Callista, wanita muda yang terdampar dipinggir pantai dan ditemukan oleh nelayan bernama Biru.
Saat dia tersadar, dia pura pura amnesia demi bisa tinggal bersama Biru. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Callista merasakan kejanggalan terjadi saat dia terjatuh di laut. Pasalnya, tak ada satupun yang berusaha menolongnya. Bahkan samar samar dia bisa melihat paman dan bibinya tertawa melihatnya tenggelam.
Callista menunggu usianya 21 tahun untuk kembali kerumahnya. Dia akan mengambil alih semua warisan dari kedua orang tuanya yang saat ini ada dibawah kekuasaan paman dan bibinya. Sejak kecelakaan itu, dia baru sadar jika paman dan bibinya tidak tulus menyayanginya selama ini. Mereka hanya mengincar hartanya saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CARI UANG
POV CALLISTA
Hari ini aku akan pergi jualan souvenir dengan Santi. Tekadku sudah bulat untuk membantu suami tercintaku mencari uang. Setidaknya, biarlah aku ini berguna, bukan bisanya menyusahkan saja.
Aku mendengar suara ketukan dari pintu belakang, sudah pasti itu Santi. Gegas aku mengambil topi dan membukakan pintu untuk Santi.
"Yuk, aku udah siap." Ucapku sambil kembali menutup pintu. Bukannya segera berangkat, Santi malah menatapku dari atas ke bawah.
"Ada apa?" Tanyaku penasaran. Pasalnya caranya menatapku sunggu tak enak sekali. Kayak juri yang lagi menilai penampilanku.
"Yakin pakai ini?"
"Emang kenapa?" Perasaan tak ada yang salah dengan penampilanku. Aku memakai minidress model kerut dibagian dada yang selanjutnya kututupi dengan sarung pantai. Tak lupa aku memakai topi agar tak kepanasan.
"Kamu bilang mau pakai seksi, kenapa biasa gini?"
Ya elah, kirain apaan.
"Biru bilang, aku gak boleh keluar dengan pakaian yang kelihatan perut dan paha. Takutnya pahaku dikira ayam goreng dan langsung dicaplok sama laki diluaran sana."
"Yaaa....aku jadi pakai seksi sendirian dong." Jawabnya lemas.
Aku memutar tubuh Santi sampai 360 derahat. Perasaan tak ada seksinya. Lalu dimana seksi yang dia maksud. Celana kulot dan jaket, sungguh jauh dari kata seksi.
"Paan sih Cal, pusing kepalaku kalau kamu putar putar gini." Sewotnya sambil melotot.
"Apanya yang seksi?"
Dia membuang nafas kasar lalu berbisik padaku. "Sengaja aku tutupi agar gak ketahuan Mas Gani sama Ibu. Bisa mati aku kalau mereka tahu."
Seketika aku tertawa ngakak. Pintar juga idenya Santi. Kayaknya bakat jadi maling dia.
"Kamu sudah ijin sama Biru?" Tanyanya.
"Udah. Aku bilang ikut kamu jualan. Langsung diiyain sama dia. Pasti dia pikir kita mau keliling jualan ikan asin." Jawabku sambil menahan tawa.
Setelah itu, kami langsung berangkat menuju pantai menggunakan motor Santi. Baru tahu aku kalau pantai seramai ini pas weekend. Banyak sekali mobil dan motor diparkiran. Sepertinya pengunjung banyak yang berasal dari luar kota dilihat dari plat nomornya yang bermacam macam.
Aku dan Santi mulai beraksi dengan membawa keranjang yang berisi gelang, kalung, gantungan kunci, serta lainnya. Ternyata bukan hanya kami berdua yang mengais rejeki dengan cara ini. Beberapa orang juga tampak berjualan yang sama. Aku yang masih trauma dengan laut, tentu saja tak berani mendekat ke bibir pantai. Mendengar suara ombak saja, aku sedikit gemetaran. Tapi saat bersama Biru, aku merasa lebih tenang, beda dengan saat ini. Mungkin karena aku merasa terlindungi saat bersama Biru.
"Kita harus bisa menjual banyak Cal. Satu bijinya, kita bisa untung 3 ribu. Bayangin kalau kita bisa jual seratus biji." Ujar Santi penuh semangat. Beda denganku yang mendadak lemas. Untung 3 ribu perbiji? Astaga, apa itu sepadan dengan lelahnya kaki dan bibir yang terus nyerocos untuk menarik perhatian pembeli? Sesusah inikah cari uang?
