𝙽𝚊𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊, 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚒𝚔𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚒𝚊 𝚒𝚖𝚙𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚓𝚞𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚙𝚎𝚝𝚊𝚔𝚊.
𝙼𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚝𝚊𝚔 𝚑𝚊𝚋𝚒𝚜 𝚏𝚒𝚔𝚒𝚛 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚍𝚒𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊, 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚖𝚊.
𝙳𝚒𝚊 𝚍𝚒𝚋𝚘𝚑𝚘𝚗𝚐𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚔𝚑𝚒𝚊𝚗𝚊𝚝𝚒 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚍𝚎𝚖𝚒𝚔𝚒𝚊𝚗 𝚛𝚞𝚙𝚊.
𝚂𝚊𝚔𝚒𝚝 𝚑𝚊𝚝𝚒? 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚙𝚊𝚜𝚝𝚒. 𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚐𝚒 𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚛𝚊𝚜𝚊𝚗𝚢𝚊.
𝙽𝚊𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚞𝚑 𝚍𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚐𝚒. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗, 𝚒𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚍𝚒𝚝𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚔𝚎𝚊𝚍𝚊𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚊𝚑𝚊𝚗.
𝙼𝚞𝚗𝚐𝚔𝚒𝚗 𝙽𝚊𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙, 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚓𝚒𝚠𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚖𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒 𝚋𝚊𝚠𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚐𝚒 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚔𝚑𝚒𝚊𝚗𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚎𝚛𝚒.
𝙻𝚊𝚕𝚞 𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒?
𝙻𝚊𝚗𝚐𝚜𝚞𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚋𝚊𝚌𝚊! 𝚘𝚔𝚎.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alvia rahmania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Terlalu Lebay
Tak sanggup menyaksikan ketidak berdayaan sang Bunda lebih lama lagi, Nabila kemudian berdiri dari berlutut nya ingin keluar meninggalkan ruangan yang penuh sesak itu dengan cepat.
Dia berlari kecil, membiarkan langkah kaki ingin membawanya kemana ia pasrah. Tubuh nya terus ia bawa lari tak tahu arah, dia butuh tempat menyendiri secepat nya untuk menghakimi dirinya sendiri karena telah lalai dengan janji nya pada sang Ayah untuk menjaga Budanya di dunia ini.
Tanpa di sadari Nabila berjalan ke arah luar rumah sakit. Dia berlari di atas trotoar dengan sekencang-kencang nya hingga tanpa ia duga sudah terlampau jauh dari jangkauan orang-orang yang mengenalinya.
Langit semakin gelap, jalanan yang tadi nya masih ramai kini mulai sepi. Untuk beberapa saat Nabila hanya diam di pinggir jalan memandangi Mobil dan motor berlalu lalang, kemudian mengambil posisi berjongkok dan menutup wajah nya dengan ke dua tangan. Lalu kembali menangis sesenggukan di sana sampai kepalanya terasa sakit.
Semakin lama semakin jelas dengung di kepala, seperti ada yang memalu di otak nya. Migren yang tadi di rasakanya kini berubah menjadi sakit kepala tiba-tiba menyerang. Nabila menengadah ke langit-langit, menarik dan menghembuskan napas perlahan. Menggercap-gercap untuk mengusir rasa lelah dan sakit yang menyerang.
Sadar tidak akan kuat berdiri, Nabila meraba-raba saku yang terdapat di samping gamis putih nya untuk mencari ponsel dan menghubungi Zahra agar segera menjemput nya. Namun dia urungkan saat rintik hujan malah turun menyapa.
Nabila buru-buru berlari mencari-cari tempat untuk dirinya berteduh, tapi sejauh ia melangkah untuk mencari tempat yang aman untuk dirinya berlindung ia tak kunjung menemukanya.
Akhir nya Nabila berhenti karena merasa tak kuat lagi, memilih menepi meski rintik hujan kini menjelma menjadi deras. Dia berjalan miring mencari sandaran terdekat, tanganya sampai gemetaran. Kepalanya terasa berat ia semakin menangis tersedu-sedu, untuk pertama kali dalam hidup nya ia merasa se apes ini. luntang-lantung di pinggir jalan dengan perasaan campur aduk membersamainya.
Nabila hampir pingsan kalau bukan karena bunyi klakson panjang dan sorot lampu membuat nya kaget kembali tersadar.
Mobil Range Rover putih dengan jendela bagian penumpang sudah terbuka berhenti tepat di hadapanya, Nabila melakukan kontak mata sejenak dengan si pemilik Mobil yang entah mengapa malah jadi tiga.
