Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove ~ Bab 8
"A, Sasi boleh ikut engga?"
Entah angin apa yang menyebabkan anak koala itu begitu nempel sama engkongnya buaya, tak tau karena bawaan ia yang malas di rumah, melihat wajah amih tuh bawaannya pengen nelen karbol atau ia yang kelewat pengen jalan-jalan dan ngintilin Bagas, siapa tau circle Bagas itu asik-asik...ya khannn? Tanpa diduga tanpa dikocok kaya arisan ia bisa dapet cowok mahasiswa yang seperti Bagas, temennya Bagas may be....
Sasi pun gadis abg pada umumnya, teman-temannya di sekolah sudah pernah memiliki hubungan dengan lawan jenis. Crush, begitu mereka menyebutnya. Bahkan Anjana kini sedang menjalin hubungan dengan pemuda berbeda sekolah, Tak dipungkiri Sasi pun ingin merasakannya, namun terkadang ia mengurungkan niatannya mengingat satu dan lain hal.
Padahal kan lumayan, kalo punya cowok bisa anter jemput sekolah, main ada yang jajanin sama temenin, itu yang namanya penghematan. Gkgkgk...
Sejenak Bagas diam saat tengah memakai helmnya, "mau apa ikut? Janganlah..." jujur saja ia sedikit risih, Bagas tak pernah mengikutsertakan siapapun ketika ia beraktivitas, bahkan Salsa sekalipun.
"Ikut atuh, a. Janji ngga ganggu..." pintanya. Alis Bagas naik sebelah, "aa ngga biasa bawa orang Si, apalagi bawa-bawa adek. Kaya jaman apa aja, maen sambil ngasuh adek.." akuinya. Sasi merengutkan bibirnya, "ya udah atuh. Anterin Sasi pulang..." terlihat jelas gadis itu kecewa.
Baru saja Bagas memundurkan motornya bersama Sasi yang menyentuh jok, ponsel Bagas bergetar hebat kaya kena gempa.
Gas, dimana bro?! Ada kang Apox di shelter.
Bagas terlihat mengangguk dan menjawab dengan santai nan kalem, sementara Sasi...memilih menatap langit sore yang mendung dan siap menurunkan gelayut hujannya lagi, "a nanti ke Cipaganti aja, jangan ke rumah. Sasi mau ketemu teteh dulu." ucapnya me-request.
Saat Bagas membalas tatapannya pada Sasi, pemuda itu rupanya merubah keputusannya, "janji jangan ganggu?" telunjuknya mewanti-wanti. Senyumnya melebar membuat pipi chubby itu sepenuhnya terlihat menggemaskan, "janji."
Kedua tangan Sasi beralih bertumpu pada kedua pundak Bagas lalu sejurus kemudian ia telah duduk manis di jok belakang menikmati punggung terkeren sepanjang sejarah, karena jelas senyuman Sasi menguar manja.
Mitos, kekehnya dalam hati.
Si pemilik punggung terkeren setelah apih itu tampak fokus mengendarai sepeda motornya melewati kelokan dan jalanan bergelombang dari Dipatiukur hingga daerah Cipaganti, namun sesekali berhenti di lampu merah atau saat laju kendaraan macet. Sasi memperhatikan kemeja yang dipakai Bagas dengan pikiran yang sudah melanglang buana jauh.
Bagas menoleh sejenak, kali aja bocah itu tertidur, pasalnya tumben sekali ia tak ngoceh-ngoceh persis burung parkit.
"Si, jangan tidur! Kebiasaan orang Indonesia ini mah, abis kenyang tidur..." omel Bagas.
"Engga, a. Cuma lagi mikir aja, kayanya enak ya punya pacar....bisa dianter kemanapun kalo mau pergi...." ujarnya menikmati suasana hatinya yang mencelos ngenes, nasib jomblo ya gini....pas Bandung lagi dingin-dinginnya, ngga ada yang meluk buat ngangetin kalo bukan kompor dan mie instan. Pokoknya Bandung jahat buat para jomblo, deh!
Bagas hanya membalasnya dengan berdecak kencang, saking kencangnya Sasi kira itu suara kopling.
"Masih kecil, ngga usah macem-macem pengen pacaran segala. Sekarang tuh ngga perlu punya pacar kalo mau kemanapun, itu pacar apa ojek?!" ia tertawa renyah mencibir Sasi. Yang praktis saja Sasi menghadiahinya dengan pukulan telak di punggung Bagas.
"Ck. Sasi udah gede....ngga bisa liat, Sasi udah bahe noll gini!" entah darimana ia belajar kalimat vulgar begitu, hanya saja kalau di depan amihnya Bagas pastikan Sasi tak akan berani, "lagian Sasi memenuhi syarat spek pacar idaman.."
"Pokoknya ngga boleh, Si. Kata apih sama amih kamu juga ngga boleh."
Sasi menghela nafasnya getir, hidupnya itu seolah tercipta terkekang orang-orang sekitarnya, boleh kaleee dia nakal-nakal sedikit.
"A..." lirihnya memanggil Bagas. Tak jua menyahut, Sasi akhirnya mere mas pinggang Bagas yang langsung menggelinjang kegelian menyebabkan laju motornya sedikit oleng, "ck. Si ih...nanti celaka gimana?!" namun Bagas mengu lum bibirnya geli karena sukses menggoda Sasi.
