roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Miya dan Roni masuk ke dalam rumah, dan kebetulan sekali orang tua Miya sedang duduk di sofa.
“Pa, Ma, Miya pulang,” sapa Miya.
“Ya... habis ke mana?” tanya orang tuanya sambil menatap ke arah Roni yang terlihat digandeng oleh Miya. Padahal di balik jaket yang menutupi tangan mereka, ada borgol yang mengikat.
“Kalian... Roni...?” kata Tuan Bram bertanya.
Roni tentu saja sangat malu dilihat seperti itu oleh ayah Miya, yang dia hormati.
“Dia pria yang Miya maksud tadi pagi, Pa... hehe,” kata Miya memberitahu.
“Miya, apa yang kamu maksud?” tanya Roni, masih belum mengerti.
“Sudah diam saja. Kamu cukup mengiyakan saja,” bisik Miya.
Bapak dan mama Miya tidak menyangka kalau Miya menyukai Roni. Sama sekali tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka sebelumnya bahwa Roni adalah orangnya.
Miya menarik Roni menuju kamarnya. Roni awalnya menahan diri, tapi Miya terus menariknya. Bagaimana tidak? Miya mau mengajaknya masuk ke dalam kamar berdua di depan orang tuanya.
“Miya, astaga, kamu ini! Kalau mereka mikir yang nggak-nggak gimana?” kata Roni dengan nada khawatir.
“Memangnya kenapa? Bukannya kita memang sudah melakukan semuanya? Kamu tidak usah malu,” ucap Miya.
“Iya, tapi itu... Astaga, Miya, bapakmu bosku! Aku malu dong,” kata Roni.
“Pa, itu bukannya Roni, yang menangani gudang kita ya?” tanya Serli, ibu Miya, di luar.
“Iya, itu Roni. Aku nggak percaya mereka ternyata menjalin hubungan. Dan selama ini Miya berubah karena dia. Tapi kenapa Roni tidak pernah bercerita kalau dia dekat dengan Miya? Dia anak yang baik juga, tidak masalah kalau dia yang dipilih Miya,” ujar Tuan Bram.
Ternyata Tuan Bram tidak masalah kalau Miya bersama dengan Roni. Dia juga mengenal Roni sebagai pemuda baik dan jujur. Hanya saja, dia tidak menyangka kalau pemuda pendiam yang begitu dia kenal bisa membuat Miya kembali ceria dan manja seperti itu. Sedangkan dia dan istrinya telah melakukan segala cara tapi tidak berhasil mengembalikan Miya menjadi ceria seperti dulu.
Di dalam kamar, setelah Miya membukakan borgol, Roni langsung segera keluar untuk menemui Tuan Bram.
“Tuan... maaf tadi tidak seperti yang Anda pikirkan. Tolong jangan salah paham ya,” kata Roni mencoba menjelaskan.
Sedangkan Miya hanya melipat tangan di depan dada sambil berdiri di depan tangga, melihat tingkah lucu Roni.
“Apanya yang kamu jelaskan, Roni? Bukankah yang tadi sudah cukup jelas?” kata Tuan Bram.
“Itu... itu aku hanya mengantar Miya pulang, tapi dia meminta sampai kamarnya. Jadi, ee...”
Tuan Bram malah ingin tertawa dengan alasan Roni, apalagi Roni terlihat sangat malu.
“Tuan tidak marah kan? Saya juga sadar diri, Tuan. Saya hanya dari kampung, nggak punya apa-apa. Mana bisa saya menjadi pasangan Miya seperti yang Anda mau,” kata Roni sambil menundukkan kepala.
“Roni, kamu kira saya marah kamu bersama dengan putri saya? Kamu jangan salah paham dulu. Kami juga berasal dari kampung, sama sepertimu. Jadi, saya tidak melarang hubungan kalian. Apalagi Miya sendiri yang memilihmu. Hanya saja saya tidak menyangka kamu bisa dekat dengan Miya, putri saya. Sebelumnya saya hanya tahu kamu teman dari Bobi. Bobi menyukaimu sebagai temannya saja sudah mewakili saya menilai soal siapa dirimu,” kata Tuan Bram.
Roni hanya melongo mendengar itu. Dia kira Tuan Bram akan marah dan memecatnya karena berani mendekati putrinya.
Miya yang memantau dari atas tersenyum manis ke arah ayahnya karena merestui dirinya memilih Roni. Hanya saja, dia belum mendapatkan pernyataan dari Roni.
“Apakah kamu mencintai putri saya?” tanya Tuan Bram, membuat Roni bingung harus menjawab apa. Sebab dia tidak pernah memikirkan soal cinta karena semua cintanya ada untuk Ayu di kampung.
“Ee...” hanya itu yang keluar dari mulut Roni karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Kalau dia bilang tidak, takut Miya akan kecewa, apalagi sekarang orang tua Miya tidak masalah dengan kedekatannya dengan Miya.
“Tidak usah dijawab. Saya tahu kamu malu. Melihat kamu bersamanya, saya sudah tahu jawabanmu. Dan saya tidak masalah dengan itu. Saya hanya berpesan, kamu jangan buat putri saya kecewa atau sedih. Jaga dia untuk saya seperti kamu menjaga kepercayaan saya waktu saya mempercayaimu memegang kendali bisnis saya,” kata Tuan Bram, membuat Roni semakin tidak punya pilihan. Dia benar-benar terjebak sekarang.
“Kenapa kamu diam? Kamu masih malu ya? Sudah, tidak usah malu lagi. Soal dari mana asal usulmu dan juga kamu orang miskin atau tidak, itu tidak masalah bagi saya. Selama putri saya nyaman dan bahagia bersamamu, saya serahkan Miya untukmu,” kata Tuan Bram dengan begitu percaya kepada Roni.
“Mati aku... sekarang aku sudah terjebak lebih dalam. Sekarang aku harus bagaimana?” kata Roni dalam hati.
Entah kenapa, Roni merasa begitu beruntung sekali di kota. Banyak sekali yang menyukainya, walaupun dia hanya pemuda kampung yang miskin. Bahkan orang sekaya Tuan Bram begitu mempercayainya memegang kendali bisnisnya, dan sekarang mempercayainya untuk menjaga Miya, putri mereka.
Berbeda dengan di kampung, Roni selalu dihina, dicaci, dan dimusuhi oleh pemuda-pemuda di kampungnya, hanya karena dia disukai oleh Ayu, gadis kembang desa yang selalu diinginkan oleh pemuda-pemuda di kampungnya.
“Terkadang, keberuntungan seperti inilah yang membuat aku banyak dibenci orang atau membuat mereka iri kepadaku. Dimana ada pemuda miskin yang hidup sebatang kara bisa disukai oleh gadis tercantik di kampungnya, dan sekarang disukai serta dipercaya orang kaya, juga anak gadisnya,” gumam Roni.
Roni jadi mengerti dari mana kebencian mereka yang tidak menyukainya. Semata-mata karena mereka iri terhadapnya.
"Mak, Abah, walaupun kalian tidak meninggalkan Roni warisan, tapi Roni tetap bahagia dan bersyukur menjadi anak kalian. Keberuntungan ini Roni percaya adalah berkat kalian. Walaupun terkadang keberuntungan seperti ini membuat Roni dibenci banyak orang, sekarang Roni sudah mengerti semua itu. Semoga kalian tenang di sana. Roni kangen, Mak, Abah..." kata Roni dalam hati.
Entah kenapa, setelah mendapatkan kepercayaan dari bapaknya Miya untuk menangani bisnis mereka dan menjaga anak gadis mereka, yang Roni pikir sebelumnya akan membuat mereka marah, ternyata justru tidak. Roni jadi mengerti kalau keberuntungan yang dia dapatkan ini semata-mata karena doa baik dari orang tuanya dulu.
Hanya saja, Roni sekarang sedang bingung harus bagaimana. Apakah ke depannya dia akan menikahi Miya? Tapi bagaimana dengan Ayu yang dia cintai di kampung? Dia tidak bisa mengkhianati Ayu yang selalu baik dan menemaninya di kala susah dan senang di kampung. Jika dia meninggalkan Miya, seberapa bencinya Miya dan orang tuanya yang kini begitu percaya padanya?
"Ayu... Abang harus bagaimana sekarang?" tanya Roni dalam hati.
“Kenapa kamu masih bengong di situ? Mulai sekarang kamu tidak usah malu atau sungkan lagi dengan saya,” kata Tuan Bram melihat Roni berdiri bengong di depan mereka.
“Maaf, Tuan. Saya hanya tidak menyangka Anda bisa percaya sama saya, sedangkan Anda tidak mengenal saya dengan baik,” tanya Roni.
“Bukankah satu tahun sudah cukup bagi saya mengenalmu? Melihat perkembangan pesat yang terjadi pada usaha saya berkatmu, apakah itu masih belum cukup bagi saya untuk mempercayaimu? Sekarang kamu tidak usah bertanya seperti itu lagi,” jawab Tuan Bram sambil tersenyum.
Serli datang menghampiri Miya dan menarik tangannya untuk berbicara berdua dengannya, meninggalkan Roni dan Tuan Bram berbicara sendiri.
“Ada apa, Ma...?” tanya Miya yang ditarik tangannya masuk ke dalam kamar.
“Mama mau nanya, apa kamu masih gadis?” tanya Serli.
Mendengar pertanyaan mamanya, apalagi soal itu, membuat Miya jadi malu menjawabnya.
“Eee... Misal kalau Miya sudah nggak gadis lagi, bagaimana? Apa Mama akan marah?” jawab Miya dengan balik bertanya, memastikan apakah mamanya akan marah atau tidak.
“Tidak kok. Mama hanya mau tahu saja apa kamu masih gadis atau tidak,” ucap Serli.
“Miya... Miya sudah nggak, Ma,” jawab Miya malu-malu.
“Astaga! Sejak kapan, dan kapan terjadi?” tanya mamanya.
“Sejak hari di mana Miya baru kenal dengan Roni. Memangnya kenapa, Ma?” jawab Miya sambil balik bertanya.
“Apa pas baru kenal kamu langsung tidur dengannya? Mama aja dulu sudah lama kenal dengan bapakmu baru lepas gadis, tapi kamu kok cepat sekali?” ucap mamanya.
“Tidak heran sih. Dia juga tampan. Hanya kurangnya, dia bukan orang kaya. Tapi walaupun begitu, Mama juga kalau jadi kamu pasti begitu,” kata mamanya.
“Jangan-jangan Mama juga suka sama Roni?” tanya Miya, jadi cemburu dengan pengakuan mamanya.
“Ya nggak lah. Masa iya Mama merebut kekasih putri Mama? Mama suka kalau dia jadi menantu Mama. Pasti Mama punya cucu yang tampan, lucu, serta cantik,” kata mamanya sambil tersenyum membayangkannya.
“Astaga, Mama! Kirain ada sesuatu yang penting,” kata Miya sambil cemberut.
“Kok cemberut sih? Bukankah itu juga penting, Sayang? Oh ya, sekedar Mama berpesan saja, kamu harus hati-hati. Pria setampan itu pasti banyak yang suka dan menginginkannya, sama sepertimu. Apalagi dia sepertinya begitu pendiam dan menurut. Bisa jadi nanti dia direbut orang lagi,” kata mamanya menambahkan.
