NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:808
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menganalisa kelemahan musuh

Di sana, Rahmad Ajie duduk membungkuk, wajahnya dibanjiri cahaya dari monitor laptop bekas dan beberapa layar kecil buatan sendiri. Tangannya sibuk ngotak-ngatik komponen kecil, solder di tangan kiri, dan cat warna putih mengalir pelan dari jari kanan.

Tangannya udah lecet, ada bekas luka baru di pergelangan, dan peluh menetes dari dagunya. Tapi dia nggak berhenti. Matanya fokus, penuh tekad.

Di hadapannya terbuka beberapa file hasil rekaman pertarungan semalam. Setiap adegan gerakan Glamora diperlambat, dicermati. Gelombang cahaya yang diluncurkan, pola hologramnya, sampai suara manipulatif yang ia keluarkan melalui sistem mikrofonnya. Semuanya ia bedah habis-habisan.

“Dia pakai pantulan cahaya... diatur dari proyektor mini di sekujur tubuh. Tapi sumber utamanya... ada di bagian punggung,” gumam Ajie.

Dia mengulang ulang satu frame. Glamora berputar di udara, sembari mengeluarkan ledakan cahaya berbentuk kipas. Tapi di satu momen—setengah detik sebelum cahaya itu meledak—ada kilatan kecil dari punggungnya. Bukan kilatan biasa. Itu bukan pantulan. Itu sumber.

Ajie mencatat cepat di kertas: “Lightcore Unit – belakang tubuh, rentan saat serangan besar.”

Dia bersandar sebentar, menarik napas panjang. Kemudian melirik ke arah armor-nya—yang sekarang udah dibongkar setengah.

Tabung catnya terlepas, beberapa kabel menjuntai. Bagian dada terbuka, memperlihatkan lapisan rangka dalam yang penuh sistem micro-hydraulics. Ajie nyengir kecil, walau capeknya udah numpuk di bahu.

“Lo butuh mata baru, bro,” gumamnya pada armor itu. “Dan otak yang lebih cepet dari gue.”

Dia mengambil satu lensa kecil dari meja, benda itu dulunya cuma kamera bekas drone. Sekarang, dia udah nyambungin ke filter optik buatan sendiri yang bisa mendeteksi spektrum ultraviolet dan inframerah.

“Glamora nggak bisa bohongin lo lagi pakai hologram. Sekarang lo bisa liat mana nyata, mana tipuan.”

Lalu dia mulai merakit. Lensa itu dipasang di sisi helm, dikalibrasi dengan sistem targeting otomatis. Dia nyambungin ke CPU kecil yang biasa dipakai buat mesin balap, lalu dikode ulang supaya cocok dengan sistem armor-nya. Di layar monitor, angka-angka mulai muncul—akurasi deteksi, delay response, suhu target. Semua disusun dalam hitungan milidetik.

Wajah Ajie mulai sumringah walau matanya merah.

“Kalau ini berhasil… gue bisa nyerang titik lemah dia bahkan sebelum dia sempat muter balik,” ujarnya pelan.

Solder menyala lagi. Kali ini dia nyambungin jalur baru untuk cat putih. Warna netral itu dulunya cuma opsi terakhir—tapi sekarang? Sekarang jadi senjata utama. Cat putih bisa menghapus efek warna lain. Itu artinya, mungkin—mungkin—bisa juga menetralisir manipulasi cahaya Glamora.

Tapi dia harus ngetesnya.

Ajie berdiri, membuka satu laci di pojok ruangan. Isinya campuran alat elektronik, sisa proyek lama, dan satu helm augmented reality rakitan Melly yang sempat dia utak-atik. Dia pasang helm itu, lalu nyalain simulasi hologram dari pertarungan semalam.

Cahaya memenuhi ruang bengkel. Replika Glamora berdiri di hadapannya, tubuhnya bersinar seperti dewi dari dunia digital. Ajie langsung mengaktifkan lensa baru di helm-nya. Di layar tampak garis merah—deteksi proyektor palsu. Tapi titik biru kecil di punggung hologram? Itu sumber nyata.

Ajie menyeringai.

“Dapat.”

Dia mengaktifkan semprotan cat putih di lengan. Saat diarahkan ke titik biru itu—klik. Simulasi langsung error. Hologram Glamora pecah kayak kaca.

Ajie tepuk tangan pelan, lalu duduk lagi.

“Putih buat netralin ilusi... lalu cat kuning buat kecepatan... dan merah buat finish-nya. Kombinasi tiga warna...”

Dia membuka satu panel di armor, menambahkan sistem switching baru—mekanisme pintar yang bisa memilih tiga warna secara simultan. Bukan cuma satu-satu. Ini hal baru. Eksperimen gila.

Tabung di punggung diatur ulang. Dia ambil tabung kecil warna merah, kuning, dan putih. Lalu mulai menyesuaikan flow-nya.

“Kalau gue bisa atur cat ini keluar dalam urutan yang presisi... gue bisa bikin gerakan multiwarna. Dash putih buat hilangin ilusi. Lalu ledakan merah... habis itu kecepatan kuning buat kabur sebelum dia nyerang balik.”

Tangannya terus bekerja. Goresan luka di jari nggak dia peduliin. Udara di bengkel makin panas karena mesin dan solder yang nyala terus. Tapi Ajie nggak berhenti.

Di dinding jam udah menunjukkan pukul 1 pagi. Tapi mata Ajie masih nyala kayak baru minum dua botol kopi sekaligus.

Dia duduk memeluk lututnya sejenak, menatap armor yang hampir selesai.

“Kemarin gue ragu. Kemarin gue kalah. Tapi besok...” dia menarik napas panjang. “Besok gue nyelesain ini semua.”

Tiba-tiba, suara pelan terdengar dari tangga atas.

“Ji… lo belum tidur?” suara Faisal pelan, matanya setengah kebuka, rambut acak-acakan.

Ajie nggak nengok. “Bentar lagi. Cuma... tinggal nyatuin ini semua.”

Faisal mengucek mata. “Lo tau kan, besok kita ada meeting sama Melly soal drone supply-nya?”

Ajie baru inget. “Iya, iya. Gue cuma butuh satu jam lagi. Sumpah.”

Faisal cuman geleng pelan. “Jangan sampe lo tumbang duluan sebelum lawan kedua mulai.”

Setelah Faisal naik lagi, Ajie menarik napas dalam. Kepalanya mulai berat, tapi pikirannya masih muter cepat.

Dia berdiri, melangkah pelan ke arah armor-nya yang kini berdiri penuh, utuh. Versi 2.0. Spektrum Core Suit dengan sistem penginderaan baru, pengatur switching warna otomatis, dan tabung multi-kombinasi di punggung. Warna ungunya lebih gelap, dengan garis-garis putih dan merah di pinggiran, membuatnya tampak lebih... buas.

Ajie menyentuh dadanya pelan.

“Glamora… lo pake cahaya buat bikin panggung lo. Tapi gue akan matiin lampunya.”

Dia tersenyum tipis. Senyum lelah, tapi penuh tekad.

Di luar, suara hujan mulai turun pelan-pelan. Tapi di dalam bengkel itu, badai sesungguhnya baru saja mulai dirakit.

[Bersambung]

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!