Seketika aku teringat Papah. Terimakasih karena selama ini telah membuat hidupku berkecukupan tanpa harus susah payah mencari uang.
"Ayo Cal." Santi menarikku mendekat ke bibir pantai yang ramai pengunjung. Segera aku tepis tangannya dan menggeleng.
"A, aku takut San. Aku masih trauma."
Santi menghela nafas lalu menunduk lemas.
"Kalau gini, kita bakalan susah nyari pembeli Cal."
"Maaf, tapi aku beneran gak berani."
Terpaksa kami berjualan diarea atas saja. Tak banyak orang disana. Dan lagi, kebanyakan dari mereka hanyalah orang orang tua yang tak ikut turun ke laut. Mana mungkin mereka tertarik pada pernak pernih anak muda.
Setelah hampir satu jam berkeliling, aku Santi baru berhasil menjual 2 biji. Bayangkan teman teman, hanya 6 ribu rupiah untung yang kami dapat. Setelah dibagi dua, alasil hanya mengantongi 3 ribu. Bagaimana aku bisa membantu Biru jika seperti ini. Ditambah lagi cuaca panas yang membuatku ngiler melihat es teh. Dengan berat hati, uang 5 ribu melayang dari kantong demi segelas es teh. Bukannya untung, yang ada aku malah tombok 2 ribu.
Aku dan Santi duduk dipasir sambil menyedot es teh yang ternyata tak manis itu. Sepertinya penjualnya hanya memberi sedikit gula biar untung banyak.
"Apa kita pulang aja ya San?" Jujur aku sudah putus asa. Tak pernah tahu jika mencari uang itu sesusah ini.
"Ya elah, baru segini udah nyerah. Aku kalau jualan ikan asin aja, biarpun gak laku, besoknya masih jualan lagi. Kita tunggu aja Cal. Mungkin sorean dikit lebih ramai. Dan mereka noh." Santi menunjuk orang orang yang sedang bermain dipantai. "Mereka pasti lelah dan naik. Itu kesempatan kita buat masarin dagangan. Lupa kalau perahu laki kamu rusak? Mau gak makan?"
Hadeh, lebay banget Santi. Masa iya sampai gak makan. Gelandangan aja bisa makan, masak iya aku yang anak konglomerat mati kelaparan?
"Kayaknya kita memang harus sedikit beraksi deh San. Buka jaket kamu, dan aku buka kain pantai aku. Bisalah kita gaet tuh cowok cowok." Tunjukku pada segerombol pria yang main dipantai.
"Yakin kamu? Bukankah kata Biru gak boleh pamer paha?"
"Gak boleh kalau ada dia. Kalau gak ada__"
"Boleh dong, hahaha." Sahut Santi sambil tertawa ngakak. Kita berdua lalu tos dan mulai beraksi.
Kubuka sarung pantaiku dan kusimpan dikeranjang paling bawah. Tinggalah mini dress yang sangat pendek karena memang postur tubuhku tinggi. Kerutan di bagian dada dan lengan, sengaja aku turunin dikit biar makin seksi.
"Gila, pendek banget rok kamu Cal. Pantesan sama Biru dilarang pamer paha, orang mulus banget gitu." Santi geleng geleng melihatku.
"Cepetan kulot kamu dilepasin. Katanya dalamnya pakai hot pant." Titahku sambil merapikan rambut.
"Gak jadi."
"Loh kenapa?"
"Pahaku minder lihat paha kamu. Punyaku yang gosong dan segede lontong, dijejerin ma paha kamu yang putih mulus, yang ada aku malah malu sendiri."
Tawaku seketika pecah mendengar ucapannya.
"Aku buka jaket aja. Setidaknya, gak malu kalau dekat kamu. Secarakan dadaku lebih aduhai daripada punya kamu." Ucapnya bangga seraya melepas jaket dan memamerkan dadanya yang lumayan monntok itu.
"Ce ileh, dada segitu aja bangga. Tunggu aja tanggal mainnya. Nanti kalau punyaku sering digarap Biru, juga bakal segede punya kamu."
"NANTI!" Pekik Santi. "Emang selama ini gak pernah?"
Aku seketika menelan ludah karena sadar udah keceplosan. Bisa habis dibulli Santi kalau dia tahu aku masih perawan meski udah seminggu lebih nikah. Pasti aku diledekin gak menarik hingga gak bisa bikin Biru bernaffsu. Ya elah, kapan sih durenku dibelah? Lama kali Biru mengasah golok tumpulnya itu.
