Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gusar
"Mas," panggil Erin saat Abidzar baru selesai mandi. Hari ini memang ia pulang lebih cepat. Semenjak kehadiran Freya, ia merasa quality time-nya dengan Erin sedikit berkurang. Jadi ia hendak mengajak Erin sekedar makan malam di luar.
Selain itu, hatinya akhir-akhir ini sedikit gusar. Seakan ada rasa yang berkecamuk entah apa sebabnya. Ia pikir mungkin itu karena perasaan bersalahnya pada sang istri. Meskipun madu itu istrinya yang membawa, tapi sedikit banyaknya itu karena diri dan orang tuanya juga.
Sejak awal pernikahan memang ia mengatakan ingin memiliki anak yang banyak. Minimal 3 anak. Namun, bulan berganti bulan hingga pernikahan mereka menginjak usia 3 tahun, anak yang diharapkan tak kunjung hadir. Orang tua dari kedua belah pihak sampai mempertanyakan. Begitu juga orang tuanya yang bukan hanya memimpikan memiliki seorang cucu, tapi juga membutuhkan ahli waris sebab Abidzar yang tak mau meneruskan usaha orang tuanya.
Hingga Erin pun melakukan pemeriksaan secara diam-diam dan hasilnya ternyata cukup menghancurkan mimpi dan angan-angannya. Bukan hanya dirinya, mungkin bila orang tuanya tahu, mereka pun akan turut hancur. Erin mandul. Seperti itulah yang tertulis di dalam lembaran hasil pemeriksaan kesuburannya.
Karet merasa gagal, Erin sampai menelan hatinya dan menghadirkan wanita lain untuk mengandung anaknya. Abidzar yakin, jauh di dalam hati Erin pun pasti merasa sakit karena harus menghadirkan madu di tengah-tengah rumah tangganya. Tak ingin membuat Erin merasa makin tersakiti, ia pun berniat mengajak Erin makan malam romantis di luar. Berharap hal tersebut dapat sedikit mencairkan suasana yang sedikit menegang akibat misinya yang belum juga terlaksana.
Malam itu memang ia berhasil menjebol gawang surgawi Freya, tapi hanya sebatas itu. Ia tak melanjutkannya sampai ke inti. Tak ada benih yang ditabur. Abidzar masih diselimuti kebimbangan karena itu belum sanggup melanjutkannya.
"Ya." Sahut Abidzar sambil mengulas senyum. Tampak istrinya sudah tampil cantik seperti biasanya. Erin sungguh pandai merawat diri. Oleh sebab itu, saat mamanya berniat menjodohkannya dengan Erin, ia menerima saja. Toh mereka sudah lama saling kenal. Selain itu, ia pikir hatinya telah mati jadi kapan mau menikah bila hatinya saja seakan terkunci dan sukar untuk terbuka pada perempuan lain.
Saat telah berdiri di hadapan Erin, laki-laki itu pun mengusap pipinya pelan.
"Cantik." Puji Abidzar membuat Erin tersipu.
"Mas."
"Ya."
"Begini ... emmm ... beberapa hari ini aku akan tidur di rumah mama. Aku harap, waktu yang aku berikan ini kau manfaatkan sebaik mungkin. Aku harap satu bulan kemudian kita sudah mendengar kabar baik. Jangan menunda-nunda lagi, Mas. Lebih cepat lebih baik. Aku pun tak sanggup bila melihatnya lama-lama di sini. Apalagi membayangkan kalian ... ah, aku nggak sanggup, Mas. Jadi aku mohon, segera lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan." Ujarnya sambil tersenyum lembut.
Seketika rahang Abidzar mengeras. Sebenarnya Erin ini wanita seperti apa? Bagaimana ia bisa dengan tenang meminta suaminya tidur dengan perempuan lain? Bukankah banyak cara untuk hamil, inseminasi mungkin atau bayi tabung. Tapi ia justru memilih sesuatu yang tak terduga. Alasannya, ia ingin anaknya tercipta secara normal. Aneh, bukan.
"Rin ... " Abidzar memasang wajah memelas.
"Mas, please! Aku bosan bila harus kembali berdebat. Semoga semuanya berjalan sesuai rencana ya. Kalau begitu, aku pergi dulu."
Erin mengecup pipi Abidzar. Kemudian segera pergi dari sana meninggalkan Abidzar dengan dada bergemuruh. Apalagi saat rencananya gagal total membuat dirinya kian diselimuti emosi.
"Aaargh ... "
Brakkk ...
Abidzar menendang kursi rias Erin hingga terpelanting jauh. Emosinya benar-benar membuncah. Lantas Abidzar memilih merendam tubuhnya di dalam bathtub yang berisi air hangat. Berharap apa yang ia lakukan bisa meredakan gemuruh di dadanya.
