 
                            Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simfoni VS Sintetis
Ruang perencanaan taktis di Sektor E-12 terasa dingin dan didominasi oleh proyeksi holografik yang menampilkan rute pelayaran, data logistik, dan skema kapal kargo. Puja Fernando berdiri di depan layar, di sampingnya ada asistennya, Aditya Rahmansyah yang tampak sedikit lebih pucat dari biasanya, dan Faizah, analis utama Sektor E-12.
Di hadapan mereka, duduklah Black Division Six: Adharma (memakai topeng tengkoraknya), Harlottica, The Chemist, Gunslingers (kini terlihat lebih kokoh dengan upgrade GearSpine), Torque Queen, dan Symphony Reaper.
"Misi ini, yang kita sebut 'Operasi Nada Sumbang'," jelas Puja, menunjuk ke titik di Samudra Hindia. "Target adalah kapal kargo berbendera Malta, menyamar sebagai kapal bantuan kemanusiaan. Di dalamnya, ada ribuan ton pasokan senjata api, amunisi berat, dan perangkat tempur yang diselundupkan oleh jaringan logistik Keluarga Rhausfeld."
Faizah maju, menggeser holografik menjadi skema kargo. "Senjata-senjata ini ditujukan untuk memicu perang skala besar di perbatasan Suriah dan Irak. Tujuan Rhausfeld jelas: menciptakan kekacauan regional, menguras kas PBB, dan memanipulasi pasar minyak global. Kita harus menggagalkan pengiriman ini sebelum mencapai pelabuhan."
Saat Puja berbicara tentang skala kehancuran, suasana di ruangan itu menjadi tegang. Namun, suara The Chemist (Yama Mendrofa) memecah keheningan.
"Mengagumkan," gumam Yama, matanya terpaku pada komposisi kimia dari propelan bahan bakar kargo. "Kejahatan finansial itu sendiri adalah sebuah karya seni, Nyonya Menteri. Sebuah sintesis sempurna antara keserakahan manusia dan kelemahan sistem."
Di seberangnya, Symphony Reaper (Nadira Valentina), yang sedang menyetel neuro-link pada biolanya, mengangkat kepalanya. Gaun gothic-nya kontras dengan tactical gear di sekitarnya.
"Seni? Kau menyebut kehancuran dan keserakahan itu seni?" tanya Nadira, suaranya tenang, namun mengandung nada penghakiman yang menusuk.
"Tentu saja," balas Yama, menyeringai di balik bekas lukanya. "Seni adalah formula, Nadira. Senjata kimia, obat-obatan, bahkan virus—semuanya adalah manifestasi keindahan yang mematikan. Reaksi berantai yang presisi, harmoni antara unsur-unsur yang tidak stabil... itu adalah Seni Kimia. Kau hanya melihat hasil, aku melihat proses."
Nadira meletakkan biolanya. "Kau keliru, Yama. Seni yang sebenarnya adalah musik. Musik adalah harmoni, ketertiban. Kau melihat keindahan dalam reaksi yang menghancurkan tatanan, aku melihat keindahan dalam nada yang membangun tatanan emosional. Kekacauan yang diatur Rhausfeld bukan seni; itu hanyalah nada sumbang yang harus dihentikan oleh simfoni yang benar."
"Musik hanyalah vibrasi udara, Nadira. Zat kimia adalah blok bangunan realitas. Mana yang lebih fundamental?" tantang Yama, ekspresinya tak tergoyahkan.
"Vibrasi udara itu bisa menghancurkan jiwa, Yama," balas Nadira, matanya berkilat dingin. "Sedangkan formula kimiamu hanya bisa menghancurkan fisik. Jiwa yang hancur karena trauma musik jauh lebih abadi."
Adharma menggelengkan kepalanya di balik topeng tengkorak. Dua orang jenius, satu dengan racun, satu dengan nada, berdebat tentang definisi keindahan dalam sebuah misi perang.
"Sudah cukup, Profesor dan Konduktor," potong Harlottica, sarkasmenya tajam. "Aku tidak peduli apakah kita menghancurkan mereka dengan formula atau biola. Yang penting, mereka hancur. Lagipula, seni yang aku tahu adalah uang kotor dan client VIP. Kalian berdua masih terlalu idealis."
Torque Queen (Melly) menyambar, "Tika benar. Seni yang sebenarnya adalah rekayasa, mengubah rongsokan menjadi kekuatan. Aku tidak peduli dengan harmoni atau formula, aku peduli dengan torsi dan efisiensi mekanis."
Melly menunjuk ke Gunslingers yang berdiri diam, menguji lengan GearSpine barunya. "Lihat Edy. Dia adalah karya seni industrial terbaikku."
Puja Fernando membiarkan perdebatan singkat itu mereda. Itu adalah cara mereka melepaskan ketegangan—dengan filosofi.
"Gunslingers," panggil Puja, menunjuk ke Edy. "Untuk misi ini, kau akan memimpin operasi taktis. Fokus kita adalah senjata. Keahlianmu dalam menganalisis kargo, menyergap, dan menggunakan persenjataan adalah kuncinya."
Gunslingers mengangguk, suaranya kini dingin dan tegas. "Aku menerima. Melly akan bertanggung jawab atas pengamanan GearSpine dan sistem mekanis. Yama dan Nadira akan bertanggung jawab atas sabotase kargo—Yama untuk menghancurkan bahan propelan, Nadira untuk mengacaukan navigasi dan komunikasi awak kapal."
"Adharma dan Harlottica," lanjut Edy, "kalian fokus pada perimeter dan pertahanan garis depan."
Puja menghela napas, kini ia kembali ke peran Menteri Luar Negeri yang tegas. "Ini bagian yang sulit. Kami menduga GATRA mengetahui keberadaan kargo ini, karena mereka yang bertanggung jawab atas keamanan pelayaran di kawasan itu. Kemungkinan besar, kapal ini akan dikawal oleh Pasukan Pengaman Kuat GATRA."
Aditya Rahmansyah, yang diam sejak tadi, hampir menjatuhkan tablet datanya. "Pasukan GATRA? Bu Menteri, bukankah mereka yang membuat Edy hampir mati? Ini bunuh diri!"
"Diam, Aditya," bentak Puja dengan mata tajam. Ia menoleh ke Black Division Six.
"Aku tidak menjanjikan keselamatan."
Ia menaikkan lengan kirinya, memperlihatkan Torque Cuff yang melingkari pergelangannya.
"Ingat janji kita," kata Puja, suaranya memenuhi ruangan. "Jika ada yang berkhianat, gelang ini akan aktif. Aku juga terikat. Kepercayaan kita adalah satu-satunya pelindung kita. Kalian akan berhasil, atau kalian akan mati di tengah pertempuran."
Adharma menatap kelima rekannya. Di mata Tika, ada api kemarahan. Di mata Yama, ada gairah eksperimen. Di mata Melly, ada kegembiraan mekanis. Di mata Nadira, ada ketenangan yang menakutkan. Dan di mata Edy, ada tekad yang tak tergoyahkan, kini diperkuat oleh GearSpine.
Adharma menyeringai di balik topengnya. "Black Division tidak pernah takut mati, Nyonya Menteri. Kami hanya takut mati dalam kebosanan."
"Kalau begitu," kata Gunslingers, laras senapan di tangannya berputar dengan halus. "Waktunya kita tunjukkan kepada Rhausfeld, bagaimana rasanya menjadi Senjata Hidup."
"Misi dimulai dalam empat jam. Timur Tengah menunggu," tutup Puja.
Bersambung....