Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata tajam asisten Bima
Setelah Aluna sepenuhnya menyerah pada kehangatan posesif Erick , pasangan itu hidup dalam gelembung kebahagiaan yang terlarang.
Di dalam gelembung itu, Aluna adalah permaisuri yang dicintai mutlak, dan Erick adalah raja yang bergantung.
Aluna secara aktif mencari sentuhan Erick, memperkuat ikatan posesif mereka di depan umum.
Siang itu, gelembung itu terancam pecah.
Erick dan Aluna berada di ruang kerja pribadi Erick di kantor. Erick, yang masih takut dengan angka-angka besar di tahun 2025, menyandarkan kepalanya di bahu Aluna saat ia mencoba meninjau kontrak asing.
Ia memegang pena, tetapi matanya lebih fokus pada wajah Aluna daripada dokumen di depannya.
Aluna, dengan kelembutan yang kini terasa tulus, mengelus rambut Erick. Ini adalah pemandangan yang biasa mereka tampilkan sekarang, bahkan di tengah hari kerja.
Tiba-tiba, pintu diketuk pelan.
“Masuk,” sahut Erick, enggan bergerak dari bahu Aluna.
Sosok yang masuk adalah Bima, asisten pribadi Erick yang sangat loyal, berpostur tinggi, dan selalu tampil rapi dengan kacamata bingkai tipisnya.
Bima membawa map tebal dan sebuah tablet, wajahnya seprofesional patung, tetapi matanya yang tajam dan tahu segalanya memancarkan ketidakpercayaan mutlak.
Bima adalah asisten yang selalu ada, bahkan pada hari-hari terdingin pernikahan Erick dan Aluna. Bima tahu segalanya tentang rencana perceraian yang disiapkan, sebelum kecelakaan itu. Ia adalah saksi bisu kebenaran yang Aluna kubur.
Bima melangkah masuk. Ia berhenti sejenak untuk mencerna pemandangan di hadapannya.
Erick, sang CEO yang dingin dan arogan, kini meringkuk di bahu istrinya di tengah jam kerja.
“Tuan Erick, ini dokumen finalisasi merger dengan PrimaTech yang harus Anda tanda tangani hari ini. Batas waktu pukul tiga sore!” ujar Bima, suaranya lugas, sama sekali tidak terpengaruh oleh pose intim bosnya.
Erick melepaskan diri dari Aluna hanya untuk menerima map itu.
Aluna memanfaatkan momen singkat ini untuk merapikan blazernya.
“Terima kasih, Bima. Kau selalu yang terbaik,” ucap Erick, lalu menoleh ke Aluna.
“Sayang, bisa kau bantu aku meninjau klausul kerugian? Aku harus memastikan Erick yang dulu tidak membuat kesalahan bodoh.”
Aluna tersenyum, bersemangat untuk menjadi partner Erick.
Ia mengambil tempat duduk di samping Erick, menggenggam tangan suaminya yang bebas, dan mulai membaca dokumen dengan penuh perhatian.
Bima menahan nafas sejenak. Aluna yang dulu, yang dikenalnya, akan duduk menjauh, menghindari kontak mata dengan Erick di kantor.
Aluna yang dulu, akan mencari alasan untuk pergi.
Tapi, Aluna yang sekarang malah mencari kontak fisik itu.
‘Dia bermain peran dengan sempurna,’ pikir Bima dingin.
‘Dia tahu tuan Erick yang amnesia ini membutuhkan ketergantungan, dan dia memberikan itu.’
Bima tetap berdiri, pura-pura menunggu instruksi, tetapi matanya tidak pernah meninggalkan Aluna.
Aluna, yang telah menyerah pada kehangatan Erick, kini merasakan hawa dingin yang menusuk dari pandangan Bima.
“Ada yang lain, Bima?” tanya Erick, yang kini fokus pada dokumen.
“Tidak, Tuan. Hanya… saya harus memastikan Anda baik-baik saja,” jawab Bima. Kalimat itu diarahkan pada Erick, tetapi matanya tertuju pada Aluna.
Aluna memutuskan untuk memecah ketegangan. Ia harus menunjukkan dominasinya.
“Tuan Erick sangat baik, Bima. Proses pemulihan ingatannya berjalan lancar, terutama dengan stimulus yang tepat,” kata Aluna, nadanya lembut tetapi penuh otoritas, menekankan kata stimulus seolah ia adalah kunci penyembuhan Erick.
Bima tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya.
“Tentu saja, Nyonya Aluna. Saya tahu Anda pasti merawat Tuan Erick dengan baik. Setelah apa yang terjadi… tentu saja, Anda adalah orang yang paling berhak berada di sisi beliau.”
Bima berhenti sejenak. Kata-katanya, setelah apa yang terjadi, secara tersirat merujuk pada kecelakaan, tetapi Aluna mendengar, setelah rencana perceraian dibatalkan secara paksa oleh takdir.
