"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Rindu Dan Takut
Suara mesin taksi yang menderu pelan menjadi penanda akhir dari perjalanan panjang itu. Roda kendaraan itu berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu yang catnya mulai mengelupas, berdiri setinggi setengah tubuh orang dewasa. Debu jalanan yang beterbangan seolah menyambut kedatangan Mora kembali ke tempat yang ia sebut rumah.
Mora menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu liar. Ia membuka pintu mobil, membiarkan kakinya memijak tanah itu lagi. Dengan bantuan sopir taksi yang ramah, ia menurunkan koper besarnya. Di sebelahnya, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua ikut turun sambil meregangkan tubuhnya yang kaku akibat perjalanan jauh.
Setelah taksi itu berlalu, menyisakan keheningan di jalan perumahan yang sepi, Mora melangkah mendekati pagar. Tangannya gemetar saat menyentuh kayu gerbang yang terasa kasar.
"Di mana orang?" tanya Vier, matanya yang bulat dan cerdas menatap sekeliling halaman yang tampak asri namun sunyi.
Mora hendak membuka mulut untuk menjawab, tetapi kata-katanya tertahan di tenggorokan. Netranya menangkap pergerakan dari pintu depan rumah. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Dari balik pintu kayu itu, muncul sosok mungil yang selama ini hanya bisa ia sapa lewat layar ponsel. Seorang bocah laki-laki dengan pipi gembul dan langkah kaki yang mantap namun menggemaskan.
Anak itu tampak tak menyadari kehadiran dua orang asing di depan pagarnya. Dunianya saat itu hanya terpusat pada satu tujuan, sebuah pohon cabai yang tumbuh subur di pot besar dekat teras. Dengan tangan-tangan mungilnya, ia berusaha meraih cabai yang menggantung. Pemandangan sederhana itu membuat pertahanan diri Mora runtuh seketika. Perasaan terenyuh yang luar biasa menyeruak di d4danya, membuat matanya memanas. Kerinduan yang selama setahun ini ia pendam, kini meluap tak terbendung melihat kehadiran nyata d4rah dagingnya.
"NENEEEK, YANG MELAH APA YANG BILUUU?" pekik anak itu dengan suara lantang yang khas.
Pertanyaan polos itu memecah keheningan siang hari.
"Merah, Sayang. Gak ada biru di situ, yang ada hijau," sahut suara wanita paruh baya dari dalam rumah. Tak lama kemudian, sosok Kirana muncul sambil mengelap tangannya ke apronnya.
Wanita itu hendak melangkah mendekati bocah itu untuk membantu, namun langkahnya terhenti mendadak. Matanya membelalak, tubuhnya mematung ketika pandangannya terkunci pada sosok wanita yang berdiri di balik pagar.
"Mora ... kamu pulang?" suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Mora tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia tersenyum, meski pipinya basah oleh air mata yang jatuh tanpa permisi. Dengan cepat ia membuka pagar yang berderit pelan, lalu berlari kecil menghambur ke pelukan Kirana.
Wanita paruh baya itu menyambutnya dengan tangan terbuka. Keduanya berpelukan erat, menyalurkan rasa rindu yang mendalam. Setahun lamanya mereka terpisah oleh bentangan samudra, zona waktu, dan kerasnya kehidupan.
"Astaga, Mama senang kamu kembali, Nak. Enggak ke sana lagi, kan? Kerja di sini aja, Nak. Enggak apa-apa gajinya gak gede, asal cukup buat makan. Yang terpenting kamu di sini, kumpul sama kita," ucap Kirana dengan suara serak, menepuk-nepuk punggung Mora dengan kasih sayang seorang ibu.
Mora mengangguk dalam pelukan itu, lalu melepaskannya perlahan untuk menatap wajah teduh Kirana. Wanita paruh baya ini bukanlah ibu kandungnya, namun kasih sayangnya melebihi ikatan d4rah manapun. Selama empat tahun terakhir, Mora tinggal bersama Kirana, seorang janda sebatang kara yang kehilangan suami dan anaknya dalam kecelakaan tragis. Kehadiran Mora dan kedua anaknya seolah menjadi lentera baru di kehidupan Kirana yang sempat gelap gulita.
Mora menghapus air matanya, lalu menoleh ke arah putranya yang masih berdiri di dekat pohon cabai.
"Eh Raka, lihat siapa yang datang. Sini sayang, sapa Mommy. Rakael katanya rindu Mommy sama Kakak Vier, kan? Sini sayang," ajak Kirana dengan nada lembut, mencoba membujuk cucu angkatnya.
