NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: ALIANSI DI ATAS KERETAKAN

Hujan di Surabaya tidak pernah benar-benar berhenti mencuci luka kota itu, namun bagi Firman, air yang jatuh dari langit malam ini terasa seperti cuka yang menyiram luka terbuka. Di sebuah gudang tua di kawasan pelabuhan Tanjung Perak, Firman duduk bersandar pada tumpukan palet kayu yang berdebu. Cahaya lampu pijar yang tergantung di langit-langit berayun pelan, menciptakan bayangan yang gelisah di wajahnya yang kini dipenuhi memar.

Di tangannya, diari merah milik Eliza ibunya terasa begitu berat. Setiap kata yang tertulis di sana adalah jeritan masa lalu yang menuntut penebusan. Ia baru saja mengetahui bahwa Yasmin, wanita yang selama ini ia cintai dengan seluruh sisa kewarasannya, adalah adik kembarnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras daripada pukulan anak buah Syarifuddin. Ia merasa dunia sedang menertawakannya; memberikan cinta yang paling murni hanya untuk mengungkap bahwa cinta itu terlarang oleh darah.

"Man, dia sudah datang," bisik Rendy yang berdiri berjaga di dekat pintu besi yang berkarat.

Firman mendongak. Langkah sepatu hak tinggi terdengar beradu dengan lantai semen yang dingin. Dari balik kegelapan, muncul sosok wanita yang mengenakan parit panjang berwarna krem, wajahnya yang cantik kini tampak kuyu dan dipenuhi ketakutan.

Sarah.

Wanita itu berhenti beberapa meter di depan Firman. Ia menatap Firman dengan tatapan yang sulit diartikan ada rasa bersalah, kebencian yang sudah memudar, dan sisa-sisa obsesi yang kini berubah menjadi keputusasaan.

"Aku tidak menyangka orang pertama yang kamu hubungi saat menjadi buronan nasional adalah aku, Firman," suara Sarah bergetar, bergema di ruangan yang luas itu.

Firman berdiri dengan susah payah, bahunya yang cedera dipaksa untuk tegak. Ia menatap Sarah dengan sorot mata yang dingin, tanpa jejak kehangatan sedikit pun. "Saya tidak punya pilihan. Kamu adalah satu-satunya orang yang punya akses masuk ke Sanatorium Bromo tanpa dicurigai. Ayahmu... dia donatur utama di sana, kan?"

Sarah tertawa getir, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu akses elektronik berwarna perak. "Ayahku sudah membuangku, Firman. Sejak kasus Surabaya meledak, dia menganggapku sebagai beban. Tapi dia lupa kalau aku memegang banyak kunci rahasianya. Sanatorium itu bukan tempat pengobatan. Itu adalah tempat di mana Syarifuddin 'menghapus' orang-orang yang tidak sejalan dengannya melalui prosedur medis yang disebut memory suppression."

Firman mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Mereka akan melakukan itu pada Yasmin? Mereka akan menghapus memorinya tentang saya? Tentang Proyek Lentera?"

"Itu rencana mereka," Sarah melangkah maju, memberikan kartu akses itu kepada Firman. "Mereka ingin Yasmin kembali menjadi 'boneka' yang patuh. Jika dia lupa segalanya, dia tidak akan pernah bisa bersaksi melawan Syarifuddin atau keluargamu. Dia akan kembali menjadi dr. Yasmin yang sempurna, tanpa masa lalu."

Firman menerima kartu itu. Tangannya bersentuhan dengan tangan Sarah sejenak, namun ia segera menariknya dengan jijik.

"Kenapa kamu membantu saya, Sarah? Bukankah kamu sangat membenci Yasmin? Bukankah kamu ingin kami hancur?" tanya Firman penuh curiga.

Sarah menatap lantai, air mata perlahan mengalir di pipinya yang dipulas riasan tebal. "Karena aku baru menyadari kalau aku ini sama seperti Yasmin, Firman. Kami berdua hanyalah bidak catur di tangan ayah kami masing-masing. Bedanya, Yasmin dicintai oleh seorang kakak yang rela menjadi iblis demi dia, sementara aku... aku tidak punya siapa-siapa. Aku membantu kalian karena aku ingin melihat ayahku hancur. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan saat dia mengusirku dari rumah."

Firman terdiam. Ia melihat kerapuhan di mata Sarah yang biasanya penuh keangkuhan. Sebagai jurnalis, ia tahu kapan seseorang bicara jujur karena rasa sakit.

"Siapkan mobilnya, Ren," perintah Firman pada Rendy. "Kita berangkat ke Bromo malam ini juga."