Erick, yang terbiasa dengan basa-basi kantor, tidak menyadari ketegangan di udara.
“Tentu saja, Bima. Aluna adalah belahan jiwaku. Dia tidak akan pernah meninggalkanku. Tidak seperti yang lain,” ujar Erick, kembali meremas tangan Aluna dengan posesif.
Tidak seperti yang lain. Bima tahu Erick mengacu pada dunia bisnis yang tidak stabil.
Aluna tahu Erick mengacu pada kesetiaannya yang ia pertanyakan di masa lalu.
Bima akhirnya meletakkan tablet di meja dan mencondongkan tubuhnya sedikit, memecah batas kenyamanan. Tindakan ini menarik perhatian Aluna sepenuhnya.
“Nyonya Aluna,” ujar Bima, suaranya kini diturunkan ke nada yang lebih serius. “Saya telah bekerja dengan tuan Erick selama delapan tahun. Saya tahu bagaimana dia bekerja, dan saya tahu bagaimana dia menghadapi masalah pribadi.”
Aluna merasakan jantungnya berdebar. Ia harus mengakhiri percakapan ini.
“Saya mengerti. Kami menghargai loyalitas Anda.”
“Loyalitas saya hanya kepada tuan Erick, Nyonya,” potong Bima dengan sopan tapi tegas.
Ia menatap Aluna, matanya yang tajam menembus ilusi cinta yang telah Aluna bangun.
“Tuan Erick adalah orang yang detail. Dia tidak pernah melupakan angka, dan dia tidak pernah melupakan kontrak yang telah dia tandatangani,” kata Bima, jeda di kalimat itu sangat disengaja.
“Saya hanya berharap ingatannya lekas pulih, agar kebenaran tentang semua kontrak lama segera terungkap.”
Kalimat itu, kontrak lama, bisa berarti dokumen bisnis, tetapi Aluna tahu artinya. Itu berarti kontrak perceraian yang telah mereka diskusikan. Itu berarti kebenaran tentang pernikahan dingin mereka.
Bima kemudian mengakhiri serangannya dengan kalimat penutup yang dingin.
“Semoga kebenaran segera terungkap, Nyonya Aluna.”
Bima membungkuk sekilas, berbalik, dan meninggalkan ruangan.
Keheningan yang ditinggalkannya terasa tebal dan berbau bahaya.
Aluna merasakan tangannya berkeringat di genggaman Erick.
Tiba-tiba, kehangatan Erick tidak lagi terasa menenangkan, melainkan menakutkan. Bima, yang hanya dengan beberapa kalimat dan tatapan mata, telah berhasil merobek gelembung kebahagiaan semunya.
Erick yang amnesia, yang polos dan mencintai, tidak menyadari ancaman itu.
“Kenapa dia harus bicara seperti itu? Seperti dia adalah pemilik perusahaan,” gerutu Erick, sedikit kesal karena Bima mengganggu konsentrasinya.
“Dia hanya… khawatir, Rick. Dia loyal padamu,” balas Aluna, suaranya serak.
Khawatir? Bima tahu yang sebenarnya.
Bima tahu bahwa Aluna dan Erick menikmati pernikahan dingin selama 3 tahun, dan Bima tahu bahwa Erick yang lama sedang bersiap untuk bercerai setelah digugat Aluna.
Bima adalah saksi hidup dari realitas yang Aluna bunuh, setelah Erwin.
Aluna memejamkan mata, memeluk lengan Erick erat. Kebahagiaan semu yang ia pilih justru terasa sangat rapuh.
Bima telah mengingatkannya bahwa cintanya dibangun di atas bom waktu.
‘Tuan Erick adalah orang yang detail.’ Kata-kata itu mengiang di telinganya.
Jika Erick yang detail itu kembali, ia tidak hanya akan mengingat angka-angka 2015, ia akan mengingat detail dinginnya pernikahan mereka, pertengkaran mereka, dan, yang terburuk, tanda tangannya di dokumen perceraian.
Aluna kini menyadari bahwa ia tidak hanya berjuang untuk mempertahankan cintanya, tetapi untuk mempertahankan amnesia Erick. Ia harus memastikan Erick yang lama tidak akan pernah kembali.
“Tolong, jangan lepaskan tanganku, Rick,” bisik Aluna, suaranya hampir memohon. Ia adalah partner yang kuat, tetapi di hadapan kebenaran, ia hanyalah seorang wanita yang ketakutan.
Erick menghela napas, menutup dokumen yang mengganggu itu. Ia mencium kepala Aluna.
“Tentu saja tidak, Sayang. Aku tidak akan melepaskanmu. Kita adalah tim.”
Aluna membalas senyumnya, tetapi di dalam hati, ia telah menyatakan perang. Perang melawan kebenaran yang diwakili oleh mata tajam Asisten Bima.