“Masuk.” Pinta si pengemudi tidak ada lembut-lembut nya.
Selama sepersekian detik otak Nabila berhenti bekerja, dia tidak mungkin tetap bertahan di pinggir jalan kehujanan seperti ini atau mencari kendaraan Umum lainya, karena mana ada di tengah malam tukang ojek atau lain sebagainya masih ber oprasi? Yang ada para supir nya sudah pada book Cantik di rumah masing-masing. Lagian sakit kepala Nabila terlalu mendominasi untuk saat ini, meminta di jemput Zahra pun pasti memerlukan waktu lama karena sahabat nya itu sedang menemani Vika mengambil perlengkapan yang di perlukan sang Bunda di rumah nya.
Minta jemput dokter Iqbal...? itu lebih tidak mungkin lagi karena jarak yang menghalangi.
Nabila melirik ke area sekitar yang memang hanya ada dirinya saja di sana, dia baru sadar jika situasinya begitu sangat mencekam.
Tapi naik Mobil itu……………
Di tengah di lemanya hati Nabila antara masuk atau tidak nya, dia merasakan seseorang tengah berdiri di sampig nya. Yang semula tubuh nya di guyur air hujan kini berganti hanya terdengar suara pantulan air dari sebuah payung.
Perlahan Nabila menatap wajah seorang laki-laki yang wajah dinginya beberapa jam lalu ia lihat.
“Gus Bhintar ?”
Nabila langsung membalikan badan dan berlari untuk menghindari, ia masih belum siap bertemu dengan laki-laki itu. Hati nya masih di liputi kecewa karena sudah ikut-ikutan merahasiakan penyakit yang di derita sang Bunda dari nya. Apalagi di tambah dengan keadaan yang menyedihkan sepeti ini, ia tak mau ! tak mau !!
“ Lari dari sini Nabila, lari !! “ tekanya pada diri sendiri.
Tapi semua itu percuma, usahanya untuk melarikan diri menghindari laki-laki menyebalkan itu gagal total. Sebab sebuah tarikan tangan kasar memberhentikan langkah nya, membuat tubuh Nabila terpelanting kebelakang dan tak sangaja menubruk dada bidang pria tersebut dengan posisi yang sangat dekat hampir memeluk.
Nabila mendongak, menatap wajah tegas itu dengan dada yang membara penuh emosi. Tangan kananya mengepal kuat, sedangkan yang satu nya reflek mencengkram ujung kemeja berwarna putih setengah basah itu dengan erat.
“Kenapa? Kenapa kalian menyembunyikan penyakit Bunda dari aku?” suara itu bergetar terlontar ke arah Bhintara.
Bhintar hanya bergeming, menatap lurus bulir-bulir air mata yang tersamarkan oleh hujan itu mencuat keluar dari matanya dengan nanar.
“Saya anak nya yang berhak tahu ! sedangkan kamu bukan siapa-siapa di keluarga aku !! lantas apa Hak kamu ikut menyembunyikan ini semua dariku?" teriak nya frustasi, " "KENAPA KALIAN LAKUIN INI PADA SAYA HAH ! KENAPA?” lanjut nya lagi dengan memukul-mukul dada laki-laki itu dengan lunglai.
Bhintar hanya terdiam, merasa bersalah karena telah ikut berkonspirasi menyemunyikan ini semua atas permintaan Bunda Arina, jauh dari dalam lubuk hati nya yang paling dalam ia juga ikut menyesali ini semua terjadi.
“ Aku ini seorang Dokter ! “ cengkramanya mengendur “ lebih tepat nya seorang dokter yang gagal !! yang tidak becus mengurusi orang tuanya sendiri. Aku benci jadi dokter ! aku benci !! “ lirih nya tak berdaya, merasa di bodohi dan kecawa pada diri sendiri.
“Pergi kamu…..pergi ! aku tidak mau melihat kamu ada di sini ! “ mulut nya memerintahkan pergi, tapi tangan nya justru bertindak sebalik nya. Mencengkram dan dan menarik nya dengan kuat agar tetap diam di tempat. Dia semakin meronta memukuli dada Bhintara dengan lemas.
Pertahanan seorang Nabila akhir nya luruh juga, dia akui bahwa malam ini dirinya sangat membutuhkan seorang pendamping untuk menjadi penopang bahu nya agar tetap tegak berdiri. Sungguh ia tak sanggup jika harus kembali kehilangan orang yang di sayangi untuk yang ke tiga kali nya. Belum siap menyandang gelar lengkap dari yatim menjadi yatim piatu.
