Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Ina pulang malam harinya, setelah lebih dulu pulang ke rumahnya untuk menenangkan hati. Ina yang tadinya akan menginap di rumah Ibunya, memutuskan untuk kembali ke apartemen dengan taksi.
Ina memasuki lift menuju kamar apartemennya, jantungnya berdebar-debar karena akan bertemu dengan Izhar. Ina sebenarnya malas untuk bertemu dengan suaminya, tapi Ibunya memintanya untuk pulang, karena katanya tak baik seorang perempuan yang sudah menikah sering pulang ke rumah.
Ina sampai di lantai 7, Ina berjalan ke arah kamar sewaannya bersama Izhar.
Gadis cantik itu membuka pintu dengan menekan beberapa tombol nomor untuk membuka kuncinya.
Setelah pintu terbuka, Ina langsung masuk saja.
"Assalamu'alaikum," ucapnya pelan.
"Wa'alaikumussalam," jawab suara dari dalam.
Ina tertegun, itu pasti Izhar, jantungnya semakin berdebar-debar.
Ina melepas sepatunya, memasukkan ke dalam rak sepatu dan segera masuk.
Saat melewati ruang tamu, Ina melihat Izhar duduk sendirian di sofa, ia tampak merenung, wajahnya tak memancarkan semangat sama sekali.
Ina masih belum ingin bicara dengannya, jadi dia pun berjalan menuju kamarnya melewati Izhar.
"Ina," ucap Izhar.
Langkah Ina terhenti, dia mematung di depan pintu kamarnya.
"Saya mau bicara," ucap Izhar lagi, suaranya datar.
"Aku capek, Om." Jawab Ina, hendak masuk.
Tapi, Izhar mendekat padanya, sehingga membuat Ina juga tak jadi masuk.
Izhar telah berada di hadapannya, tapi Ina masih menundukkan kepala, karena tak mau melihat wajah suaminya itu.
"Kamu darimana?" tanya Izhar.
Ina bungkam, rasanya malas sekali berbicara dengan sang suami yang menyebalkan. Ina hanya menatap celana dan kaos putih yang Izhar kenakan saat ini, tanpa mau menjawab pertanyaan Izhar.
"Ina, kamu bisa jawab saya 'kan? Kamu darimana seharian ini? Kenapa baru pulang di malam hari?" Izhar kembali bertanya.
Karena Ina tak kunjung menjawab, Izhar akhirnya berkata, "Kamu menghabiskan waktu seharian dengan Isha? Gimana, senang ya?"
Ina langsung mengangkat wajahnya dan menatap Izhar. Wajah suaminya biasa saja, tak ada ekspresi marah atau sebagainya, namun pertanyaan terakhir dari Izhar lah yang membuatnya terkejut.
Bagaimana Izhar bisa tahu, kalau dirinya dan Isha menghabiskan waktu bersama tadi siang?
Begitulah pertanyaan yang kini menghinggapi otak Ina.
"Kamu lebih senang sama dia daripada sama saya, iya 'kan?" tanya Izhar lagi.
"Oh iya... Wajar kamu lebih senang sama dia, karena dia itu pacar kamu, harusnya saya paham itu." Lanjutnya.
Ina tercengang, Izhar seakan tahu bahwa dirinya dan Isha pernah memiliki hubungan.
"O--om..." Ina gelagapan.
"Kenapa? Bukankah saya benar? Kamu dan Isha itu pacaran, makanya kalian menghabiskan waktu berdua seharian. Ngomong-ngomong, kalian kemana aja seharian ini? Jangan-jangan kalian pergi ke hotel dan tidur bersama disana sebelum kamu pulang kemari." Izhar menyunggingkan senyum miringnya, seolah mengejek Ina.
Perkataan Izhar berhasil membuat emosi Ina bangkit dan...
'plakkk'
Sebuah tamparan keras singgah di pipi kiri Izhar, Ina dengan penuh emosi menampar suaminya itu, air matanya mengalir dengan sendirinya.