"Abisnya dipanggil ngga denger, itu kuping apa gantungan kunci?" sarkasnya julid.
Bagas tertawa kembali, hampir saja lalat sekeluarga masuk jika ia tidak segera menutup mulutnya, "kenapa adinda?"
Huwekkkk! Sasi langsung menyengit keras sekaligus membuat gerakan muntahnya, kembali Bagas tersenyum lebar menampilkan gigi-gigi rapinya, "belum diapa-apain udah mual-mual, Si..."
"Serius atuh, a ih! Ini Sasi mau nanya!"
"Oke. Nanya apa?" jalanan bekas turunnya hujan, membuatnya menguarkan aroma tanah terbasahi, begitupun lampu-lampu yang menerangi setiap bangunan begitu jelas tercermin dari jalanan basah itu.
"A Bagas sering lewatin jalanan Dipatiukur kan.." Sasi semakin menempel di badan belakang Bagas membuat lelaki itu seketika diserang rasa gugup sekaligus nyaman.
"Hm, terus? Pasti mau nanyain tukang susu murni yang murah dimana!" tebaknya so tau, alih-alih di iyakan, Sasi justru kembali menepuk pundaknya persis sama tukang ojek, "bukan ih!" Sasi menambahinya dengan menjiwir pipi Bagas, "dengerin dulu makanya, jangan main potong aja.."
"Tau dong siapa Dipatiukur?" tanya Sasi.
"Pahlawan bukan," tebak Bagas tak terlalu peduli dengan sejarahnya, yang jelas ia hafal seluk beluk dimana tukang martabak yang enak disini, udah gitu aja cukup!
Sasi tertawa, "katanya turunan ningrat tapi ngga tau sejarah, gimana sih..." cibirnya.
"Emang kamu tau?!" balas Bagas bernada meremehkan si bocah cantik ini.
"Dipatiukur, Ukur itu sebenernya wilayah kekuasaan A...mencakup, Sumedang Larang, Karawang, Pamanukan, Ciasem, Indramayu, Sukapura, Limbangan, Timbanganten." Jelas Sasi mengabsen satu persatu.
Bagas mengangguk-angguk layaknya kakak tua yang hinggap di jendela mendengar cerita sejarah si gadis ningrat ini. Coba--coba, apakah ia sepintar guru-guru sejarah?
"Oh, jadi Ukur itu wilayah. Terus Dipati itu pemimpinnya gitu? Tau atuh kalo gitu mah!" tembak Bagas memancing rasa kesal Sasi yang menghadiahinya dengan tepukan keras di pundaknya lagi, "ish! Denger dulu!"
Bagas cengengesan, "oke...oke! Lanjuttt!"
"Wangsanata, nama aslinya itu Wangsanata. Lahir dari turunan priyai dan bangsawan juga di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Beliau itu terpaksa menyingkir ke daerah priyangan, waktu daerah leluhurnya di kuasai panembahan senopati, dan hegemoninya terus berlanjut sampai ke generasi seterusnya."
"Oh anak rantau, ceritanya..." angguk Bagas sedikit memberikan kesan modernisasi dan kalimat gaul, namun kembali Sasi menyarangkan pukulannya di pundak Bagas yang terkesan main-main.
"Ish, sakit Si...emang iya kan, anak rantau?!" tanya Bagas mempertanyakan kebenaran bahasanya.
"Pasti cerita selanjutnya nikah sama anak raja?"
"Ketebak cerita Indonesia mah gitu!" Meski telah di pukul berkali-kali, namun sepertinya Bagas adalah orang yang bebal, kembali dan kembali, ia memotong dan menebak jalan cerita yang akan diceritakan Sasi layaknya penonton sinetron.
"Ish! Ngga jadi ah, ceritanya! Padahal belum masuk plot twist nya!" geram Sasi kesal membuat Bagas cengengesan lagi, "oh ada plot twistnya? Sok atuh sok apa, selingkuh bukan?" tanya Bagas, benar-benar penonton kurang ajar.
"Bukanlah! Emangnya, aa!" sewot Sasi, "singkat cerita di parahiyangan Wangsanata jadi pemuda giat, tekun sama jujur...disenengin sama dipati agung tatar ukur terus nikah sama putrinya..."
"Tuh kannn! Apa aa bilang!" seru Bagas, kali ini Sasi mencubit pinggang Bagas, tak disangka menceritakan ulang cerita dari buku dan mulut apih bisa se-emosi ini jika pendengarnya adalah Bagas.
"Ih dibilangin juga! Bibirnya diem dulu---"
"Oke..lanjut!" pinta Bagas dengan fokusnya memperhatikan jalanan.
Sasi menghela nafasnya yang mendadak lelah. Ia tak melanjutkan ceritanya mengingat mood yang sudah turun drastis bahkan berceceran di jalanan kota Bandung.
"Ngambek...ngambek, Si?" panggil Bagas, "lanjutin atuh lagi seru..."
"Ngga mau!" gidiknya ngambek.
"Iya atuh sok, janji ngga akan nebak-nebak lagi!" bujuk Bagas tersenyum-senyum gemas.
"Udah ngga mood lagi ceritanya!" ketus Sasi.
.
.
.
.
.
rasain gass