Perjalanan Menuju Lereng Gunung Bromo, Pukul 02.00 WIB.

Mobil jip tua yang mereka gunakan mendaki jalanan berkelok yang diselimuti kabut tebal. Udara semakin dingin, menusuk hingga ke sumsum tulang. Di kursi belakang, Firman duduk bersebelahan dengan Sarah, sementara Rendy fokus mengemudi di depan. Tidak ada percakapan. Hanya ada suara deru mesin jip dan detak jam yang seolah menghitung mundur sisa waktu Yasmin.

Firman menatap ke luar jendela, ke arah jurang-jurang gelap di sisi jalan. Ia memikirkan Yasmin. Apakah Yasmin sedang menangis sekarang? Ataukah dia sudah berada di bawah pengaruh obat bius yang mematikan ingatannya?

“Jadilah cahaya baginya, meski kamu harus membakar dirimu sendiri dalam kegelapan.”

Pesan ibunya di diari terus berputar di kepalanya. Firman menyadari bahwa Level 5 bukan lagi soal pengakuan cinta. Ini adalah level pengorbanan yang paling ekstrem. Ia harus menyelamatkan Yasmin, namun setelah itu, ia mungkin tidak akan pernah bisa menatap mata Yasmin dengan cara yang sama lagi. Bagaimana ia bisa mencintai seorang adik sebagai seorang pria? Perang batin itu lebih menyakitkan daripada ancaman penjara yang kini membayanginya.

"Firman..." Sarah memecah keheningan. "Apa kamu benar-benar akan membongkar semuanya? Jika Proyek Lentera terungkap sepenuhnya, Yasmin juga akan kehilangan identitasnya. Dia akan dikenal sebagai subjek eksperimen, bukan lagi seorang dokter terhormat."

"Lebih baik dia tahu siapa dirinya yang sebenarnya dan merasa sakit, daripada hidup dalam kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan dan darah ibu kami," jawab Firman tanpa menoleh.

"Kamu kejam," bisik Sarah.

"Dunia yang membuat saya begini, Sarah. Kamu dan keluargamu yang memaksa saya menjadi 'The Smiling Killer'. Sekarang, biarkan saya menyelesaikan apa yang kalian mulai."

Sanatorium Bromo, Pukul 04.30 WIB.

Bangunan itu tampak seperti hotel mewah di puncak bukit, terisolasi dari dunia luar oleh hutan pinus yang rapat dan pagar kawat berduri yang dialiri listrik. Di bawah cahaya remang-remang fajar, sanatorium itu tampak seperti kastil hantu yang angkuh.

Firman, Rendy, dan Sarah turun di jarak beberapa ratus meter dari gerbang utama. Mereka bergerak merayap melalui semak-semak, menghindari sorotan lampu patroli.

"Pintu masuk darurat ada di sisi timur, dekat ruang generator. Kartu ini akan membuka akses ke lift layanan yang langsung menuju lantai empat, tempat pasien VIP diisolasi," instruksi Sarah sambil menunjuk ke arah bangunan beton di belakang dapur.

"Ren, lo urus sistem CCTV. Gue dan Sarah masuk ke dalam," kata Firman.

"Hati-hati, Man. Kalau dalam dua puluh menit lo nggak keluar, gue bakal panggil bantuan media yang sudah kita siapkan di bawah," Rendy menepuk bahu Firman.

Firman mengangguk. Ia dan Sarah bergerak cepat. Dengan menggunakan kartu akses Sarah, mereka berhasil masuk ke dalam lorong yang bersih dan berbau antiseptik yang tajam aroma yang selalu membangkitkan trauma dalam diri Firman.

Mereka naik ke lantai empat. Suasana sangat sunyi, hanya ada suara dengung dari sistem ventilasi udara. Firman memeriksa setiap pintu melalui kaca kecil yang ada di tengahnya. Sampai akhirnya, di ujung lorong, ia melihat sebuah ruangan dengan penjagaan dua pria berseragam safari hitam.

"Itu ruangannya," bisik Sarah.

Firman tidak menunggu lama. Ia keluar dari persembunyiannya. Topeng "Smiling Killer"-nya kembali terpasang. Ia berjalan dengan tenang ke arah kedua penjaga itu, seolah ia adalah staf medis yang sedang bertugas.

"Siapa kamu? Lantai ini terbatas!" teriak salah satu penjaga sambil meraih radionya.

Firman tidak bicara. Ia menerjang dengan gerakan yang sangat cepat dan brutal. Meskipun bahunya sakit, adrenalin membuatnya seolah memiliki kekuatan tambahan. Pukulan telak mendarat di rahang penjaga pertama, sementara sikutnya menghantam ulu hati penjaga kedua. Dalam hitungan detik, keduanya tumbang.

Sarah ternganga melihat aksi Firman. "Kamu... kamu benar-benar gila."

Firman segera menggunakan kartu akses untuk membuka pintu ruangan itu. Begitu pintu terbuka, hatinya serasa dicabut dari tempatnya.

Di dalam ruangan yang serba putih dan dingin itu, Yasmin terbaring di atas meja operasi yang miring. Kepalanya dipasangi alat-alat sensor elektronik yang terhubung ke sebuah mesin besar yang mengeluarkan suara berdenyut pelan. Matanya tertutup, napasnya sangat tipis.

"Yasmin!" Firman berlari ke samping meja.

Ia melihat seorang dokter paruh baya yang sedang bersiap menyuntikkan sesuatu ke selang infus Yasmin. Dokter itu terkejut melihat Firman.

"Hentikan! Atau saya pastikan suntikan itu masuk ke leher Anda!" ancam Firman sambil menodongkan belati lipat yang ia ambil dari penjaga di luar.

Dokter itu gemetar dan menjatuhkan suntikannya. "Saya... saya hanya menjalankan perintah Menteri Syarifuddin! Dia bilang ini untuk kebaikan pasien!"

"Kebaikan siapa?!" Firman mencabut semua sensor dari kepala Yasmin dengan hati-hati namun cepat. Ia menggendong tubuh Yasmin yang lemas ke dalam pelukannya. Yasmin terasa sangat ringan, seolah-olah jiwanya sudah mulai memudar.

"Yas... bangun, Yas... ini saya, Firman..." bisik Firman sambil menepuk-nepuk pipi Yasmin.

Yasmin perlahan membuka matanya. Pandangannya sangat kabur dan sayu. Saat melihat wajah Firman, ia mencoba tersenyum, namun yang keluar hanyalah rintihan kecil.

"Mas... Firman...?" suara Yasmin hampir tidak terdengar.

"Iya, ini saya. Kita pergi dari sini sekarang," Firman mencium kening Yasmin, sebuah ciuman yang kini terasa sangat menyakitkan karena ia tahu hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.

"Firman, kita harus cepat! Alarm sebentar lagi akan berbunyi!" teriak Sarah dari ambang pintu.

Mereka berlari keluar dari ruangan itu. Namun, di ujung lorong menuju lift, langkah mereka terhenti. Dr. Syarifuddin berdiri di sana dengan tenang, didampingi oleh sekelompok pria bersenjata lengkap.

"Sudah saya duga kamu akan datang ke sini, Firmansah. Kamu memang anak Baskara yang paling setia pada tragedi," ucap Syarifuddin dengan nada yang sangat ramah, seolah-olah sedang menyambut tamu di rumahnya sendiri.

Syarifuddin menatap Yasmin yang ada di gendongan Firman. "Letakkan dia. Dia adalah milik Proyek Lentera. Dia adalah bukti hidup dari keberhasilan eksperimen kami. Jika kamu membawanya pergi, kamu hanya akan membuatnya menderita karena ingatan-ingatan yang tidak seharusnya dia miliki."

"Dia bukan milik siapa-siapa, apalagi milik Anda!" Firman menatap Syarifuddin dengan kebencian yang murni. "Dia adalah adik saya. Dan saya akan membawanya keluar dari neraka yang Anda buat, meski saya harus membakar tempat ini bersama Anda di dalamnya."

"Adik?" Syarifuddin tertawa, sebuah tawa yang menggema dingin di lorong itu. "Apakah kamu yakin tentang itu, Firman? Apakah kamu sudah membaca halaman 16? Halaman yang menjelaskan kenapa ayahmu, Baskara, sangat takut jika kalian berdua bertemu?"

Firman tertegun. Halaman 16? Ia belum sempat membacanya secara detail karena kekacauan semalam.

"Halaman itu berisi tentang kebenaran yang jauh lebih gelap," Syarifuddin melangkah maju. "Baskara bukan hanya jurnalis investigasi. Dia adalah subjek kontrol dari eksperimen ini. Firman, kamu dan Yasmin lahir bukan dari kasih sayang yang normal. Kalian diciptakan di laboratorium ini melalui prosedur rekayasa genetik yang menggunakan DNA Eliza dan... DNA saya sendiri."

Dunia Firman seolah mendadak runtuh untuk kesekian kalinya. Ia menatap Yasmin, lalu menatap Syarifuddin.

"Maksud Anda... Anda adalah...?"