“Mama ada-ada aja. Semoga saja tidak ya, Ma. Pokoknya, apapun yang terjadi, Miya tidak akan mau menerima kalau Miya direbut orang. Mama nggak tahu ya kalau Miya baru pertama kali jatuh cinta, dan ini terakhir kalinya,” ungkap Miya.
Serli membelai rambut putrinya sambil tersenyum dan mengecup keningnya.
“Mama yakin kalian akan tetap bersama. Melihat dia begitu baik dan sopan, dia sepertinya tidak akan pernah mengecewakanmu,” kata mamanya.
“Terima kasih, Ma, atas semuanya. Termasuk atas restu Mama yang menerima Roni. Miya tidak peduli dia pemuda miskin atau tidak punya apa-apa, asalkan dia bersama Miya itu sudah cukup,” kata Miya sambil tersenyum.
Mereka pun keluar berdua. Miya menghampiri Roni dan menarik tangannya.
“Pa, Miya pinjam Roni ya. Ada yang Miya mau obrolin dengannya,” katanya sambil menarik tangan Roni, membawanya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.
“Nah... main bawa masuk saja, di depan orang tua lagi. Hai, kalian belum boleh seperti itu!” teriak ayahnya sambil menggelengkan kepala.
“Sudahlah, Pa. Mungkin benar mereka hanya sekedar ngobrol,” kata Serli menenangkan suaminya.
“Mana ada sekedar ngobrol kalau di dalam kamar begitu. Pasti ada lebihnya lah,” katanya.
“Lebihnya apa coba?”
“Kamu pasti mengerti dong, malah nanya,” katanya emosi, tapi tidak berlangsung lama sebab Serli menggodanya dengan genit.
Di dalam kamar, Roni melepaskan tangan Miya yang terus menariknya sambil berkata, "Miya, kenapa kamu melakukannya? Apa kamu tidak malu di depan orang tuamu? Kalau mereka berpikir macam-macam lagi, apalagi kita masuk ke kamar," ujar Roni.
"Tidak, aku tidak malu. Kamu lupa kalau aku putri yang mereka manjakan, jadi aku nggak akan dimarahi walaupun aku menarikmu ke kamar. Lagian, apa juga yang membuatku malu? Kita kan sudah sering melakukannya," jawab Miya dengan santai.
"Miya... aku mau nanya, kamu seagresif ini, apa nggak takut kalau aku nanti mengecewakanmu dan malah bersama wanita lain?" tanya Roni.
"Roni, aku tahu sifat kamu. Setelah satu tahun ini, aku begitu mengenalmu. Kalau aku tidak seperti ini, maka kamu tidak akan melakukannya tanpa seorang wanita yang berani lebih dulu. Aku tidak peduli kamu mencintaiku saat ini atau tidak, aku akan tetap memaksamu bersamaku. Misalnya kamu memilih wanita lain, tidak apa-apa, asalkan aku juga di antara kalian. Aku siap kok," kata Miya dengan yakin.
Mendengar itu, Roni jadi tersendak dan batuk.
Dia tidak percaya menemukan wanita seperti Miya, dan dia juga tidak menyangka Miya akan seperti ini. Dulu, Miya yang pendiam dan pemalu, ternyata berubah menjadi wanita yang sangat berani dan agresif. Andaikan Mbak Maya juga seperti ini, maka Mbak Maya pasti akan memiliki Roni sepenuhnya. Hanya saja, itu tidak berlaku pada diri Mbak Maya yang terus menunggu kepekaan dari Roni.
Berbeda dengan Miya, yang langsung mengerti sifat Roni. Jika tidak ada yang berinisiatif lebih dulu, maka tidak akan ada kepastian darinya. Apalagi Roni adalah tipe orang yang, jika dirayu dengan godaan, cenderung tidak bisa menolaknya.
"Maaf, Roni, aku harus mencintaimu secara ugal-ugalan. Karena kalau aku tidak melakukannya seperti itu, maka aku tidak akan mendapatkanmu. Kamu orangnya nggak enakan," kata Miya.