusin tirai ya?”
Ridwan berlari menuju pintu belakang untuk mengejar Bintang. “Oh iya gua lupa.”
“Akhirnya tenang juga.” Sambil meminum air mineral yang tadi aku bawa sebelum menuju pintu aula.
“Iya bener akhirnya selesai juga.” Ucap Dila sambil duduk dan menyender pada tembok di belakangnya.
Aku mengusap kepala Dila. “Uh... Kasian, anak SD kecapean.”
“Deni... Bilang apa barusan?” Dila memelototi ku dan seakan-akan mau menerkam ku.
Aku berusaha kabur dari Dila. “Enggak kok enggak, barusan anak-anak manggil Deni.”
Dila menahan tanganku dan menyuruh ku untuk tetap duduk. “Bilang apa barusan?”
“Itu—” Tanpa mendengar kelanjutan dari perkataanku Dila langsung menggelitik ku hingga aku tak tertahankan akan geli yang Dila buat.
Aku hanya tertawa karena Dila menggelitik ku. “Dila udah Dila. Hahaha.”
Dila mengancam ku dan terus menggelitik ku. “Bilang apa barusan? Kalau nggak jujur nggak akan berhenti.”
“Iya kamu kayak anak SD.” Ucapku sambil memegang tangan Dila yang sedang menggelitik tubuhku.
“Ngeselin.” Dila melepaskan tangannya dari tanganku dan memukul perutku.
Aku memegang perutku yang baru saja Dila pukul. “Psikopat emang.”
“Kalau iya kenapa? Kamu berani?” Ucap Dila dengan nada ngegas.
“Enggak deh.” Sambil memegang perutku yang barusan Dila pukul sambil tersenyum ke arahnya.
“Yaudah ayo, entar anak-anak nyariin kita lagi.” Dila menarik tanganku tanpa mempedulikan perutku yang baru saja dia pukul.
Dila kamu tau setiap detik yang aku habiskan berdua bersamamu selalu membuatku bersyukur, andai saat itu aku bisa memberhentikan waktu. Aku sangat ingin kita ber-dua terjebak di sana untuk selamanya di mana aku tidak akan kehilanganmu seperti ini. Setelah sampai di pintu belakang dan memasuki aula aku melihat pagelaran kelasku pun sudah dimulai anak-anak kelasku pun nampaknya sedang tegang melihat aksi pembuka pagelaran kami. Aku yang sedang berdiri di sebelah Dila melihat apakah pembukaan pagelaran ini bisa membuat semua orang yang ada di aula terkagum atau kecewa karena pembukaan ini, Dila yang sedang berdiri di sampingku tanpa dia sadari menggenggam tanganku dengan begitu erat dan aku yang merasakan genggaman Dila yang sangat kuat pun hanya bisa pasrah kesakitan.
Dan setelah tirai dibuka Elis yang berperan sebagai Quantin menaiki panggung dan disusul oleh Robi sebagai pemeran utama pria mereka beradu akting dengan sangat baik bahkan untuk pertunjukan awal bisa disebut sangat bagus dan bisa memikat hati penonton yang berada di dalam aula tersebut. Setelah mereka berhasil dalam per-tunjukan pembuka tirai pun ditutup dan kami pun tim property menaikan barang-barang yang di perlukan untuk adegan berikutnya.
“Dila ayo.” Aku mengajak Dila untuk membantu tim property yang lain menyiapkan barang-barang yang di perlukan.
Bintang dan Ravhy memanggilku untuk memindahkan property rumah itu keatas panggung. “Den bantu gua angkat property rumah ini keatas panggung.”
Setelah selesai kami menyiapkan panggung untuk adegan berikutnya, akhirnya tirai kembali di buka. Aku me-lihat Dila yang nampaknya lelah karena sudah memindah-kan beberapa property langsung menghampirinya sambil membawa tisu dan minuman kaleng yang ada di sana.
Aku duduk di kursi sebelah Dila, tubuhku terasa lelah setelah persiapan yang panjang untuk pagelaran ini. Suara riuh penonton dan backsound musik yang menggelegar memenuhi aula. “Capek ya, padahal baru dimulai.” kataku dengan suara pelan sambil memandangi panggung yang di penuhi cahaya sorotan.
Dila tersenyum lembut, wajahnya yang cantik terlihat berbinar di bawah sorotan lampu panggung. “Enggak kok, Den. Ini momen yang kita tunggu-tunggu, semuanya sepadan dengan usaha kita.”
Aku mengulurkan tisu dan minuman kaleng yang tadi aku pegang kepada Dila. “Ini buat kamu. Biar kamu tetap segar selama pagelaran.”
Dila mengambil tisu dan minuman kaleng dengan lembut. Tatapannya menembus hatiku, membuat detak jantungku semakin cepat. “Makasih ya, Den.” ucapnya dengan senyum manis.
Tiba-tiba, suasana berubah. Aku memanggil Dila dengan suara rendah, menundukkan kepalaku agar kata-kataku hanya terdengar olehnya. “Dila... Selama ini. Deni menyukai Dila.”
...****************...