Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengabarkan Rindu
Aku tetawa getir untuk kesekian kalinya, seolah sudah menjadi tradisi setiap ada acara besar dalam keluarga kami pasti ada keributan. Kalau dulu-dulu sampai berujung pernikahanku yang gagal, apakah keributan kali ini akan lebih parah? Atau justru keributan ini tidak berpengaruh dengan acara yang kami adakan? Entahlah sidang baru akan di mulai.
Aku menatap wajah adik bungsuku seolah ada senyum kepuasan di wajahnya. Berbeda dengan dua adikku yang lain, mereka seolah memiliki rasa penyesalan. Setelah puas menatap kedua adikku, kini aku pun mengalihkan pandangan pada kedua orang tuaku. Aku melihat ada kekecewaan di wajah Ibu dan Bapak.
Aku berusaha diam saja, meskipun emosiku sudah berada diubun-ubun. Aku bahkan sudah siap apabila semua kejadian memalukan ini akan dilimpahkan padaku, seperti sebelumnya. Ah, sudah biasa hati ini dipaksa mengalah dan mengakui kesalahan, meskipun bukan aku yang memulainya. Bukannya seorang kakak harus mengalah untuk adiknya. Kembali aku teringat kata-kata Bapak yang sakral itu.
"Lyra, apa sebenarnya yang kamu rencanakan lagi?" tanya Bapak kali ini langsung menuju pada sasaran yaitu Lyra, berbeda seperti biasanya yang pertama dipanggil biasanya aku. Karena aku adalah anak pertama.
Dapat aku lihat dari ekor mataku, adik bungsuku nampak kaget ketika namanya disebut pertama kali oleh Bapak, nada bicara Bapak yang tegas dan juga terlihat marah, membuat wajah Lyra memerah dan tegang.
"Bu... bukan Lyra yang mulai Pak, Bu," akunya, aku hanya diam dan mendengarkan dengan senyum sinisku. Yah, selalu saja begitu jawabanya apabila melakukan kesalah. 'Bukan aku yang mulai' Seolah dia hanya berani berkelompok, ketika sendiri-sendiri nyalinya seperti kerupuk terkena air hujan.
"Kalau bukan kamu siapa? Bapak sudah tahu semuanya, tanpa Bapak tanya pada kamu maupun Mbak-Mbak kamu yang lain atau malah tetangga. Kamu yang mulai. Apa kamu tidak kasihan sama Mbak kamu yang akan menikah? Setidaknya sekali saja jangan bikin keributan. Bapak pikir kamu akan berubah sudah punya suami dan juga anak, tapi malah Bapak lihat kamu semakin menjadi-jadi." Bapak dengan suara tegasnya berbicara dengan berdiri, sedangkan kami duduk di kursi, termasuk juga Ibu duduk di tengah-tengah kami.
Hatiku seketika langsung sejuk, api kemarahanku dalam waktu singkat langsung meredam seolah ada yang menyiramnya dengan air yang dingin. Jujur dari sekian tahun aku sering terlibat cek-cok dengan adik-adikku baru kali ini Bapak seolah berdiri di pihakku. Aku merasa kalau Bapak sekarang adalah laki-laki yang adil, tidak seperti yang sudah-sudah. Siapa pun yang salah, anak pertama yang harus memaklumi kesalahan adiknya.
"Loh bukanya yang Lyra katakan benar. Calon suami Mbak Lydia dudukan? Lalu yang salahnya di mana?" tanyanya, masih terus melakukan pembelaan.
"Hamil duluan, hutang-hutang seolah calon suami Lydia orang yang gila pujian, dan juga tuduhan yang lain. Kamu jangan menyebarkan gosip yang tidak-tidak Dek. Yang malu nanti bukan hanya Lydia tapi juga Ibu sama Bapak, kami semua malu. Cukup kami malu karena kamu yang hamil duluan dengan calon suami kakak kamu dulu, jangan bikin malu lagi dengan berita yang kamu karang." Kali ini Ibu yang angkat bicara. Sama dengan Bapak, Ibu juga nampak emosi dengan perbuatan adik bungsu ku.
Aku menunduk, hatiku serasa sangat sejuk ketika kedua orang tuaku membela aku dan juga calon suamiku. Hingga tidak terasa aku meneteskan air mata.
"Ya Tuhan ternyata begini rasanya dibela oleh orang tuaku di depan adik-adikku," batinku dengan hati yang justru melow.
Bapak dan Ibu juga menasihati adikku yang lain Lisa dan Lika, yang mereka sih aku lihat tidak terlalu banyak berkicau akan masalah pernikahanku. Selain Lyra yang memang dari dulu dia itu selalu iri dengan aku. Ah mungkin aku yang lebih beruntung dari segi pendidikan dan juga usaha, aku yang sudah mandiri meskipun Bapak selalu membantu keuanganku, tetapi karena usahaku aku bisa membeli apa-apa dengan hasil uang-uangku. Kalau ditanya wajah, sama yah kami sama-sama cantik hanya saja aku memilih berpenampilan tertutup berbeda dengan Lyra yang menyukai gaya berpakaian terbuka. Kembali lagi keselera masing-masing dan pengertian agama.