Namun, reaksi yang diharapkan tak kunjung datang. Bocah laki-laki itu hanya diam mematung. Tangan mungilnya menggenggam erat cabai merah yang baru saja ia petik, seolah itu adalah satu-satunya pegangan. Matanya yang bulat menatap lurus ke arah Mora. Ada kilatan emosi yang rumit di sana, kebingungan, kerinduan, namun perlahan berubah menjadi ketakutan dan luka. Matanya mulai berkaca-kaca.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Raka memutar tubuhnya. Ia melangkah cepat, setengah berlari, masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan Mora yang terpaku, hatinya mencelos melihat penolakan itu.
"Raka! Raka, Sayang!"
Sadar putranya menjauh, Mora segera berlari menyusul. Ia masuk ke dalam rumah, mendapati Raka yang sedang berusaha menutup pintu kamarnya.
"Raka! Raka!" Mora berhasil menggapai lengan mungil putranya sebelum pintu tertutup sepenuhnya. Ia berj0ngk0k, mencoba mensejajarkan tingginya dengan sang anak, berniat memeluk tubuh kecil yang sangat ia rindukan itu.
Namun, Raka memberontak. "Ndaaaa! Ndaaa! Becoook Mommy pelgi lagi! Nda ucah kecini! Nanti Laka linduuuu! Cana pelgiii, jangan keciniii!" teriak anak itu histeris. Suaranya pecah, bercampur antara tangisan dan amarah yang belum ia pahami sepenuhnya.
Air mata Mora luruh semakin deras. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar teriakan putranya. Raka bukan membencinya, Raka hanya takut. Takut merindu lagi dan takut ditinggalkan lagi. Melihat putranya meronta dan tampak begitu terluka oleh kehadirannya, Mora perlahan melepaskan pelukannya. Ia tak ingin memaksakan diri dan membuat trauma anaknya semakin dalam.
Begitu pelukan terlepas, Raka langsung berlari masuk ke kamarnya. Ia memegang gagang pintu, berniat membantingnya sekeras mungkin untuk melampiaskan kekesalan. Namun, seolah ada sisi lembut yang menahannya, ia mengurungkan niat itu. Ia menutup pintu itu dengan pelan, bunyi kuncinya terdengar begitu menyakitkan di telinga Mora.
Mora terduduk lemas di lantai depan kamar anaknya. Bahunya berguncang hebat. Rasa bersalah menghimpit dadanya hingga sesak.
Dia harus bekerja di negara orang, menjadi buruh migran demi menghidupi keluarga kecilnya. Ia pergi tanpa membawa Rakael, keputusan terberat yang harus ia ambil demi keselamatan putra bungsunya itu. Mora tahu betul, keluarga besar Ramirez, sedang mencari penerus takhta bisnis mereka.
Jika Vier yang mereka temukan, mungkin tak akan menjadi masalah besar karena dia perempuan. Namun Rakael ... putranya itu sangat diinginkan. Jika mereka tahu keberadaan Raka, mereka akan merebutnya, Mora hindari m4ti-m4tian. Mora tak mau mengambil risiko itu. Ia memilih berpisah sementara demi keselamatan nyawa anaknya, meski harus membayar mahal dengan kekecewaan sang putra.
"Mora, bangun, Nak ...," Kirana datang dengan langkah tertatih. Ia membantu Mora berdiri, menuntun wanita yang sedang rapuh itu menuju kursi kayu di ruang tengah.
Kirana segera mengambilkan segelas air minum. Dengan tangan gemetar, Mora menerimanya dan meminumnya perlahan, diselingi isak tangis yang masih tersisa.
"Rakael hanya takut kamu kembali pergi, Mor. Dia kangen sama kamu. Setiap malam dia bertanya kapan Mommy pulang, setiap bangun tidur dia lari ke depan berharap kamu ada di sana," ucap Kirana pelan, berusaha menenangkan namun jujur.
Mora menunduk, meremas gelas di tangannya. "Aku khawatir membawanya, Ma. Aku khawatir keberadaanku sudah terc1um oleh keluarga itu. Jika pun mereka mendapatkan informasi tentangku, mereka tak akan mengejarku m4ti-m4tian. Karena yang mereka lihat, anak yang kubawa adalah perempuan. Tapi jika mereka tahu Raka ada ... mereka akan merebutnya," ucap Mora dengan suara parau.
Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan hati. "Sementara di sisi lain, aku harus membiayai hidup mereka. Menjadi single mom tidak mudah, Ma. Aku harus melepas masa laluku yang kelam, bekerja banting tulang di negeri orang, semua demi masa depan Vier dan Raka. Agar mereka tidak perlu kembali ke keluarga Ramirez."