Tak sanggup lagi melihat wanita yang ada di depanya kesakitan, Bhintara langsug mencengkram ke dua lengan Nabila dengan kuat agar berhenti memukuli dan mendengarkan penjelasanya.
“ Ini lah salah satu alasan mengapa Bunda menyembunyikanya darimu, yaitu ke tidak siapan diri kamu yang sulit menerima takdir. kecewa yang berlebihan seperti ini yang membuat nya khawatir. Lagian Bunda masih bernapas dan berjuang melawan masa kritis nya disana ! belum meninggal atau sebagai nya. Harus nya sebagai anak kamu banyak-banyak mendoakanya agar beliau segera sadar, bukan malah lari ke tempat sepi seperti ini.” Bhintara berdecak lirih “ Gak berguna ! “ kata-kata nya begitu kasar , tapi tak mengapa jika itu bisa membuat sadar si gadis keras kepala yang menurut nya bebel sekali di kasih tahu.
Nabila menarik tangan nya kasar, perkataan Bhintara membuat nya tambah meradang. “ Kamu gak pernah merasakan di posisi aku ! jadi kamu jangan sok tahu !" Teriak nya.” Percuma ngomong sama orang yang tak pernah merasakan kehilagan seseorang yang paling di sayangi di dalam hidup nya.”
Sambung nya dengan suara yang meletup-letup.
“Siapa bilang aku gak pernah di posisimu hah? jangan pernah merasa di sini kamu satu-satu nya orang yang menderita ” tandas Bhintara penuh penekanan di setiap kalimat nya “ Jika kamu lupa biar saya ingatkan, saya pernah kehilangan Adik satu-satu nya yang begitu saya sayangi melebihi apapun di dunia ini. Patner kerja sekaligus sahabat yang sudah mengerti luar dalam nya diri saya, kebanggan saya dan keluarga. Tapi nyatanya saya bisa bangkit dan menerima itu semua, tidak seperti kamu yang masih saja tenggelam di kubangan sumur duka yang enggan beranjak pergi dari sana ! " dia menarik napas panjang nya sejenak " Kasihan sekali Bunda Arina mempunyai anak se egois kamu ! yang tak pernah memikirkan perasaanya sedikitpun, bahkan menyetujui permintaan kecil nya saja kamu tak bisa" tutur nya meremehkan.
Mendengar itu Nabila tertegun, membenarkan perkataan Bhintara mengenai itu semua. Tanpa sadar ia menumpukan kepala nya di dada laki laki tersebut, menundukan kepala dan semakin mengeratkan cengkramanya pada kemeja Bhintara. " Lalu.... aku harus bagaimana? aku bingung, buta arah dan tak ada yang bisa memberiku jalan keluar yang terang. " lirih nya di sela isakan pilu.
Bhintara akhir nya sedikit bisa bernapas lega, tak sia-sia dia berbicara sekasar itu pada gadis di hadapanya saat ini, meski ucapanya memang agak keterlaluan. Toh pada akhir nya bisa membuat nya sadar juga. “ Jadi kamu mau masuk apa enggak ? ini sudah malam, dan hujan seperti nya akan semakin lebat. Saya gak mungkin membiarkan seorang wanita hampir pingsan sendirian di jalanan. Eksistensi saya sebagai makhluk Allah yang berkewajiban saling tolong menolong sesama manusia patut di pertanyakan jika meninggalkan kamu sendiri di sini.” Ucap Bhintar datar.
“Tapi kita kan bukan mukhrim? Rasa nya gak ba……..”
“ Kamu gak mau? Yaudah kalau begitu, hati-hati.”
“ Eh ! “ Nabila langsung menegapkan badanya ingin cepat-cepat membuka pintu mobil dan duduk di sana dengan nyaman, sebab baju gamis yang ia pakai sudah membuat nya kedinginan. Tapi....lagi-lagi tertahan, saat suara laki-laki menyebalkan itu mengintrupsi nya.
“ Saya bukan tukang supir Taxi, jadi pindah ke depan jika masih ingin sampai ke tempat tujuan.” Sindir nya tajam tanpa menoleh.
Nabila urung membuka pintu mobil tersebut dengan lebar, memicingkan mata nya jengah Sambil menghembuskan napas nya panjang, lalu menutup kembali pintu yang hampir saja ia buka dengan kasar. Terpaksa memilih menuruti saja ucapan laki-laki tukang perintah itu dengan tersungut kesal.
semangat terus Thor menulis nya
kapan up lagi????