Jam makan malam tiba. Ternyata rasa kesal itu belum benar-benar pergi. Jadi ia memilih melewati jam makan malam. Ia memilih duduk bersandar di balkon kamarnya sambil menyemburkan asap dari pembakaran batangan tembakau. Berharap apa yang dilakukannya bisa sedikit menenangkan hati dan pikirannya.
Namun, detik berganti, tapi gemuruh itu kian menjadi. Bila tadi alasannya sikap Erin, maka berbeda kali ini. Dari balkon kamarnya, ia melihat Freya tengah duduk berdua dengan Tirta. Mereka tidak sekedar mengobrol, tapi juga bersenda gurau. Freya tampak tertawa. Beberapa kali juga Tirta mengusap kepala Freya membuat gemuruh di dadanya kian bergejolak.
"Sial. Nggak tahu malu. Apa dia nggak bisa cari wanita lain yang single untuk didekati? Kenapa harus Freya?" gumam Abidzar dengan rahang mengeras.
Dengan perasaan gusar, Abidzar mondar-mandir di balkonnya. Ingin menghampiri, tapi gengsi masih setinggi Himalaya. Tapi terus diam membuat perasaannya kian berkecamuk.
"Kenapa harus Freya?" desis Abidzar seraya mendesis. "Kau juga ... seharusnya sadar kau itu seorang perempuan, seorang istri juga, seharusnya bisa jaga jarak. Wajar bila banyak yang menilai mu rendah, sedangkan sikapmu seperti itu." Gigi Abidzar bergemeretak. Hatinya dongkol bukan main. Hingga saat ia melihat Tirta pamit undur diri, satu sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum sinis.
Dengan langkah panjang, ia segera ke paviliun dan membukanya dengan kunci cadangan. Freya yang saat itu baru keluar dari kamar mandi sampai terperanjat. Ia terkejut melihat keberadaan Abidzar pun dengan ekspresi muram dan masamnya.
"Tu-tuan."
"Sudah puas mengobrolnya? Sudah puas bersenda gurau nya? Sudah puas hahahihi dengannya? Sudah puas, hah? Sudah puas? Kau itu seorang istri Freya, bukan perempuan lajang yang bisa bebas berdekatan dengan siapapun. Apa kau tak paham itu?" desis Abidzar membuat Freya sedikit merasa bersalah. "Apa karena kau hanya dinikahi secara siri jadi kau bebas mau sesuka hatimu?" Tambahnya lagi. Freya menunduk dalam. Ia sedikit merasa bersalah. Tapi juga tidak merasa benar-benar bersalah. Dia hanya berteman saja dengan Tirta, apa tak boleh? Tapi Freya memilih diam. Ia tak mau menambah masalah dengan mendebat Abidzar. Toh apa yang dilakukan Abidzar sebenarnya ada benarnya.
"Maaf." Cicit Freya dengan wajah tertunduk. Hanya satu kata itu yang mampu ia ucapkan.
"Bersiaplah." Ucapnya datar. Enggan membahas kedatangan Tirta lagi. Khawatir dirinya kian panas dan berbuat sesuatu yang dapat menyakiti Freya.
"Be-bersiap untuk apa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
"Melakukan kewajibanmu yang tertunda. Aku ingin kita melakukannya malam ini. Tanpa paksaan. Dengan hati yang ikhlas, apa kau mau?" ucapnya datar. Abidzar memalingkan wajahnya. Sebenarnya ia malu ingin mengatakan ini. Tanpa sadar pipinya pun memerah.
"Tapi ... "
"Tapi apa? Kau menolakku? Kau menolak melaksanakan kewajiban mu!" Sorot mata Abidzar kini beralih pada Freya yang mendadak gugup. Apalagi saat mata mereka bersirobok. Ada rasa takut, tapi ia pun harus sadar akan kewajibannya. Terlepas dari perjanjian, Abidzar kini adalah suaminya. Sudah sepatutnya ia memberikan apa yang laki-laki itu inginkan. Dengan mengucapkan bismillah, ia pasrahkan segalanya pada sang pencipta. Semoga kelak ada secercah sinar harapan dan kebahagiaan untuknya.
"Ti-tidak, tuan. Ba-baiklah."
Dengan wajah yang tertunduk, Freya masuk ke kamarnya. Disusul Abidzar di belakang. Abidzar menutup pintu. Dengan jantung yang berdebar, akhirnya keduanya melakukan apa yang semestinya mereka lakukan. Awalnya Freya merasa sakit. Tapi perlakuan Abidzar yang lembut kini justru membuatnya terlena. Benar-benar lembut. Sangat berbeda dari perlakuan sebelumnya.
Freya benar-benar terhanyut dalam buai pusara kenikmatan. Hingga akhirnya keduanya tiba di puncak secara bersamaan. Di saat itulah, akhirnya Abidzar berhasil menyemburkan benih-benihnya yang berharga. Berharap benih-benih itu dapat tumbuh subur di rahim istri keduanya itu.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor