NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:157
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Sore itu rumah sunyi. Dea masih di sekolah untuk kegiatan tambahan. Bu Sari sedang mencuci di belakang rumah. Dan Nayla baru saja selesai menyapu kamar Dea, hendak turun ke bawah ketika matanya menangkap jaket Anton yang tergantung di kursi kerja suaminya.

Jaket itu biasanya selalu tersimpan di mobil. Jarang sekali Anton membawanya ke dalam rumah.

“Aneh.” gumam Nayla pelan.

Awalnya ia tidak bermaksud menyentuh. Tapi karena ingin memastikan apakah jaket itu butuh dicuci, ia mengambilnya, meraba kantong-kantongnya.

Kosong.

Lalu tangannya berhenti di kantong dada bagian dalam, rasanya ada dompet tipis di sana.

“Dompet kedua?” Nayla berkerut.

Dia membukanya perlahan. Dan saat itu, dunia di sekelilingnya terasa membeku.

Di dalam dompet itu ada sebuah blister obat kuat yang tinggal dua butir. Dan selembar bill hotel terselip di belakangnya.

Hotel mewah. Nama tempatnya Nayla kenal. Bukan hotel yang biasa didatangi keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, Nayla tidak pernah ke hotel itu bersama Anton. Tidak pernah sekalipun.

Tangan Nayla gemetar. Sangat gemetar.

Dia membuka lipatan bill itu dengan perlahan, seperti takut pada apa yang akan tertulis.

Tanggal. Jam check-in. Jam check-out.

Enam jam.

Napas Nayla tercekat. Apa yang bisa dilakukan seseorang dalam enam jam di hotel? Apa?

Ia merasakan perutnya mual. Kakinya lemas. Tangannya ingin melepaskan paper itu, ingin menjatuhkannya ke lantai. Tapi ia tidak bisa.

Nayla tersentak.

Anton baru pulang.

“Sayang?” suara Anton terdengar dari bawah.

Nayla cepat-cepat menutup dompet itu, tapi tangannya masih gemetar hebat. Anton naik dengan langkah santai. Ketika ia melihat Nayla berdiri mematung di dekat meja kerja, ia tersenyum kecil.

“Kamu lagi beresin kamar?” tanyanya sambil mendekat.

Nayla tidak menjawab. Anton baru menyadari ekspresi istrinya dan menghentikan langkah.

“Nay? Kenapa? Ada apa, Sayang?

Diam. Nayla mengangkat dompet itu perlahan.

“Ini apa?” tanya Nayla dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Anton menatap dompet itu beberapa detik.

Terlihat jelas dia terkejut. Sangat terkejut. Tapi, dia cepat menguasai diri.

“Nay, itu…”

“Aku nemu obat kuat,” suara Nayla patah. “Dan bill hotel. Dari hotel yang kita nggak pernah kunjungi bareng. Mas, apa ini?”

Anton menelan ludah. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan suaranya sebelum bicara. “Nayla, denger dulu. Tolong denger dulu, jangan langsung mikir aneh-aneh.”

“Aku cuma tanya. Jelasin!”

Anton mendekat perlahan. “Obat itu bukan buat apa yang kamu pikir. Aku beliin buat temen kantor. Dia takut ketahuan istrinya, jadi dia titip beli. Aku cuma nolong.”

Nayla mengerjap. “Teman?”

“Iya. Dia malu kalau beli sendiri. Kamu tahu, cowok kadang begitu.”

Nayla ingin percaya. Benar-benar ingin.

“Tapi bill hotel ini?” Nayla memegang kertas itu dengan jari gemetaran. “Untuk apa? Ini tanggal kamu bilang lembur.”

Anton menghela napas lebih panjang. “Ini aku cuma check in buat temen aja. Tapi aku beneran lembur di kantor.”

Nayla menatapnya. Pandangannya kabur, bukan karena tidak melihat, tapi karena hatinya sedang berkecamuk hebat.

“Mas, apa kamu bohong?” suara Nayla hampir tidak terdengar.

Anton meraih bahu Nayla dengan kedua tangan. “Sayang, kenapa aku harus bohong? Kamu istri aku. Kamu tahu siapa aku. Kamu tahu aku sayang sama kamu.”

Nayla menatap wajah Anton. Wajah itu tenang. Terlalu tenang.

“Kenapa kamu punya dompet kedua?” tanya Nayla lirih.