"Cal, jangan bilang kalau kamu dan Biru belum pernah__" Santi tak melanjutkan ucapannya. Dia malah melotot sambil menutupi mulutnya yang terbuka lebar.
"Hahaha..." Aku tertawa absurd untuk mengurangi ketegangan. "Mana mungkin aku gak pernah gituan. Mana tahan Biru gak nyentuh istrinya yang cantik dan seksi ini. Baru lihat bibirku aja, dia bilang udah gak kuat.Tiap hari dia minta jatah sampai aku kualahan."
Mimpi kali Cal. Kapan Biru minta? Bahkan kamu godain aja gak mempan?
Santi tiba tiba menyingkirkan rambutku kebelakang lalu memeriksa leherku.
"Aku kok gak pernah lihat bekas cipokkan di leher dan dada kamu ya?"
Hadeehhh sampai segitunya Santi. Kirain dia oon, ternyata pintar juga. Aku jadi harus mikir lagikan mau jawab apa.
"Sengaja bikinnya ditempat yang tersembunyi biar gak ada yang lihat. Takutnya nanti pada ngiri."
Ngiri dari hongkong. Yang ada aku yang ngiri kalau lihat bekas cipokkan dileher Santi.
Santi manggut manggut, sepertinya dia percaya. Melihat gerombolan cowok pada naik, aku langsung menarik Santi agar berdiri dan beraksi.
Dengan langkah kaki mirip model diatas catwalk, aku dan Santi menghampiri mereka dan mulai menawarkan dagangan. Sengaja harga aku naikkan dua kali lipat agar untung banyak.
"Ok, aku beli 20 biji asal...."
"Asal apa?" Tanyaku pada pria yang hendak membeli dagangan kami.
"Dapat bonus nomor telepon kamu." Sahutnya sambil menarik sebelah alisnya ketas.
"Huuuu..." Teman temannya langsung bersorak. Sedangkan dia cengengesan sambil menatapku dari atas kebawah. Kalau bukan demi jualan, ogah aku deket deket dengan cowok modelan gini.
"Baiklah, aku setuju." Bukan aku yang jawab, melainkan Santi. Segera aku pelototin dia. Apa apaan ini anak, nomor telepon apaan, ponsel saja aku gak punya.
Santi cekatan mengeja angka demi angka yang lansung ditulis di ponsel oleh cowok itu. Takut ditipu, dia langsung coba miskol. Dan berderinglah lagu di ponsel Santi. Gila anak itu, ternyata dia memberikan nomor ponselnya sendiri.
Setelah membayar souvenir yang dia beli dan memberikan kembaliannya padaku, cowok itu dan teman temannya pamit pergi.
"Nanti malam aku telpon ya cantik." Ucapnya sambil memberikan cium jauh padaku. Aku pura pura senyum meski sebenarnya mual melihat tingkahnya.
"Gila kamu San. Gimana kalau nanti malam dia beneran telpon? Gak takut suami kamu tau?"
Santi memutar kedua bola matanya sambil membuang nafas kasar.
"Kamu itu amnesia apa oon sih Cal? Gitu aja kok repot. Sampai rumah nanti, tinggal blokir aja nomornya. Bereskan?"
Sebenarnya pintar juga nih anak. Sayang nasibnya saja yang kurang bagus hingga hanya sekolah sampai SMP.
Setelah berhasil menjual 20 biji dengan harga dua kali lipat, aku dan Santi makin semangat jualan. Kami langsung menyasar calon pembeli berikutnya.
Tak sengaja, mata ini melihat seseorang yang sejak seminggu lalu aku benci. Siapa lagi kalau bukan Safa.
"San, itu Safa bukan sih?" Tanyaku sambil menunjuk kearah Safa yang baru kaluar dari disebuah kedai kelapa muda.
Santi yang sedang sibuk menghitung sisa dagangan, tak segera melihat kearah yang kutunjuk.
"San." Panggilku lagi.
"Paan sih Cal?"
"Ada Safa."
"Mana?" Santi mengedarkan pandangannya tapi sayangnya, orang yang terlihat mirip Safa tadi udah gak kelihatan lagi.
"Salah lihat kali. Safa dikota, lagi kuliah."
Lanjutin kaaak pliiiss
Gegara kutinggal lahiran di kampung, katanya tiap malem kangen. Liat wajan, panci, semua peralatan dapur inget aku terus wkwkwk
Udah lama banget nggak nemu novel komedi di sini yang asiik, ceritanya pas dan penulisannya bagus. Kemana ajaaa yaa aku haha