Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Gosip yang Meluas
"Widih! Anak sholih."
Dimas mengangkat tubuh Sakhi yang minta untuk di gendong Dimas ketika Dimas dan Laras menghampiri Gus Farhan.
Laras sendiri langsung menyalami Ning Fahira yang ada di sebelah Gus Farhan.
"Om dan Ammah kok baru kesini? Padahal besok Sakhi mau pulang." Protes Sakhi.
"Maaf ya, Om baru sempat kesini karna lagi banyak kerjaan." Sahut Dimas.
"Iya, maaf ya, Gus. Ammah juga baru sempat karna bantuin Uyut putri di pabrik." Jawab Laras.
"Lho, Ning Naima dimana, Ning?" Tanya Laras.
"Naima lagi sama Mbaknya itu, di kamar." Jawab Ning Fahira.
"Jadi karna udah sama Laras to, Dim? Kamu nolak saya jodohin sama sepupunya Ning Fahira yang di pondok waktu itu?" Ledek Gus Farhan.
Laras yang mendengar kata - kata Gus Farhan pun tentu saja kaget, hingga ekspresinya sedikit berubah.
"Aba apaan sih! Jangan gitu lah." Tegur Ning Fahira.
"Maaf ya, Ras. Gus Farhan itu suka gitu. Ya Mas Dimas jelas gak mau lah di jodohin sama anak masih SD. Sepupu saya yang di pondok itu, masih kelas lima SD." Ning Fahira meluruskan.
Laras pun jadi tertawa canggung karena sempat suudzon pada Dimas dan Gus Farhan. Rasa lega langsung menjalar di hati Laras.
"Maaf ya, Ras. Saya cuma bercanda." Ujar Gus Farhan kemudian.
Jujur saja, Gus Farhan sendiri tak menyangka jika Dimas lah yang dekat dengan Laras, bahkan baru saja ia mendengar gosip kalau mereka berpacaran.
Padahal, saat berada di Ball Room hotel kala itu, Gus Farid bilang padanya kalau memiliki niat untuk mengajak Laras ta'aruf.
"Wes cewek an jarene? (Udah pacaran katanya?)" Gus Farhan ingin memastikan.
"Jare sopo? (Kata siapa?)" Tanya Dimas.
"Jare wong - wong, kuwi. (Kata orang - orang, itu.)" Gus Farhan menunjuk deretan jamaah perempuan yang duduk di atas terpal dengan dagunya.
"Iya." Jawab Dimas yang mengangguk membenarkan.
"Walah, gek ndang. Ojo suwi - suwi. (Walah, cepetan. Jangan lama - lama). Yang baik itu harus segera di laksanakan." Ujar Gus Farhan yang membuat Laras dan Dimas tersenyum.
"Ba, Aku kesana, ya?" Ning Fahira meminta izin pada suaminya untuk bergabung dengan jamaah perempuan.
"Njih, zaujati. Mas Sakhi biar sama Aba saja." Jawab Gus Farhan.
"Mau ikut, Ras?" Tawar Ning Fahira.
"Mas, Aku ikut Ning Fahira, ya?" Izin Laras.
"Iya, jangan lupa cari Uti dan Ibuk." Pesan Dimas yang di jawab anggukan oleh Laras.
Dimas sendiri mengobrol bersama Gus Farhan dengan tetap menggendong Sakhi yang tak mau lepas darinya.
Mereka bertiga mengobrol sembari berjalan menuju ke masjid, karena sebentar lagi adzan isya akan berkumandang.
Selesai sholat isya berjamaah. Semua warga bersama - sama mendengarkan ceramah yang di sampaikan langsung oleh Kiyai Sa'ad, pengasuh pondok pesantren.
Sementara itu, kesibukan para santri yang hendak membagikan nasi bungkus pun mulai terlihat. Mereka menyusun bungkusan - bungkusan nasi di atas tampah untuk di bagikan ke warga yang datang.
Laras pun ikut membantu di sana bersama Uti, Bu Asih dan beberapa warga desa lain yang sedari pagi membantu memasak.
Setelah semua makanan dibagikan. Mereka bergabung bersama warga dan seluruh santri yang berkumpul bersama di halaman pondok.
Doa bersama yang dipimpin oleh Gus Farhan, menjadi penutup rangkaian acara sebelum mereka mulai makan bersama.
Suasana penuh keakraban terasa sangat hangat. Mereka makan bersama dengan penuh suka cita. Tawa dan canda terdengar dimana - mana.
Setelah makan bersama, mereka pun saling bermaaf - maafan. Bersiap untuk menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dengah hati yang bersih.
Bulan Ramadhan yang akan berkunjung dalam hitungan hari itu, disambut dengan begitu antusias oleh semua warga desa.
"Ay, Uti dan Ibuk mana?" Tanya Dimas yang kemudian turut membantu Laras merapikan alas duduk yang tadi di pakai bersama - sama.
"Di dapur, Mas. Lagi beres - beres juga. Mas dari mana?"
"Ngobrol sama Pak Kiyai, Farhan dan Farid."
"Itu anakmu kok masih ngintilin (ngikutin) aja?" Gelak Laras.
"Mau ikut kerumah katanya." Jawab Dimas yang tersenyum.