"Udah kamu istirahat saja Mbak, nanti kamu ke luar kamar kalau memang sudah akan melewati serangkaian acara. Biar kamu tidak setres kalau ada guncingan apapun itu," Istirahat apalagi pernikahan kamu tinggal tiga hari lagi. Ada acara malam midodareni yang harus kamu lewati, pengajian di malam sebelum akad, jadi kamu harus tenang nggak usah mikir yang macem-macem." Bapak menutup sidang kali ini. yang tidak terlalu lama mungkin hanya berlangsung sekitar tiga puluh menit.
Aku pun berpamitan pada kedua orang tuaku, dengan hati yang bahagia dan tenang aku meninggalkan ruangan pribadi Bapak. Bahkan aku melangkahkan kaki lebih ringan dari pada ketika aku masuk tadi.
Ternyata Bapak dan Ibu bisa tegas juga pada adik-adikku. Apa mungkin karena aku yang akan menikah dan akan meninggalkan rumah ini mengikuti suami aku, sehingga mereka bersikap baik. Aku mencoba menepis pikiranku dan aku mencoba bersikap santai dan tenang, mengikuti apa yang Ibu dan Bapak katakan. Berdiam diri di dalam kamar membaca-baca buku yang mungkin saja bisa membuat aku tidak tegang lagi.
Malam hari aku kembali ke kamar setelah menyambut tamu yang datang terutama tamu dari keluarga Bapak yang jauh-jauh datang untuk menyaksikan pernikahnku. Sejak kejadian tadi aku dan adikku seperti biasa berbicara kalau ada yang penting saja. Bahkan aku malam ini tidak melihat Lyra, hanya ada Lysa dan Lyka. Ah, mungkin dia marah, biar saja toh sudah biasa.
Setelah bercengkrama dengan keluarga besar aku pun masuk kembali ke dalam kamar. Cape juga pura-pura senyum dan terlihat ceria, sedangkan dalam hatiku aku mulai merasakan semakin tidak tenang. Apalagi dari pihak calon suamiku tidak ada kabar apa-apa. Aku mau bertanya dulu juga tidak enak hati karena takut mengganggu mereka. Tiak bertanya aku pun semakin dilanda rasa cemas.
Aku meraih ponselku yang aku simpan di laci, berharap ada pesan dari calon suamiku, tapi nyatanya tidak ada laporan pesan. Hatiku sedikit nyeri dan kembali diselimuti oleh keraguan. Aku berusaha menyiapkan hati apabila yang aku takutkan terjadi. Namun, aku tidak kuat. Sehebat aku mencoba untuk tenanng, tetapi pada kenyataanya aku tetap merasakan sulit untuk melakukan itu, apalagi ketika waktu semakin terkikis menuju hari bahagia.
Dari balik jendela aku termangu, menatap pekatnya malam, dan langit yang bertabur bintang. Dengan angin sejuk aku mencoba mengutarakan rasa rindu, ketakutan, dan juga rasa hampaku dalam sebuah unggahan setatusku.
Dari balik jendela, aku merenungi segala yang telah terjadi
Mencoba bercerita pada sunyi, akan kegundahan hati
Tapi sang sunyi tidak mendengar
Lalu aku bertanya pada gelap
Namun, sang gelap juga tidak memberikan jawaban
Lalu aku mencoba menjerit,
Lagi, yang kudapat hanya keheningan
Dalam keheningan, aku berbisik pada hatiku
Sebenarnya rasa apakah ini?
Apakah ini hanya rasa rindu saja?
Apakah hanya rasa ketakutanku saja?
Akankah ini pertanda bahwa semua harapku akan hilang?
Rintik kelabu menghias rindu
Mengenang angan dengan sebait kenangan
Pekatnya malam menumpahkan semuanya
Tertuju yang jauh di sana
Bagaimanakah kabarnya?
Jangan tanya bagaimana rasanya
Rindu yang bisu ini
Hanya satu yang ingin aku tahu akan jawabnya
'Aku baik-baik saja'
Send, jempol ku menekan kata ok, dan dalam hitungan detik foto yang barusan aku unggal di mana aku sempat mengabadikan dengan jepretan kamera, suasana malam di desaku dengan caption yang menggambarkan sedikit kegundakanku.
Aku langsung tersentak kaget ketika Aarav langsung melakukan panggilan Aku bingung bahkan sampai wajahku terasa panas seolah terbakar.
Angkat, tidak, aku justru merasa dalam situasi yang sulit, "Oh Lydia kenapa kamu bodoh sekali, pakai kasih kode-kode. Giliran begini aku kebingungan sendiri." Aku merutuki diriku sendiri yang bodoh ini.
#Nah kan giliran om duda telpon kalang kabut, macem-macem sih pake kasih kode-kode segala....
...****************...
Sembari nunggu telpon om duda diangkat atau tidak sama Mbak Lidi, yuk melipir ke karya besti othor di jamin bikin deg-deg ser...
RENJANA, judul yang keren, sekeren ceritanya.
Kuy ramaikan....