Sharmila, seorang wanita cantik, sedang bersiap untuk hari pernikahannya dengan Devan, bos perusahaan entertainment yang telah dipacarinya selama tiga tahun.
Namun, tiba-tiba Sharmila menerima serangkaian pesan foto dari Vivian, adik sepupunya. Foto kebersamaan Vivian dengan Devan. Hati Sharmila hancur menyadari pengkhianatan itu.
Di tengah kekalutan itu, Devan menghubungi Sharmila, meminta pernikahan diundur keesokan harinya.
Dengan tegas meskipun hatinya hancur, Sharmila membatalkan pernikahan dan mengakhiri hubungan mereka.
Tak ingin Vivian merasa menang, dan untuk menjaga kesehatan kakeknya, Sharmila mencari seorang pria untuk menjadi pengantin pengganti.
Lantas, bagaimana perjalanan pernikahan mereka selanjutnya? Apakah pernikahan karena kesepakatan itu akan berakhir bahagia? Ataukah justru sebaliknya?
Ikuti kisah selengkapnya dalam
KETIKA MUSUH MENJADI PENGANTIN PENGGANTI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Dada apa beton. #Sarapan bersama
.
Sharmila benar-benar terkejut ketika dia baru saja membalikkan badan, tubuhnya berbenturan dengan Zayden. Tubuh Sharmila terhuyung dan nyaris jatuh jika Zayden tidak menangkap pinggangnya dengan cepat.
Mata Sharmila membulat sempurna. Tepat di hadapannya tersuguh pemandangan di mana Zayden tampil dengan tubuh setengah basah. Bertelanjang dada dan hanya tertutup handuk sebatas bawah pusar.
"Apa yang kamu lakukan di kamarku?" tanya Zayden tanpa melepas tangannya yang melingkar di pinggang Sharmila, suaranya berat dan menusuk.
"Itu... aku…” Sharmila menelan ludahnya dengan susah payah. “Aku pinjam charger. Aku sudah ketuk pintu tadi," jawabnya terbata-bata, merasakan jantungnya berdegup kencang.
“Oh, ya? Kenapa aku nggak dengar?" Zayden menarik pinggang Sharmila semakin merapat, tatapannya intens.
Sharmila tak mampu berkata-kata. Tiba-tiba otaknya terasa kosong. Matanya bahkan enggan berkedip, seolah menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang tersaji di depannya. Kedua tangannya masih bertengger pada dada polos Zayden.
“Nyonya Pratama, apa kamu sedang terpesona?" Zayden dengan jahil merapatkan tubuhnya dan berbisik di telinga Sharmila, membuat bulu kuduknya meremang.
Sharmila menggelengkan kepala dengan cepat. Pertanyaan Zayden menyadarkannya akan posisi mereka saat ini. Secepat kilat ia melepaskan tangan Zayden yang masih melingkar di pinggangnya.
Mundur beberapa langkah, membuat matanya semakin jelas melihat tubuh Zayden. Lagi-lagi, wanita itu susah payah menelan ludahnya. Perut kotak-kotak milik aktor drama yang selama ini sering ia perbincangkan dengan Dewi, kini ada di depan matanya.
Cetak!
“Auww… “ Sharmila meringis kala tiba-tiba keningnya disentil dengan keras. “Arya! Apa-apaan sih kamu?!" pekiknya seraya memegangi keningnya yang memerah.
“Dasar cewek mesum," ejek Zayden. "Kamu pasti sedang membayangkan yang iya-iya, kan?” Pria itu berkacak pinggang sambil tersenyum tengil. Melihat wajah Sharmila yang merah padam sangat menyenangkan baginya.
Berusaha menguasai kegugupannya, Sharmila berkata, "Hahhh…” Wanita itu membuang napas lelah. Apa dia harus kalah debat dari Zayden? Oh, no!! ”Apanya yang terpesona? Bentuk tubuhmu biasa saja,” ucapnya sambil mencebikkan bibirnya.
Zayden tertawa tergelak. Inilah Sharmila yang dia kenal. Selalu gengsi untuk dikalahkan. Zayden mendekat dan kembali menarik pinggang Sharmila hingga tubuh mereka merapat.
“Kamu baru lihat sebagian, mana bisa mengatakan biasa? Bagaimana jika aku perlihatkan semuanya, biar kamu lebih tepat dalam menilai?” bisiknya menggoda.
Sharmila kembali menelan ludah, lalu tertawa garing. "Ah, tidak perlu. Aku tidak tertarik. Luarnya biasa, pasti dalamnya juga biasa,” ucapnya lalu mendorong kuat tubuh Zayden. Buru-buru kabur begitu tangan Zayden terlepas dari pinggangnya.
Zayden tertawa terbahak-bahak melihat tingkah menggemaskan Sharmila. “Lucunya dia."
.
Sesampai di kamarnya, Sharmila menghempaskan bokongnya di atas ranjang. Matanya terpejam erat. “Duhhh… apa sih itu tadi? Bisa-bisanya kejadian seperti itu,” gumamnya sambil merutuki dirinya sendiri.
Menggelengkan kepala berkali-kali. Namun, bayangan tubuh Zayden dengan dada bidang dan perut kotak-kotaknya yang begitu sempurna, tak mampu ia usir dari ingatan. “Itu tadi dada apa beton?" pikirnya dengan wajah memerah.
*
Malam harinya di meja makan, suasana begitu canggung bagi Sharmila. Sedang Zayden, pria itu cuek seolah tak terjadi apapun.