Gus kecil itu turut membantu membereskan alas duduk walaupun lebih banyak merecoki. Ia selalu mengikuti kemana Dimas berjalan.
"Liat deh, Mas. Beneran kayak ekormu." Gelak Laras.
"Gus Sakhi duduk aja. Nanti kalau ketabrak Om Dimas gimana?"
"Kalo gitu Mas Sakhi ikutin Ammah Laras aja." Ujar Sakhi yang tertawa sembari berlari ke arah Laras.
Laras pun berlari dan menghindari Sakhi yang hendak memeganginya. Gus kecil itu terus tertawa saat Laras menghindari tangan mungilnya.
Dimas hanya bisa tersenyum melihat Laras dan Sakhi yang malah berlarian.
"Awas jatoh, Ay, Sakhi." Ujar Dimas.
"Ammah kalo kena, Mas Sakhi kelitikin ya." Seru Sakhi.
"Om Dimas tolong, Gus Sakhi mau kelitikin Ammah." Kata Laras yang berlari ke belakang Dimas.
"Stop! Sudah, Sakhi aja yang dikelitik." Dimas menangkap Sakhi dan menggelitik bocah kecil itu hingga Sakhi tertawa terbahak - bahak.
"Ampun - ampun Om. Mas Sakhi geli." Ujar Sakhi.
"Gus Sakhi belum ngantuk?" Tanya Laras.
"Belum. Mas Sakhi mau ikut om Dimas." Jawab Sakhi.
"Nanti kalau Njit dan Jiddah nyariin Gus Sakhi gimana?" Tanya Laras.
"Kan ada Naima." Jawab Sakhi dengan santai.
"Ini kan sudah larut. Om Dimas antar ke Aba, ya?" Bujuk Dimas.
"Gak mau, Mas Sakhi mau ikut Om Dimas." Tolak Sakhi.
"Terus kalau besok Gus Sakhi di tinggal Aba dan Umma pulang, gimana?" Tanya Laras.
"Minta antar Om Dimas. Kan Om Dimas tau rumah Mas Sakhi." Sahut Sakhi yang membuat Dimas dan Laras tertawa.
"Kita izin dulu sama Aba." Ujar Dimas sembari mengayun - ayunkan Sakhi yang ada di gendongannya.
"Ay, tunggu di masjid. Ibuk dan Uti biar sekalian aku samperin." Titah Dimas yang di jawab anggukan oleh Laras.
"Emang bikin nyaman sih, kamu tuh Mas. Sakhi aja sampe nempel terus gitu sama kamu." Kekeh Laras yang bermonolog.
Seperti yang diminta Dimas, Laras pun menunggu di teras Masjid. Tak sendiri, di sana ada beberapa santri dan warga yang masih berkumpul walaupun duduk saling berjauhan.
"Assalamualaikum. Sendirian, Ras? Nunggu siapa?"
Suara yang familiar di telinga Laras, membuat Laras langsung menoleh ke sumber suara.
"Waalaikumsalam. Eh, iya Gus. Ini Lagi nunggu Uti, Bu Asih dan Mas Dimas." Jawab Laras.
Farid mendatangi Laras dan duduk tak jauh dari tempat Laras duduk. Pria itu melihat sekilas ke jari Laras yang bertengger sebuah cincin pemberian Dimas.
"Benar ya, yang di bicarakan warga desa tadi? Kalau kamu dan Mas Dimas...."
"Iya, Gus. Saya dan Mas Dimas punya hubungan lebih dari sekedar tetangga atau teman." Jawab Laras.
"Maa Syaa Allah. Semoga kalian berdua berjodoh dan segera menghalalkan hubungan. Mmm sebetulnya saya hanya ingin menanyakan itu. Seperti yang saya bilang, saya akan berhenti mendekatimu saat kamu sudah memiliki 'ikatan'. Gus Farhan juga sudah menceritakan oada Mas Dimas tentang permintaan ta'aruf saya ke kamu beberapa waktu lalu. Saya gak mau ada salah paham antara saya dan Mas Dimas." Ujar Farid yang tersenyum.
"Iya, Gus. Terima kasih banyak. Maaf sekali lagi, karna gak bisa menerima permintaan Gus Farid tempo hari." Jawab Laras.
"Gak apa - apa, Ras. Gak usah terlalu di fikirkan. Kalau begitu, saya duluan ya, Ras. Assalamualaikum."
"Iya, Gus. Waalaikumsalam." Jawab Laras.
Gadis cantik itu kembali terdiam, ia memandangi cincin yang melingkar di jarinya. Ia tersenyum tipis, teringat pada si pemberi cincin yang membuat hatinya selalu berdebar saat sedang bersamanya.
"Ay..."
"Iya? Loh, Ibuk sama Uti mana?" Tanya Laras saat melihat Dimas yang datang sendirian dengan membawa tas milik Uti dan Bu Asih.
"Masih pamitan dengan Bu Nyai dan pak Kiyai." Jawab Dimas sembari meletakkan tas yang ia bawa, kemudian duduk di sebelah Laras.
"Farid nemuin kamu? Ada apa?" Tanya Dimas dengan menatap lekat ke arah Laras.
update trus y kk..
sk bngt ma critany