"Segitu rendahnya aku di mata Om? Segitu hina nya aku buat Om? Kenapa Om bisa berpikir kayak gitu? Seolah-olah aku ini gadis murahan, yang mau tidur sama mantan pacar sendiri, tanpa Om tau kebenarannya lebih dulu!" Ina sangat marah, suaranya pelan, tapi cukup membuktikan bahwa hatinya sangat sakit saat ini.
"Ya, aku dan Isha memang pernah memiliki hubungan, kami pernah pacaran sebelum aku menikah sama Om. Tapi tolong garis bawahi, kami hanya 'pernah', bukan 'masih'. Aku tadi siang memang sempat pergi dengan Isha ke sebuah restoran untuk makan siang, tapi setelah itu Isha mengantarkan aku pulang ke rumah Mama, karena tadinya aku gak mau pulang kemari. Tapi, setelah aku pikir-pikir lagi dan Mama juga menasehati aku supaya aku pulang kemari, aku akhirnya memutuskan buat pulang naik taksi. Kalau Om gak percaya, Om boleh tanya langsung ke Mama ku, apakah aku benar seharian di rumahnya atau nggak!" Ina mencoba untuk menjelaskan.
"Lalu, untuk masalah Isha. Aku dan dia memang makan bersama, tapi itu bukan kencan, dia cuma bantuin aku karena aku nangis di sekolah, gak lebih! Aku sama Isha memang pernah pacaran, Om, tapi kami masih dalam batas wajar, aku dan dia gak pernah melakukan hubungan seperti itu, aku jamin aku masih perawan sampai saat ini. Aku selalu berusaha menjaga kesucian aku buat suamiku nanti, aku gak pernah berani melakukan hubungan s ***** l tanpa ikatan pernikahan. Jadi, kalau Om mengira aku dan Isha seperti itu, Om sungguh jahat, Om gak punya perasaan!" Ina meluapkan emosinya pada Izhar, tak terima disebut telah tidur dengan Isha, yang notabene adalah mantan pacarnya.
Izhar terdiam, mendengar penjelasan Ina yang penuh emosi itu, menyesal telah mengatakan hal semacam itu pada Ina, akibat rasa sakit hatinya.
"Oke, gini aja, kalau Om gak percaya aku dan Isha gak pernah melakukan hubungan seksual, kita cerai aja, kita akhiri hubungan palsu ini dan Om bisa cari wanita lain yang masih suci dan yang terpenting gak ada hubungannya sama Isha, biar Om lebih tenang!" Ina tak bisa menahan amarahnya, dia melepaskan cincin kawin mereka dan memberikannya pada Izhar.
Ina masuk ke kamarnya dengan linangan air mata, tak sangka lidah suaminya setajam itu, hingga membuat hatinya sangat sakit. Ina juga tak menyangka, bahwa Izhar akan mengatakan hal seburuk itu tentangnya dan Isha.
Ina menangis sesenggukan di kamarnya, mungkin rasa sakitnya lebih pedih daripada sakit hati Izhar karenanya.
Izhar menggenggam cincin kawin di tangannya, pikirannya melayang, membayangkan jika terjadi perceraian antara dirinya dan Ina. Tentu saja itu akan sangat berpengaruh pada dirinya dan juga orang tuanya. Izhar sudah mulai menyayangi Ina, bahkan jantungnya selalu berdebar setiap kali berdekatan dengan Ina. Izhar tak tahu, apakah dirinya menyukai Ina atau bukan, namun saat bersama Ina dia selalu merasakan hatinya tenang, walaupun Ina sering membuatnya kesal.
Izhar mendengar suara tangisan Ina di kamarnya, dirinya merasa sangat bersalah, telah menyakiti hati istrinya. Seharusnya, Izhar bisa mengajari Ina bagaimana cara menjadi istri yang baik, menuntunnya perlahan dan sabar. Tapi, Izhar tampaknya gagal, karena bukannya menuntun Ina, justru malah menyakitinya.
Izhar memasukkan cincin dari Ina ke dalam saku celananya, kemudian membuka pintu kamar Ina.
Dilihatnya Ina tengah menangis di tepian ranjang, gadis itu menangis tersedu-sedu, seakan hatinya sudah di sayat oleh Izhar.
Izhar mendekat, berjongkok di depan Ina. Dengan spontan, Ina memalingkan muka dari Izhar.