"Arya…" panggil Sharmila ragu, memecah keheningan.
“Hemm?” Zayden menanggapinya dengan acuh, tanpa menatapnya.
"Aku… " Sharmila menggenggam erat sendok dan garpu di tangannya. Kepalanya tertunduk oleh rasa malu yang masih mendera.
“Aku… aku minta maaf masuk kamarmu tadi. Tapi aku benar-benar sudah mengetuk pintu sebelumnya," akhirnya kalimat itu bisa lolos juga dari mulutnya.
"Hahhh… " Zayden menghela napas lelah. “Menurutmu aku harus bagaimana?" tanyanya seraya menatap wajah Sharmila, mencari kejujuran di matanya. “Aku ini seorang perjaka suci. Bisa-bisanya terlihat olehmu dalam keadaan telanjang."
Kening Sharmila yang semula terkerut penuh dengan rasa bersalah terbelalak seketika. “Telanjang apanya?" pekik Sharmila tak terima.
"Jelas-jelas kamu tadi masih memakai handuk!” Seketika itu juga bayangan Zayden yang memperlihatkan dada bidang dan perut six pack kembali terlintas di depan matanya, membuat wajah Sharmila merona merah.
Zayden tertawa tengil, matanya menatap dengan tatapan menggoda. “O, begitu? Jadi kamu menyesal tidak melihatku benar-benar dalam keadaan telanjang?"
Sharmila melengos dengan kepala tertunduk mendengar ucapan Zayden yang begitu frontal.
“Sharmila," panggil Zayden masih dengan tatapannya yang menggoda. “Ternyata kamu ini benar-benar mesum ya? Sebenarnya kamu sedang cari kesempatan, kan?"
"Aku tidak seperti itu!" bantah Sharmila. "Sudah aku bilang, aku masuk ke kamarmu untuk meminjam charger. Mana ada aku niat seperti itu!"
"Benarkah? Apa benar itu alasan kamu masuk kamarku?" tanya Zayden dengan nada pura-pura tak percaya.
"Aku sudah teriak-teriak berulang kali sebelum masuk. Kenapa kamu tak percaya?"
Zayden mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "Rupanya peredam suara di kamarku benar-benar bagus. Bukan salahku, kan, kalau aku nggak dengar?"
"Ya sudah, anggap saja aku yang salah. Aku minta maaf," Sharmila melipat kedua tangannya di depan dada, bersedekap, lalu melengos enggan menatap ke arah Zayden yang begitu menyebalkan.
"Hanya minta maaf saja? Tidak ada kompensasi untukku? Kamu nggak ingat, kamu nggak cuma lihat badanku saja loh, kamu juga pegang aku." Kata-kata bagaikan wanita yang baru saja dilecehkan.
Sharmila mendengus kasar. Padahal dia memegang dada Zayden juga bukan sengaja, tapi pria itu yang menariknya. Kenapa jadi dia yang salah?
"Ya sudah. Anggap saja aku salah, lalu kamu mau apa?" tanya Sharmila dengan nada pasrah sekaligus kesal.
Zayden pura-pura berpikir. "Mulai besok pagi kamu harus menyiapkan sarapan untukku," ucapnya lalu berdiri dan melenggang pergi.
Sharmila mengepalkan tangannya erat. Tanpa sengaja sendok dalam genggamannya ia gunakan untuk memukul meja. "Dasar tukang bully!" gerutunya kesal. "Kompensasi apaan? Padahal aku tidak sengaja. Arya, kamu belum puas ya mem-bully-ku sejak dulu."
*
Keesokan harinya di meja makan. Zayden baru saja turun dari lantai atas di mana kamarnya berada. Dia melihat Sharmila yang sudah sibuk di meja makan.
"Cepat makanlah, hari sudah siang. Nanti kita terlambat ke perusahaan," ucap Sharmila tanpa menoleh.
"Kamu benar-benar masak untukku? Ini bukan buatan chef kan? Jangan sampai aku tahu kamu bermain curang ya," tanya Zayden berpura-pura tak percaya. Namun, pria itu segera menarik kursi lalu duduk.
Sharmila mendelik kesal, tapi dia enggan berdebat. Ia segera mengambil tempat duduk berhadapan dengan Zayden. Membuka piring Zayden, mengambilkan secentong nasi, sepotong ayam goreng, dan juga sesendok capjay sayur.
“Ini! Sambalnya kamu ambil sendiri. Aku tidak tahu apa kamu suka pedas atau tidak.” Sharmila mendorong mangkok sambal ke hadapan Zayden, lalu mereka pun mulai makan bersama.
“Kenapa pakai nasi? Apa tidak ada roti?" Zayden mulai protes, padahal mulutnya mengunyah tanpa henti.
“Arya, memangnya kamu orang Belanda,” omel Sharmila kesal. "Sarapan harus ada karbohidrat, tubuhmu butuh kalori!"
Sambil mengunyah, Zayden menghela nafas kesal. "Menikah memang merepotkan.” Tetapi tangannya terulur untuk menambahkan nasi ke dalam piringnya.
Empat orang pelayan yang berdiri di belakang mereka, saling senggol dan tersenyum melihat pertengkaran romantis itu.
“Arya, apa nanti aku akan berangkat bersamamu lagi?" tanya Sharmila setelah mereka selesai sarapan.
"Apa kamu berharap Devan yang akan menjemputmu?” Zayden terlihat kesal.
padahal aku tdnya gak mau komen, gara gara saemile keceplosan akhire komen juga, astagaaa😜