"Aku adalah penciptamu, Firman. Ayah biologismu yang sebenarnya," Syarifuddin tersenyum menang. "Baskara hanyalah pria malang yang menikahi Eliza saat dia sudah mengandung kalian demi menutupi skandal ini. Sekarang, kembalilah pada ayahmu, dan biarkan Yasmin mendapatkan perawatan yang layak sebagai putri seorang Menteri."

Firman merasakan lututnya lemas. Yasmin di pelukannya mulai menangis, ia seolah mengerti apa yang sedang dibicarakan. Kenyataan ini jauh lebih mengerikan daripada apa yang ia bayangkan. Mereka bukan hanya saudara, mereka adalah produk dari pria yang paling mereka benci.

Sarah yang berdiri di samping Firman pun tertegun. "Ayah... apa ini benar?"

"Diam, Sarah! Kamu hanyalah kegagalan yang tidak berguna," bentak Syarifuddin.

Di tengah keputusasaan itu, Firman menatap wajah Yasmin. Ia melihat binar mata Yasmin yang memohon untuk tidak ditinggalkan. Firman mengepalkan tangannya. Ia tidak peduli pada DNA. Ia tidak peduli pada eksperimen.

"Saya tidak peduli darah siapa yang mengalir di tubuh saya!" teriak Firman. "Bagi saya, ayah saya tetap Baskara Putra! Orang yang memberikan hidupnya untuk kebenaran! Dan Yasmin adalah adik saya karena kami berbagi rahim yang sama dari seorang ibu yang Anda bunuh!"

Firman mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah tombol. "Rendy! Sekarang!"

Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari arah ruang generator. Lampu-lampu di sanatorium padam seketika. Sistem keamanan listrik mati.

"Lari!" teriak Firman.

Dalam kegelapan, Firman menggendong Yasmin berlari menerobos barisan pria bersenjata yang sedang panik. Sarah membantunya dengan menembakkan gas air mata yang ia bawa di tasnya. Mereka berlari menembus lorong-lorong gelap, dipandu oleh intuisi dan keinginan kuat untuk hidup.

Mereka sampai di pintu darurat dan melompat ke arah hutan pinus. Rendy sudah menunggu dengan jip yang mesinnya menderu.

"Cepat masuk!" teriak Rendy.

Jip itu melesat meninggalkan Sanatorium Bromo tepat saat lampu-lampu sorot darurat mulai menyala kembali. Firman menatap ke belakang, melihat sanatorium itu semakin mengecil di kejauhan. Di pelukannya, Yasmin akhirnya jatuh pingsan karena kelelahan yang luar biasa.

Firman menyandarkan kepalanya di jok mobil, napasnya tersengal. Ia menatap langit fajar yang mulai menyembul di balik Gunung Bromo. Ia telah menyelamatkan Yasmin, namun ia membawa rahasia yang jauh lebih berat di pundaknya.

"Kita ke mana sekarang, Man?" tanya Rendy dengan suara gemetar.

"Ke Jakarta," jawab Firman dengan nada bicara yang sangat dingin dan mantap. "Kita temui Ibu Diana di Singapura melalui jaringan kita di pelabuhan. Dia satu-satunya orang yang tahu kebenaran tentang halaman 16. Dan setelah itu... kita selesaikan Proyek Lentera untuk selamanya."

Sarah menatap Firman dari kursi samping. "Kamu tahu ini artinya perang terbuka dengan negara, kan?"

"Saya sudah mati sejak hari ayah saya dibunuh, Sarah," jawab Firman sambil menggenggam tangan Yasmin yang dingin. "Sekarang, saya hanyalah hantu yang datang untuk menuntut balas dendam."

Firman dan Yasmin berhasil sampai di perbatasan Jawa Tengah, namun mereka mendapati bahwa seluruh jaringan media nasional telah diblokir oleh pemerintah untuk tidak menyiarkan berita tentang Sanatorium Bromo. Dr. Syarifuddin mengeluarkan pernyataan bahwa Firman adalah 'teroris' yang menculik dr. Yasmin. Di saat yang sama, Yasmin terbangun namun ia mengalami amnesia parsial ia mengenali Firman, namun ia tidak ingat bahwa mereka adalah saudara kembar. Akankah Firman memberitahu Yasmin kebenaran yang menyakitkan itu, ataukah ia akan membiarkan Yasmin mencintainya sebagai pria demi menjaga kewarasan Yasmin? Dan siapa sebenarnya Ibu Diana yang ternyata memiliki rekaman video asli dari eksperimen 'Proyek Lentera'?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!