"Saya minta maaf, mungkin perkataan saya tadi keterlaluan. Tapi kamu harus tau, saya seperti itu karena saya gak suka kamu dekat dengan Isha, adik saya. Saya pikir kalian masih berhubungan, ketika tadi siang saya lihat kamu dan dia makan siang di restoran. Hati saya sakit, Na. Saya merasa kamu telah mengkhianati saya dengan adik saya sendiri. " Izha mencoba untuk menjelaskan.
Ina menghadapkan wajahnya pada Izhar dan menatapnya, mata Ina sembab dan masih mengeluarkan air mata yang deras.
"Terus, apa harus Om berpikir sejelek itu tentang kami? Sampai-sampai Om bilang kalau aku dan dia tidur bareng, seakan-akan kami itu pasangan mesum!" tanya Ina tegas.
"Saya terlalu khawatir akan pergaulan anak muda jaman sekarang, yang katanya hampir 90% sudah seperti suami istri. Bahkan gak jarang banyak yang hamil di usia belia tanpa adanya ikatan pernikahan. Itulah yang membuat saya berpikir kalau kamu dan Isha juga seperti itu." Izhar terobsesi dengan perkataan Dokter Zaki saat itu, yang mengatakan bahwa istrinya yang masih SMA itu bisa saja seperti muda mudi lainnya yang terjerumus dalam hubungan terlarang.
"Lalu, apa menurut Om semua orang itu sama? Kalau Om berpikir kayak gitu, aku juga bisa berpikir kalau Om Dokter c ***l, karena aku sering dengar banyak yang seperti itu!"
"Kenapa kamu gak pernah jujur tentang hubungan kamu dan Isha pada saya sejak awal? Bukankah saya udah bilang, saya gak mau kalau istri saya memiliki hubungan dengan adik kandung saya sendiri?" Izhar langsung memberikan pertanyaan tersebut pada Ina, karena istrinya telah berbohong akan statusnya dengan Isha.
"Aku gak bisa jujur, karena aku takut itu hanya akan membuat problem antara Om dan Isha. Kalian itu adik kakak, aku gak mau membuat hubungan kalian rusak cuma karena perempuan. Aku dan Isha sejak awal gak tau kalau kami akan jadi ipar, kami putus dua minggu sebelum aku menikah dan kami saling membenci saat itu. Hubunganku dan Isha gak pernah membaik, yang tadi siang itu, itu terjadi karena aku nangis dan Isha tau itu, dia berusaha buat tenangin aku." Ina bercerita lebih banyak.
"Isha berniat antar aku pulang kesini, tapi karena perutku bunyi terus sejak pagi belum makan apapun, akhirnya Isha ajak aku makan di restoran. Setelah itu, dia antar aku pulang ke rumah Mama, aku seharian disana, kebetulan Mama gak jualan hari ini. Aku berniat menginap, tapi Mama melarang, malah suruh aku pulang katanya jangan sampai suamiku cari-cari aku. Aku sama Isha hanya masa lalu, aku dan dia udah gak ada hubungan apapun, aku gak berani jujur juga arena aku takut mempengaruhi hubungan kalian." Ina melanjutkan, dengan masih menangis.
Izhar tak tega, ia pun meraih tangan Ina dan menggenggamnya.
"Saya minta maaf, Na. Bukan maksud saya merendahkan kamu, tapi saya merasa putus asa setelah saya gak bisa mendapat maaf dari kamu. Saat melihat kamu dan Isha tertawa bahagia di restoran tadi, saya merasa sangat gagal, gagal dalam membuat istri saya bahagia. Kamu terluka karena saya, tapi saya gak bisa mendapatkan maaf dari kamu." Tutur Izhar, menyesali perbuatannya pada Ina, yang dinilai terlalu berlebihan.
"Maka dari itu, lebih baik kita berpisah, Om. Aku yakin, Om akan menemukan yang lebih baik daripada aku, yang lebih dewasa dan gak akan pernah mengkhianati Om seperti aku. Aku masih terlalu kekanak-kanakan, gak pantas dijadikan seorang istri." Ujar Ina terus terang, dia meminta berpisah dari Izhar, karena yakin dirinya tak akan pernah bisa membuat Izhar bahagia dengan pernikahan mereka yang tak sehat itu.