“Itu bukan dompet. Cuma card holder lama. Aku taruh di jaket karena lupa pindahin,” jawab Anton cepat, nyaris tanpa jeda.

Nayla terdiam lama. Sangat lama.

Anton perlahan memegang wajah Nayla. “Aku ini suami kamu. Aku nggak akan ngelakuin yang kamu pikir. Tolong kamu percaya sama aku.”

Air mata Nayla jatuh tanpa suara.

Ia tidak ingin menangis. Tapi tubuhnya menyerah lebih dulu.

“Aku mau percaya,” bisiknya akhirnya.

Anton memeluk Nayla kuat-kuat.

Sangat kuat, seolah takut Nayla akan runtuh jika ia melepaskan.

“Terima kasih sudah percaya,” katanya lembut.

Namun saat wajah Nayla menempel di dada Anton, dia menyadari sesuatu.

Detak jantung Anton terlalu cepat.

Terlalu tidak stabil untuk seseorang yang mengatakan kebenaran.

Pelukan Anton hangat dan erat, tetapi terasa asing. Nayla mencoba menenangkan diri, menata napas, menyembunyikan getaran yang masih menguasai seluruh tubuhnya. Dia meremas sisi baju Anton, bukan karena butuh pegangan, tetapi karena dia tidak tahu lagi apa yang harus dia percaya.

“Sayang, kamu udah makan?” tanya Anton tiba-tiba, masih memeluknya.

Pertanyaan itu terlalu ringan. Terlalu cepat. Seolah ingin mengalihkan pembicaraan sesegera mungkin.

Nayla melepas pelukan itu perlahan. “Aku belum lapar.”

Anton mengangguk seperti tidak ada yang terjadi. Ia mengambil jaketnya dan bergegas menuju kamar mandi.

“Sebentar ya. Aku mandi dulu. Kamu jangan mikir aneh-aneh,” katanya sambil tersenyum kecil.

Pintu kamar mandi tertutup pelan.

Suara air mengalir. Tinggal Nayla sendiri.

Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam ujung sprei dengan tangan gemetar.

Kenapa dia begitu cepat menjelaskan?

Kenapa tidak ada jeda saat aku tanya?

Kenapa seolah dia sudah mempersiapkan jawabannya?

Nayla memejamkan mata. Dia tidak ingin jadi istri yang curiga. Tidak ingin jadi perempuan yang paranoid dan seseorang yang mencurigai orang yang dia cinta selama bertahun-tahun.

Tapi bayangan bill hotel itu terus muncul.

Obat dan dompet kedua itu mulai mengganggu pikirannya. Dia tidak tenang.

Apa benar semua itu cuma kebetulan?

Air mata yang sebelumnya berhenti kembali jatuh satu per satu. Dia berdiri dan berjalan ke meja kerja Anton, membuka laci paling atas. Kosong. Seperti biasanya. Dia tahu Anton rapi. Tapi hari ini, kerapian itu justru terasa menakutkan.

Nayla memejamkan mata lagi.

Ia menahan napas panjang.

Dadanya terasa sesak.

“Mbak, sudah makan sore?” suara Bu Sari tiba-tiba terdengar dari luar pintu.

Nayla buru-buru menghapus air matanya. “I-iya, Bu. Saya nanti nyusul. Terima kasih.”

Bu Sari mengangguk dan berlalu.

Nayla kembali duduk, memandangi pintu kamar mandi yang tertutup.

Air berhenti mengalir. Hening. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan Anton keluar sambil mengusap rambutnya dengan handuk.

“Kamu kelihatan capek,” katanya lembut. “Mau aku pesankan makan? Atau mau keluar?”

Nayla menelan ludah.

Bibirnya terasa kaku.

“Mas,” suara Nayla hampir pecah. “Kamu beneran nggak bohong sama aku?”

Anton menatapnya lama. Kemudian ia tersenyum kecil. Senyuman yang tidak bisa Nayla percaya.

“Nayla, aku pulang ke rumah ini setiap hari. Kalau aku bohong, aku nggak akan bisa lihat kamu kayak gini.”

Jawabannya lembut seolah sangat meyakinkan. Bahkan, nyaris tak terbantahkan. Sampai Nayla tidak tahu dia sedang berbohong atau tidak.

Anton meraih tangan Nayla. “Ayo turun. Aku lapar.”

Nayla mengangguk. Dia tidak percaya sepenuhnya. Tapi, dia juga tidak sanggup memaksakan jawaban lain.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!