Kirana mengusap punggung tangan Mora, tatapannya lekat dan penuh pengertian. "Mora, Raka hanya marah sesaat. Nanti bujuk dia lagi pelan-pelan. Hatinya lembut, dia hanya sedang melindungi perasaannya sendiri. Dia merasa, rasa kangennya itu menyakiti dirinya. Karena di pikiran kecilnya, ketika kamu datang, itu artinya sebentar lagi kamu akan pergi. Posisi kalian sama-sama serba salah. Tapi Mama minta, sekarang lebih perhatian ke Raka ya. Buktikan kalau kali ini kamu pulang untuk menetap."
Sementara itu, di dalam kamar yang bernuansa biru muda, Rakael duduk meringkuk di samping ranjangnya. Ia memeluk lutut erat-erat, menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya. Air matanya terus luruh membasahi celana pendeknya.
Ia rindu Mommy-nya. Sangat rindu. Tapi rasa takut ditinggalkan itu jauh lebih besar. Logika anak-anaknya bekerja dengan cara yang sederhana namun menyakitkan.
"Nanti Mama pelgi lagi, di kila nda capek dili ini belcedih lia? Pelgi-pelgi telus ...," Rakael bergumam di sela isak tangisnya.
Kemudian, sebuah pemikiran lain melintas di benaknya, menambah kekesalannya.
"Pulang bawa Daddy buat Laka juga nda ... Pelcuma pelginya," gerutu anak itu kesal. Baginya, kepergian ibunya yang lama seharusnya membuahkan hasil yang sepadan, setidaknya seorang ayah baru untuk menemaninya bermain bola.
Tok!
Tok!
Suara ketukan itu bukan berasal dari pintu, melainkan dari arah jendela kaca. Rakael tersentak kaget. Ia mengangkat wajahnya yang basah dan menoleh ke arah jendela. Matanya membelalak lebar, rahangnya jatuh seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Di balik kaca jendela kamarnya yang berada di lantai satu namun cukup tinggi dari tanah itu, terlihat wajah Vier yang menyeringai lebar. Gadis kecil itu bergelantungan dengan gaya yang sangat tidak biasa, seolah-olah ia adalah seekor koala yang menempel di batang pohon.
"Yo ... Do you wanna build a snowman?" ucap Vier dengan nada bernyanyi, persis seperti adegan Anna mengetuk pintu kamar Elsa di fiilm Frozen.
Rakael berdiri perlahan, mendekati jendela dengan tatapan mel0ng0. Tangisnya berhenti seketika, digantikan oleh rasa takjub bercampur bingung.
"Gimana cala naiknyaaaa?" tanya Rakael, suaranya masih sengau sisa menangis, seolah melupakan kesedihannya sejenak demi memuaskan rasa ingin tahunya.
"Naik pohon itu," ucap Vier santai sambil menunjuk sebuah pohon mangga besar di belakang punggungnya dengan dagu.
Rakael menatap kakaknya, lalu beralih menatap pohon itu. Jejak air mata masih membasahi pipi gembilnya, membuatnya terlihat semakin polos.
"Banyak ulet lambutnya loh itu ...," ucap Rakael polos, memperingatkan.
Vier mengerutkan kening. "Ulat lambut? Maksud kamu ulat bu—"
Kalimat Vier terhenti. Matanya melirik ke bahu bajunya. Di sana, seekor ulat bulu berwarna hitam dengan bulu-bulu lebat sedang berjalan santai menuju lehernya.
"OOOO MY GOOOD! MOOOM! HERE'S A SNAAAKEEE!" pekik Vier histeris.
Tanpa memikirkan keselamatan kakinya, gadis itu melompat turun dari dahan pohon. Suara kakinya mendarat di rumput terdengar cukup keras, diikuti teriakan hebohnya yang berlari tak tentu arah di halaman belakang, berusaha mengibaskan ulat itu dari bajunya.
"AAAAA! GET IT OFF! GET IT OFFF!"
Rakael yang berada di dalam kamar hanya mengerjapkan matanya berulang kali. Ia menatap kepergian kakaknya yang berlarian seperti orang kesurupan di halaman belakang. Suasana sedih yang tadi melingkupinya mendadak buyar oleh tingkah absurd kakaknya.
"Olang lagi nanis juga,vcepelti iklan calimi aja itu olang," gumam Rakael kesal, namun ujung bibirnya sedikit berkedut menahan senyum geli.
___________________________________
Panjang kaaaan🤣
gimana gak nyebut pencuri orang Mora pergi bawa benih dia 🤭