Ina terus menangis, sementara tangannya masih di genggam Izhar.
Mendengar permintaan Ina, Izhar merasa sangat berat. Sebenarnya, Izhar memang merasa pernikahan mereka itu sia-sia, namun hati kecilnya tetap menolak untuk berpisah dari Ina, ia merasa yakin bahwa Ina akan mampu memberikannya sebuah keluarga yang utuh dan bahagia suatu hari nanti.
Izhar menggenggam erat tangan Ina dan menatap mata sembab gadis itu.
"Apa kamu sangat ingin bercerai? Apa kamu gak pernah memiliki rasa apapun terhadap saya? Rasa sayang atau kasihan?" tanya Izhar serius, sambil mengusap air mata Ina lembut dengan tangan kirinya.
"Kalau aku gak sayang atau gak kasihan, aku gak mungkin masih mau bertahan, Om. Aku mungkin udah pergi sejak awal dan membiarkan Om menjadi seorang pria yang gagal menikah dan juga membiarkan Om jadi bahan gunjingan orang lain. Om tau? Aku mau menikah meskipun terpaksa, itu karena aku kasihan sama Om, aku kasihan karena seorang pria harus merasakan yang namanya gagal menikah dan membuat malu keluarganya."
"Apa kamu meyukai saya?"
Ina menatapnya, memandang wajah tampan yang teduh itu.
Ina tak mampu berkata-kata, dia memang menyukai Izhar, tapi merasa malu untuk mengakui.
"Jawab saya, Na." Pinta Izhar.
Ina tidak mau menjawab, hanya terus menatap gerak bola mata Izhar.
"Safina Arthana Diva, kamu bisa jawab saya 'kan?" tanya Izhar kemudian.
"Apa Om suka aku?" Ina malah balik bertanya.
Izhar mengerutkan kening, "Kenapa malah balik tanya? Harusnya, kamu jawab dulu pertanyaan saya tadi."
"Jawab aja, suka atau nggak sama aku?" Ina tetap pada pertanyaannya.
Izhar berpikir dahulu, tak langsung mau menjawab pertanyaan istrinya.
"Hmmm... Mana mungkin saya suka sama cewek Random." Ucap Izhar.
Ina cemberut, "Ya udah, aku juga gak suka sama Om-om manusia kulkas!" jawabnya ketus.
Izhar tersenyum, lalu mencium bibir Ina seketika.
Izhar mengulum bibir Ina, bahkan sedikit menggigit lembut bibir merah gadis cantik itu.
Ina membalas ciumannya, kedua tangannya melingkar di leher Izhar. Keduanya bercumbu mesra, untuk pertama kalinya mereka berciuman atas dasar sama-sama suka.
Izhar melepas tautannya, menatap Ina kembali, membelai halus wajahnya.
"Saya menyukai kamu, tapi saya terlalu malu untuk mengakuinya." Ucap Izhar jujur.
Ina tersenyum, "Aku juga suka Om, tapi malu mengakui," balas Ina.
Ina dan Izhar kembali bercumbu, kian ganas dan panas.
Izhar membaringkan Ina di kasurnya, menindih tubuhnya dan mencumbui gadis itu tanpa perlawanan. Ina seolah pasrah atas apa yang akan suaminya lakukan pada tubuhnya.
Izhar menciumi leher Ina dan Ina hanya bisa meremas rambut suaminya lembut dengan menggigit bibir bawahnya.
Ina pasrah, jika seandainya Izhar menginginkan hak nya saat ini, karena itulah yang harus Ina lakukan untuknya. Ina tak memikirkan kembali perjanjian antara dirinya dan Izhar saat pertama menikah, dia terbuai oleh sentuhan dari lelaki yang telah menikahinya itu.
Namun, Izhar menghentikan aksinya pada Ina, membuat sang gadis heran.
"Saya akan melakukannya, apa kamu rela?" tanya nya.
Izhar sepertinya terganggu dengan mengingat perjanjian antara mereka, merasa akan sangat tak adil jika sampai dirinya mengingkari janjinya.
"A--aku... Aku... Rela."
...***Bersambung***...